IA seorang Pangeran muda yang bicara tajam tapi hati-hati.
Seperti anggota keluarga kerajaan Arab Saudi yang lain, ia tak
pernah menyatakan pendapat pribadinya kepada pers. Apalagi ia
Menteri Luar Negeri. Maka dunia pun tertarik, ketika kepada
mingguan Al Hawadess, yang terbit di Beirut awal bulan ini
Pangeran Saud bin Faisal menyuarakar. seSU.ltU yang tak pernah
terdengar sebelumnya pujian Arab Saudi kepada negeri komunis
besar Uni Soviet.
"Kami dulu punya hubungan diplomatik dengan Uni Soviet," kata
Saud bin Faisal. "Pihak Soviet-lah yang memutuskannya. Saya
ingin menggaris-bawahi kenyataan, bahwa tiadanya hubungan
diplomatik tak berarti kami tak mengakui Uni Soviet, atau bahwa
kami tak mengakui peran penting yang dijalankannya dalam politik
dunia. Bahkan sebaliknya. Kami selalu menyatakan rasa
terimakasih kami kepada sikap Soviet yang positif terhadap
masalah Arab. "
Disiarkan setelah jatuhnya Shah Iran yang pro-AS, ucapan Saud
bin Faisal itu merupakan pukulan lagi bagi politik luar negeri
Presiden Carter. Dan itulah tanda lebih lanjut menjauhnya Ryadh
dari Washington D.C.
Sebelumnya, rencana kunjungan orang kuat Arab Saudi Pangeran
Fahd ke AS mendadak dibatalkan. Di Washington keterangan resmi
menyatakan sang pangeran kurang sehat. Tapi pihak audi segera
menjawab: tak ada gangguan apa pun dalam kesehatan putera
Mahkota. Terjemahannya Arab Saudi tak ingin menyembunyikan
ketidakpuasannya terhadap AS.
Dugaan Mana?
Ada dugaan, bahwa Arab Saudi tak senang melihat sikap AS yang
tak begitu tegas menghadapi gerak Uni Soviet di kawasan itu.
Tapi dugaan yang lebih kelihatan berdasar ialah keraguan Saudi
terhadap cara AS menyelesaikan sengketa Timur Tengah. Ketika
Menteri Pertahanan AS Harold Brown datang ke Ryadh beberapa
waktu yang lalu, menurut Saud bin Faisal, yang diungkapkan Brown
ialah soal bahaya Soviet. Padahal bagi Saudi, yang masih
merupakan bahaya besar di kawasan itu adalah "ancaman Zionis".
Dengan ini tak berarti Saudi ingin menyingkirkan Israel dari
peta Timur Tengah. Tapi jelas perdamaian antara Israel dengan
Mesir yang tak mengembalikan bagian Arab dari kota suci
Yerussalem akan ditolak Saudi. Dukungan Presiden Carter bagi hak
rakyat Palestina semata tidak cukup. Mungkin itulah pagi-pagi
bekas Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, dalam wawancara
dengan majalah Time pertengahan Januari, sudah melihat bahwa
Saudi "telah memilih jalan yang lebih terlepas" dari AS.
Contohnya dalam pertemuan OPEC Desember 1978, Saudi menyetujui
kenaikan harga minyak sampai 14,5%. Sebelumnya ia mendengarkan
keberatan AS dalam perkara ini.
Pendekatan terhadap Soviet sendiri sudah sejak lama
didesas-desuskan. Pertengahan 1977 Pangeran Fahd, yang dulu
berhubungan baik dengan Presiden Nion, pernah dikutip
keinginannya "berhubungan secara bersahabat dengan rakyat
Soviet," walaupun Saudi menentang komunisme dan atheisme.
Tiba-tiba akhir Januari 1979, sebuah tulisan muncul dalam sebuah
majalah resmi Soviet oleh Igor Belyayev, seorang ahli Timur
Tengah. Isinya memuji Arab Saudi. Sudah tentu ini menarik
perhatian sebelumnya Moskow tak pernah memandang tinggi negeri
tempat Mekah.
Uni Soviet dulu memang termasuk negara paling awal mengakui
berdirinya "Kerajaan Hejaz dan Najd", sehabis Raja Abdul Azis
menyatukan Arabia di tahun 1920-an. Bahkan ada konsulat Soviet
di Saudi sampai tahun 1938. Itu kelanjutan tugas diplomatik
zaman Rusia pra-komunis di Jeddah. Konsulat kemudian pindah ke
Mekah, kota suci yang terlarang bagi bukan-Muslim. Rupanya staf
konsulat memang orang Soviet yang muslim, yang bertugas
mengurus jemaah haji.
Setelah hubungan diplomatik putus, perdagangan masih jalan.
Ekspor Soviet ke Ryadh misalnya, sampai dua tahun lalu mencapai
AS$ 13 milyar. Ini jumlah kecil, dibandingkan misalrya ekspor
Soviet ke Iran (AS$ 218 milyar). Tapi tahun 1979 nampaknya tahun
baik bagi Kremlin, dalam persaingan pengaruh dengan Washington.
Tapi Washington masih punya kesempatan angin baik. Konflik
bersenjata antara Yemen Selatan yang kiri dengan Yemen Utara
yang didukung Saudi kini masih berkecamuk -- walaupun baru
diusahakan damai oleh Liga Arab. Dan AS pekan lalu menyatakan
akan mengganti senjata seharga AS$ 8,2 juta yang dikirim Saudi
ke Yemen. Asal tak untuk menyerbu masuk ke Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini