Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH bangunan bilik bercat putih kusam berdiri di antara pohon tua di Kota New Kru, Liberia. Bilik itu adalah satu toilet yang digunakan 20 keluarga. Sebuah ember kosong terpacak di bilik itu. Namun tak ditemukan keran air di dalamnya. "Kalau mau buang air atau mandi, harus membeli seember air 20 dolar Liberia (sekitar Rp 2.500)," kata Esther Doe, penduduk New Kru, sambil menggendong cucunya, Sabtu pekan lalu.
Sungai menjadi tujuan ketika orang tak punya uang. Di sana aktivitas memasak, mencuci, minum, dan buang air bisa dilakukan gratis meski lokasinya berjarak puluhan kilometer. Ada juga yang bahkan buang air besar di lahan kosong.
Dari 50 ribu rumah, hanya 500 rumah yang dinilai sehat saat petugas kesehatan melakukan survei. "Lingkungan di sini sangat miskin, sanitasi kurang dan orang tidak berpendidikan," kata Tamba Bundor, pemimpin tim relawan kesehatan setempat, mitra badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan anak-anak dan pendidikan, UNICEF.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 325 juta keluarga di Afrika hidup tanpa air bersih dan 644 juta keluarga tanpa sanitasi dasar. Sementara itu, dari semiliar orang di seluruh dunia yang masih membuang kotoran secara terbuka, 227 juta berada di Afrika; 9 dari 10 tinggal di daerah pedesaan.
Liberia merupakan satu dari empat negara Afrika Barat yang terjangkit Ebola. Wabah ini telah menewaskan 932 orang dari 1.700 yang terinfeksi di empat negara Afrika Barat: Sierra Leone, Liberia, Guinea, dan Nigeria. Virus yang pertama kali ditemukan di Sungai Ebola, Kongo, pada 1976 ini hampir menyamai keganasan virus MERS dan virus flu burung.
Menurut Bundor, warga juga memiliki kebiasaan buruk yang mempermudah penyebaran penyakit, seperti meludah sembarangan, tak mencuci tangan sebelum makan, dan menyentuh langsung jenazah saat memandikan. Kebiasaan ini mempermudah penyebaran virus Ebola.
Kondisi itu diperparah oleh tabiat warga yang tak percaya kepada dokter. Dua pekan lalu salah satu fasilitas kesehatan di Rumah Sakit Liberia dilempari batu oleh massa setelah seorang wanita meninggal karena kasus Ebola. Tak hanya itu, komunitas ini juga beberapa kali menyerang mobil patroli tenaga kesehatan. Mereka menilai penyakit itu kutukan yang disebarkan para tenaga medis. "Ada tuduhan virus itu disebarkan untuk menutupi ritual kanibalisme di klinik," kata Anthony Worpor, asisten Bundor.
Masyarakat terpencil di Afrika justru lebih percaya kepada dukun. Ratusan papan reklame yang menawarkan jasa pengobatan bertebaran di setiap sudut Monrovia, Liberia. Sampson Baffoe, warga Logan di pinggiran Monrovia, mengatakan banyak tetangganya yang mengandalkan dukun manakala badan terasa demam dan pusing. Sejak wabah Ebola meluas, banyak orang yang merasa sakit masih pergi ke dukun. "Mungkin mereka percaya dukun dengan obat tradisional lebih manjur," ujarnya.
Peace Bello, dukun di Kota Logan, menyatakan mampu menyembuhkan setidaknya 20 keluhan, dari penyakit menular hingga gangguan seksual. Dia biasanya mengobati pasien menggunakan ekstrak akar pohon."Saya bisa menyembuhkan pasien demam, malaria, tapi saya tak punya apa-apa untuk menyembuhkan pasien Ebola," ujarnya.
Kondisi wilayah epidemi Ebola terus memburuk. Tubuh korban terkapar di jalanan sudah menjadi pemandangan biasa, di antaranya di Conakry, ibu kota Guinea, Kamis dua pekan lalu. Lebih dari lima jam pria itu tak mendapat bantuan medis, sementara orang berlalu-lalang tanpa peduli. "Warga ketakutan jika tertular Ebola dan memilih membiarkan saja," kata Amidou Camara, yang memiliki bengkel tak jauh dari lokasi korban terbaring.
Camara menghubungi polisi untuk meminta pertolongan. Dua tenaga medis tiba di lokasi dan langsung mengambil tubuh korban yang belum dipastikan mengidap Ebola itu untuk diperiksa. "Ebola bisa menular jika kontak langsung dan melalui cairan tubuh," ujar Camara.
Pasien Ebola tak tertangani karena jumlah tenaga medis yang terbatas. Lebih dari 20 petugas kesehatan di rumah sakit tewas karena tertular Ebola dari pasiennya selama beberapa bulan terakhir, termasuk perawat, staf pendukung, dan dokter terkemuka di negara itu. Ebola memang telah menjadi momok.
Bangsal di Rumah Sakit Kenema, Sierra Leone, Afrika Barat, kini kosong tak ada pasien dan dokter jaga. Padahal beberapa pekan sebelumnya rumah sakit ini menampung puluhan hingga ratusan korban saat wabah Ebola merebak di Afrika Barat, termasuk Sierra Leone, Maret lalu.
Hanya terlihat beberapa anggota staf dan anggota tim pengubur mayat sedang membersihkan dinding rumah sakit dengan disinfektan. "Tak ada dokter," kata Albert J. Mattia, salah satu pemimpin rumah sakit.
Pasien juga memendam rasa takut jika dirawat di rumah sakit. Hampir setiap empat hari pasien Ebola meninggal di rumah sakit itu. Persepsi rumah sakit adalah tempat yang berbahaya telah meluas. Menurut mereka, semakin jauh dari rumah sakit akan semakin baik. "Pasien akan sulit ditolong," kata Philippe Barboza, Âseorang ahli epidemiologi yang memimpin tim dari WHO. Penyebaran wabah ini mudah karena tak ada sistem isolasi.
Ibrahim Jalloh, 23 tahun, warga di Kenema, mengungkapkan bagaimana warga khawatir ke rumah sakit karena takut tak ada obat di sana. Apalagi, menurut dia, tak ada jaminan akan mendapatkan perawatan memadai. "Banyak pasien yang pergi ke rumah sakit menunggu sampai mereka sangat sakit dan sudah sangat menular," katanya.
Tenaga medis bekerja keras agar warga memiliki kesadaran tentang bahaya Ebola dan pencegahannya. Sheku Aruna, relawan Palang Merah, setiap hari berkeliling ke puluhan desa di Kenema. Dia, bersama tim dari UNICEF, menggunakan kendaraan dan sepeda motor untuk sosialisasi menggunakan pengeras suara. Mereka juga menyebarkan informasi melalui spanduk, poster, dan pamflet. Sekitar separuh orang masih tak percaya dengan Ebola. "Tapi satu di antara mereka ada yang ingin tahu," ujarnya.
Agar memunculkan kesan yang baik, rumah sakit memberikan uang sekitar US$ 10 saat pasien meninggalkan pusat perawatan. Selain uang yang dimaksudkan untuk ongkos pulang itu, pasien mendapat satu set pakaian bersih dan sertifikat kesehatan. Anak-anak juga diberi mainan. "Tapi mereka bisa menuturkan cerita yang berbeda kepada saudaranya," ujar Aruna.
WHO akhirnya menyatakan kondisi darurat untuk Ebola pada Jumat pekan lalu setelah enam bulan wabah menyebar di Afrika Barat. Langkah ini diambil setelah menilai tiga negara itu sudah tak mampu mencegah perluasan epidemi Ebola. "Negara-negara yang terkena dampak sampai saat ini tak punya kapasitas untuk mengelola wabah sendiri. Sehingga perlu keterlibatan bersama dari dunia internasional," kata Margareth Chan, Direktur Umum Kesehatan WHO.
Lembaga ini memerintahkan untuk menyaring semua orang yang meninggalkan negeri melalui bandara internasional, pelabuhan laut, dan lintas batas. Diharapkan hal itu bisa mencegah perjalanan dengan orang yang dicurigai mengidap Ebola. Sierra Leone mengikuti perintah WHO dengan menempatkan 800 tentara untuk mengamankan perbatasan dan sejumlah pintu keluar-masuk negara.
Selain itu, WHO menjanjikan vaksin Ebola sudah siap pada 2015. Saat ini empat vaksin sedang diuji coba. Jean-Marie Okwo Bele, kepala staf vaksin di WHO, menyebutkan raksasa farmasi Inggris, GlaxoSmithKline, tampaknya siap memulai uji klinis sebuah vaksin bulan depan. Selain itu, ZMapp, perusahaan biofarmasi yang berbasis di San Diego, Amerika Serikat, telah sukses dalam uji coba terhadap beberapa monyet.
Eko Ari Wibowo (Al Jazeera, The Telegraph, The New York Times, Deutch Welle, The Guardian)
Dari Guinea Menyebar ke Tiga Benua
Ebola kali ini muncul, setelah empat dekade, dari hutan di selatan Guinea pada Maret lalu, diduga lewat perantara kelelawar buah. Hewan ini menjadi hidangan favorit di negara yang mayoritas penduduknya muslim itu. Wabah kemudian cepat menyebar ke Liberia dan Sierra Leone. Hanya butuh enam bulan, virus melintas ke tiga benua. Penyebaran diduga karena ada relawan dan turis yang pulang dari Afrika barat.
Nancy Writebol, misionaris yang sempat bertugas beberapa bulan di Liberia, dinyatakan mengidap Ebola. Bulan lalu, dia merawat korban Ebola. Dia pulang ke Atlanta, Amerika Serikat, menumpang pesawat medis. "Dia mulai membaik setelah meminum obat dari ZMapp," kata Jorge Rodriguez, dokter yang menanganinya.
1. Nigeria:
Kementerian Kesehatan menyatakan Ebola menyebar setelah seorang warga Liberia yang hendak ke Amerika Serikat singgah di Nigeria.
2. Arab Saudi:
Kementerian Kesehatan menyebutkan seorang lelaki diduga memiliki gejala Ebola di Jeddah, 6 Agustus.
3. Spanyol:
Seorang misionaris dipastikan positif mengidap virus Ebola dalam kondisi stabil di Rumah Sakit Madrid.
4. Amerika Serikat:
Dua relawan menjalani perawatan di Rumah Sakit Atlanta setelah bertugas menangani korban Ebola di Liberia.
5. Inggris:
Pejabat kesehatan memantau seorang wanita yang diduga terinfeksi Ebola setelah berkunjung ke Afrika barat.
6. Thailand:
21 turis telah dimonitor setelah berkunjung ke Afrika Barat.
Statistik:
Ada lebih dari 3.400 kasus manusia dilaporkan dan lebih dari 2.100 kematian sejak penemuan Ebola pada 1976.
1976
Virus Ebola ditemukan pertama kali di Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo). Wabah ini mengakibatkan 318 kasus dengan 280 kematian. Selanjutnya di Sudan Selatan menimbulkan 284 kasus dan 151 kematian.
1989
Di Reston, Virginia, monyet yang diimpor dari Filipina ditemukan terinfeksi virus Ebola (kemudian dinamakan virus Ebola Reston).
1995
Wabah di Republik Demokratik Kongo menyebabkan 315 kasus yang dilaporkan dan setidaknya 250 kematian.
2000-2001
Sebuah wabah Ebola di Uganda mengakibatkan 425 kasus manusia dan 224 kematian.
2001-2002
Wabah Ebola terjadi di perbatasan Gabon dan Republik Kongo, yang menimbulkan 53 kematian di sisi Gabon dan setidaknya 43 kematian di Republik Kongo.
2007
Wabah EBOV terjadi di Republik Demokratik Kongo, 187 dari 264 kasus yang dilaporkan mengakibatkan kematian. Pada akhir 2007, wabah di Uganda menyebabkan 37 kematian. Sebanyak 149 kasus dilaporkan.
Maret 2014
Wabah Ebola menyebar di negara Afrika Barat yang bermula dari Guinea menyebar ke Liberia, Nigeria, dan Sierra Leone.
4 Agustus 2014
Vaksin eksperiÂmenÂtal buatan ZMapp digunakan untuk mengobati relawan Amerika yang terinfeksi Ebola. Ada perbaikan yang signifikan terhadap korban.
8 Agustus 2014
WHO menetapkan darurat kesehatan internasional di Afrika Barat atas merebaknya Ebola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo