Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada monumen diganti botol

Pameran lukisan realisme karya dede, menyajikan komposisi obyek yang berbeda dengan pelukis realisme dulu. sentuhan seni rupa baru, bukan gambar, tapi bendanya sungguhan. (sr)

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Ada monumen diganti botol
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
GAYA lukisan yang disebut realis mungkin yang paling tidak menimbulkan tanda tanya dibanding gaya-gaya lainnya. Yang disuguhkan realisme memang bentuk-bentuk seperti di sekeliling kita, yah, yang biasa. Boleh dikatakan di Indonesia gaya ini tak pernah mati. Tapi juga tak pernah mengundang perhatian -- mungkin karena hanya dianggap sebagai awal pelajaran melukis. Di sekolah seni rupa memang ada pelajaran menggambar bentuk dan menggambar potret -- dan jelas itu menggambar sesuai dengan yang dilihat mata. ItuIah sebabnya lukisan realistis bisa dicari sewaktu-waktu, kodian jumlahnya. Sudjojono, Basuki Abdullah, Trubus, Sudarso, Gambir Anom, adalah pelukis-pelukis yang pernah dengan sungguh-sungguh menghasilkan lukisan-lukisan realis. Juga para pelukis LEIRA, dulu. Tetapi sepuluhan tahun terakhir ini memang tampak tak ada pelukis yang mencoba dengan sungguh hati menggeluti realisme. Bahkan gaya tersebut banyak dianggap kuno -- "hanya membutuhkan ketrampilan," "tidak ada seninya," kata orang. Lebih-lebih lagi dalam Pameran Seni Rupa Baru, 1975 -- satu kelompok seni rupawan yang mencoba mendobrak "kemacetan kreativitas" -- terlihat usaha "menyingkirkan" realisme dengan menyuguhkan benda-benda sungguhan sebagai karya seni. Bahkan dalam diskusinya, salah seorang peserta berpendapat lebih baik memamerkan gerobak betulan daripada disuruh menggambar gerobak secara persis. Tapi, menarik, lewat kelompok ini pula realisme justru kembali mendapat perhatian. Dalam Pameran Seni Rupa Baru kedua, 1977, hadir lima lukisan realis karya Dede Eri Supria. Lho? Cermin Ternyata memang ada yang lain antara realisme 1977 dengan realisme 1940-an. Perbedaan itu (dan juga persamaan) menjadi jelas dalam pameran tunggal Dede Eri Supria (lahir 1956), 8-18 Maret di Taman Ismail Marzuki. Pertama-tama yang datang pada kita adalah komposisi obyeknya. Komposisi ini aneh -- paling tidak jarang ditemui dalam lukisan realis dulu. Misalnya Dede melukis temannya tidak duduk atau berdiri biasa, tapi berbaring di lantai, telanjang dada, dan memegang cermin. Lalu soal bagaimana dia menambah, mengurangi atau merubah obyek itu. Ada lukisan gadis, tapi wajahnya retak dan retakan wajah itu ada di meja. Ada Jl. Thamrin, Jakarta, cuma suasananya sepi -- tak seorang makhluk hidup tampak, dan di pinggir jalan ada poster besar (lebih tinggi dari gedung-gedung bertingkat di situ) bertuliskan: "Kesederhanaan adalah Pola Hidup Masyarakat Kita." Kedua, yang menarik perhatian, adalah ukuran lukisan yang besar-besar itu. Seakan ukuran itu sendiri mengambil peranan penting. Sebab, sebuah gambar yang dibesarkan ternyata memberi efek lain, seperti kata si pelukis. Tapi seperti juga pelukis realis dulu yang tertarik melihat keindahan sungai lalu melukis sungai tersebut, Dede ternyata juga suka berburu obyek. Hanya saja, kalau mereka dulu memburu obyek dengan mengamati alam sekeliling, Dede memburunya dengan mengamati gambar-gambar di majalah, kalender atau memotret obyeknya sendiri. Lihat saja Iiga Kondektur. Lukisan ini idenya satu potret kulit muka sebuah majalah. Dede mengambil komposisi orangnya beserta pakaiannya, tapi mengganti wajah-wajah potret itu dengan wajah yang rnenyarankan: ini wajah pekerja Indonesia. Hasilnya adalah sebuah potret lucu tiga kondektur bis kota Jakarta -- atau minimal potret tiga orang pekerja lapangan yang sedang "nampang". Gambar Impor adalah gambar cewek yang terbuka bajunya, di bawah baju ia tak memakai apa-apa lagi, dan gambar raksasa itu berhenti persis sebelum bagian vital. Untuk menghilangkan identitas wanita itu -- seolah ia malu -- wajah pun hanya digambar sebatas mulut. Gambar yang sempurna ini tak menyarankan apa-apa. Tapi pelukisnya memang hanya ditantang oleh soal teknis: bagaimana menggambar sesuai persis dengan bentuk dan warna aslinya. Tugu Monas, dalam pada itu dipindah Dede ke kanvas lewat foto di sebuah kalender. Tetapi puncak tugu bukan api dari emas, melainkan botol kecap. Meski begitu gambar ini bukan melulu sindiran. Berbeda dari para pelukis yang suka menitipkan komentar sosial pada karyanya, pesan yang dititipkan Dede tidak hanya lurus satu dimensi. Masih disediakan peluang lain, misalnya penggarapan bentuk yang memang menyuguhkan keindahan sendiri. Proyek Kemanusiaan Tetapi penggarapan bentuk paling nyata dan berhasil dalam cerita si pelukis tentang Polusi Ada empat kanvas, berbentuk trapesium sebangun, dijejer Inakin ke kanan makin kecil, sehingga jejeran itu sendiri membentuk trapesium besar. Kanvas pertama: sebuah pemandangan alam yang indah dengan burungburung -- yang seolah terusir dari pemandangan itu. Kesan ini diperkuat oleh erpancangnya papan di tanah berumI)ut dan berbunga apik -- tak jelas papan apa, karena jauh jaraknya. Pada kanvas kedua papan itu sudah tiada. Sebagai antinya, terpancang sebuah pabrik besar yang selalu mengepulkan asap. Di depan pabrik ada papan bertuliskan: "Proyek Kerjasama Indonesia-Amerika untuk Kemanusiaan." Kanvas ketiga mulai memperlihatkan hasil pabrik itu: rumput dan bunga kering, mati, langit berubah warna dari biru ke coklat kotor. Pabrik itu sendiri lenyap yang tinggal tanah kosong tandus. Kanvas keempat alam yang mengerikan tanpa tumbuhan, hewan atau manusia -- coklat, hitam, tanpa tanda-tanda hidup. Di atas segala-galanya, bentuk empat trapesium yang dijejer urut dari besar ke kecil itu menjelaskan sebuah rangkaian yang padu. Kecuali lukisan realis, Dede juga menyuguhkan karya yang agaknya hasil sentuhannya dengan Seni Rupa Baru: bulan gambar, tapi bendanya sungguhan. Pintu Lemari dan Celana Terjepit, Lumuran Cat di Jendela, Jendela Hitam-hitam Kelabu dan Bunga Merah, Kamar Pas dan Ade Sari dan Baby Box. Juga dua lukisan -- Mata dan Potret Diri - yang dilukis bak foto yang diperbesar dan dipertajam rasternya. Hasilnya dari dekat seperti lukisan non-figuratif, tapi ternyata ada figurnya. Semuanya hanya memperkuat kesan, bahwa realisme yang disuguhkan Dede memang lebih menekankan pada ide: Monas dan botol kecap, gadis berwajah retak atau gedung-gedung dan poster. Itulah kenapa beberapa lukisan menyarankan atau kehilangan batas antara realisme dan surealisme. Tapi jalan ke surealisme agaknya bulian tujuan Dede -- paling tidak untuk sekarang. Ia merubah kenyataan, tapi tak sampai mempertentangkannya, misalnya seperti lukisan Magritte: sebuah jeruk sebesar rumah, atau seperti Chirico: patung-patung berkepala bola. Kenyataan dirobah dengan kenyataan juga sesuatu yang masih dalam jangkauan logika. Anak ini tidak bermimpi. Bmbang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus