Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Potret Kekerasan di Media Massa

Tak ada aturan baku mengenai pengungkapan sadisme di media massa. Soal hukum atau etika?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada mayat gosong habis dibakar yang di-close up. Ada dua buah kepala terpenggal yang ditenteng. Bolehkah itu semua diungkapkan di media massa? Jawabannya ternyata sangat beragam. Di media Barat, cetak ataupun elektronik, pengungkapan foto atau gambar semacam itu secara telanjang bukanlah hal yang aneh. Majalah Asiaweek edisi 2 April 1999 memuat foto penggalan kepala yang ditenteng ramai-ramai. Majalah Time edisi 7 Desember 1998, misalnya, memuat serangkaian foto karya fotografer terkemuka James Nachtwey yang menampilkan amukan massa di Ketapang, Jakarta Pusat: seseorang dengan muka tengadah akan menebas kepala yang lain dengan celurit. Untuk serial foto ini, Nachtwey bahkan menerima penghargaan World Press Photo untuk kategori berita spot. "Sesekali kami memuat foto tentang kekerasan yang memang agak mengganggu karena, bagaimanapun, kita memang hidup di dalam dunia yang keras. Dan Time berusaha menampilkan gambar yang senyata mungkin," demikian Donald Morrison, redaktur majalah Time Asia. Di Indonesia, perdebatan mengenai etika untuk memuat foto yang menunjukkan kekerasan dan kebrutalan masih belum tuntas. Padahal, di tengah semakin merebaknya kekerasan dan kekejian di sejumlah wilayah di Indonesia belakangan ini, persoalan itu mestinya segera dituntaskan. Banyak yang khawatir, penayangan adegan kekerasan dan kekejian bisa memicu kerusuhan yang lebih luas. Apalagi penegakan hukum di Indonesia juga masih sangat lemah. Sejumlah media memang dengan ketat melarang pemuatan gambar atau foto yang dengan jelas menunjukkan kekerasan. Namun, sebagian yang lain tampaknya masih melihat itu sebagai kekuatan untuk bisa bertarung di pasar yang semakin ketat. Persoalan komersial agaknya jauh lebih menonjol ketimbang soal hukum atau etika jurnalistik. "Tinggal selangkah lagi kita sudah menyamai jurnalisme Barat," kata Prof. Dr. Abdul Muis, ahli hukum komunikasi dari Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Namun, dua praktisi televisi menampik penilaian Abdul Muis. Menurut Manajer Bagian Pemberitaan SCTV, Riza Primadi, dan Manajer Komunikasi Anteve, Zoraya Perucha, televisi di Indonesia justru sangat selektif dan hati-hati dalam menayangkan atau tidak menayangkan kejadian yang pekat dengan kekerasan. Di SCTV, ada dua tolok ukur untuk menilai kelayakan penayangan suatu program, yakni pendekatan politik-keamanan serta asas kepatutan dan kepantasan. Jika memang tidak pantas, film itu akan ditarik, termasuk dari perpustakaan dan dokumentasi, "Kemudian disimpan di safe deposit box di bank," kata Riza. Meski begitu, Riza mengakui, SCTV pernah juga kebobolan menayangkan gambar mayat gosong terbakar. Sementara itu, Anteve menerapkan penyuntingan yang sangat ketat terhadap persoalan yang sama, terutama terhadap dua program yang sangat mungkin memunculkan adegan kekerasan. Pada program Fakta, misalnya, penyuntingan dilakukan dalam lima tahap dan editor terakhir selalu wanita. "Mereka biasanya lebih peka dan lembut," kata Zoraya. Persoalannya, foto atau adegan kekerasan adalah sesuatu yang relatif. Direktur Lembaga Pers Dr. Soetomo, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan, para pengelola media massa sering menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan. Di satu sisi, ada kekhawatiran—meski belum terbukti secara ilmiah—penayangan adegan atau foto itu bisa memperluas kekejian. Di sisi lain, dengan ditayangkannya adegan kekejian seperti itu, diharapkan orang tidak akan mengulangi atau meniru hal yang sama. Celakanya, hukum di Indonesia juga masih terlalu longgar dalam mengatur masalah itu. Abdul Muis memang menunjuk sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bisa dijadikan pijakan hukumnya, seperti pasal 156, 156-a, 310, dan 312. Namun, pasal-pasal itu hanya menyangkut soal penghinaan dan penistaan, bukan soal kekerasan itu sendiri. Karena itu, kata Abdul Muis, untuk menguji masalah gambar kekerasan yang tampil dalam media, apa boleh buat, yang berbicara adalah etika. "Melihatnya harus dari sudut etika, misalnya melalui Dewan Kehormatan Pers," kata Abdul Muis kepada wartawan TEMPO, Tomi Lebang. Namun, menurut Riza, ada banyak kemajuan dalam draft RUU Media Massa yang sebentar lagi akan dibahas di DPR. Dalam RUU itu, persoalan ini diatur dengan cukup gamblang. Pada pasal 42 ayat 6 disebutkan bahwa siaran yang mengandung sadisme dilarang. Riza menerjemahkan sadisme itu sebagai adegan atau penggambaran kekejaman, kebuasan, dan kekasaran serta cara memperoleh kepuasan seksual dengan menyakiti orang lain. Dalam pasal 105, mereka yang menayangkan sadisme bisa dihukum penjara tiga tahun dan/atau denda Rp 300 juta. Jika disetujui, agaknya inilah benteng terakhir untuk menghentikan penayangan sadisme di media massa. M. Taufiqurohman, Ahmad Fuadi, Dwi Wiyana, dan Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus