Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Karena Minyak Libya Berkobar

Libya terkotak-kotak menjadi beberapa kubu. Kelompok militan berambisi menguasai negara penghasil minyak terbesar ketiga di Afrika Utara itu.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari 150 anggota parlemen Libya yang baru terpilih bergegas menuju Tobruk pada Sabtu dua pekan lalu. Dengan penjagaan ketat tentara dan pasukan bersenjata Kementerian Dalam Negeri, mereka bersiap menggelar sidang darurat tertutup di salah satu hotel di kota di wilayah timur Libya itu.

Ketua sementara parlemen, Abu Bakar Baiera, mengatakan sesi pembukaan terpaksa ditunda hingga Senin karena situasi keamanan menghalangi sejumlah anggota untuk hadir. Dari 200 kursi di parlemen, 188 telah terisi, sementara 12 kursi kosong akibat boikot atau kondisi tak aman di beberapa wilayah pemilihan.

Sidang akhirnya dilaksanakan pada Senin sore dua pekan lalu. Tujuannya: membentuk pemerintahan baru untuk mengakhiri krisis di Libya. "Tanah air kita terbakar. Kita harus bekerja cepat untuk memenuhi tuntutan rakyat dan menyelamatkan mereka dari bencana ini," kata Abu Bakar Baiera dalam sidang, seperti dilansir Reuters. Pemerintah negara-negara Barat, yang sebagian besar telah mengevakuasi diplomatnya setelah dua minggu pertempuran, berharap parlemen baru dapat menciptakan ruang negosiasi.

Selama tiga pekan sebelum sidang digelar, dua kelompok militan, yaitu milisi Islam bersenjata dari Misrata dan milisi revolusi dari Zintan, bentrok memperebutkan bandara internasional Tripoli. Dalam pertempuran itu sedikitnya 200 orang tewas dan 1.000 lainnya terpaksa mengungsi. Anggota milisi Zintan, bersenjatakan senapan anti-pesawat dan mortir, menguasai bandar udara Tripoli setelah baku tembak dua hari dengan milisi Misrata sejak 14 Juli 2014.

Adapun di Benghazi, kota di wilayah timur, pertempuran pecah antara pasu­kan loyalis bekas jenderal Khalifa Haftar, mantan sekutu dekat Muammar Qadhafi, dan milisi Ansar al-Syariah. Jenderal Haftar dan Tentara Nasional Libya yang dipimpinnya telah berbulan-bulan memerangi kelompok militan di kota terbesar kedua Libya itu. Haftar menyebut dirinya seorang nasionalis yang berperang demi menyelamatkan negara dari ekstremis Islam.

Pada akhir Juli lalu, setelah pertempuran berhari-hari, Ansar al-Syariah bersama sekutunya mengklaim berhasil merebut pangkalan militer strategis milik pasukan khusus di Benghazi, dan menyatakan kota itu sebagai Emirat Islam. "Benghazi kini telah menjadi Emirat Islam," kata Muhammad al-Zahawi, juru bicara kelompok itu, kepada Radio Tauhid.

Namun Khalifa Haftar menolak mengakui pengambilalihan Benghazi. "Tentara Nasional Libya mengendalikan Benghazi dan hanya menarik diri dari posisi tertentu karena alasan taktis. Klaim yang menyebutkan Benghazi berada di bawah kendali para milisi adalah dusta," katanya kepada Al Arabiya.

Bentrokan bersenjata juga telah menyebar ke Zawiya, dekat perbatasan Tunisia. Di kota pelabuhan minyak ini empat orang tewas selama dua hari terakhir. Pertempuran di Zawiya pada Kamis dua pekan lalu merupakan bagian dari pertempuran yang lebih luas di antara dua aliansi milisi bersenjata mantan pejuang revolusi.

Berbagai pertempuran itu adalah yang terburuk sejak tergulingnya Muammar Qadhafi pada 2011. Selain didorong oleh kekosongan pemerintahan, konflik terjadi karena milisi bersenjata yang tadinya bersekutu menjatuhkan Qadhafi kini berebut minyak. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang saudara.

Rawad Radwan, narablog yang tinggal di Tripoli, mengatakan yang terjadi saat ini di Libya adalah perang perebutan kekuasaan. "Setiap orang ingin berkuasa; dan mereka yakin, siapa pun yang menguasai minyak akan menguasai negara," katanya.

Keprihatinan Usamah Mansur, pria 35 tahun yang bekerja di sebuah organisasi non-pemerintah di Tripoli, mewakili kecemasan sebagian besar rakyat Libya: "Begitu banyak orang telah mengorbankan nyawa untuk membuat negara ini lebih baik. Tapi sekarang kami mulai saling membunuh dalam perang saudara."

Rosalina (Reuters, News 24, Al Arabiya, Al Jazeera, Euronews)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus