GAYA lukisan yang disebut realis mungkin yang paling tidak
menimbulkan tanda tanya dibanding gaya-gaya lainnya. Yang
disuguhkan realisme memang bentuk-bentuk seperti di sekeliling
kita, yah, yang biasa. Boleh dikatakan di Indonesia gaya ini tak
pernah mati. Tapi juga tak pernah mengundang perhatian --
mungkin karena hanya dianggap sebagai awal pelajaran melukis. Di
sekolah seni rupa memang ada pelajaran menggambar bentuk dan
menggambar potret -- dan jelas itu menggambar sesuai dengan yang
dilihat mata. ItuIah sebabnya lukisan realistis bisa dicari
sewaktu-waktu, kodian jumlahnya.
Sudjojono, Basuki Abdullah, Trubus, Sudarso, Gambir Anom, adalah
pelukis-pelukis yang pernah dengan sungguh-sungguh menghasilkan
lukisan-lukisan realis. Juga para pelukis LEIRA, dulu. Tetapi
sepuluhan tahun terakhir ini memang tampak tak ada pelukis yang
mencoba dengan sungguh hati menggeluti realisme. Bahkan gaya
tersebut banyak dianggap kuno -- "hanya membutuhkan
ketrampilan," "tidak ada seninya," kata orang.
Lebih-lebih lagi dalam Pameran Seni Rupa Baru, 1975 -- satu
kelompok seni rupawan yang mencoba mendobrak "kemacetan
kreativitas" -- terlihat usaha "menyingkirkan" realisme dengan
menyuguhkan benda-benda sungguhan sebagai karya seni. Bahkan
dalam diskusinya, salah seorang peserta berpendapat lebih baik
memamerkan gerobak betulan daripada disuruh menggambar gerobak
secara persis.
Tapi, menarik, lewat kelompok ini pula realisme justru kembali
mendapat perhatian. Dalam Pameran Seni Rupa Baru kedua, 1977,
hadir lima lukisan realis karya Dede Eri Supria. Lho?
Cermin
Ternyata memang ada yang lain antara realisme 1977 dengan
realisme 1940-an. Perbedaan itu (dan juga persamaan) menjadi
jelas dalam pameran tunggal Dede Eri Supria (lahir 1956), 8-18
Maret di Taman Ismail Marzuki.
Pertama-tama yang datang pada kita adalah komposisi obyeknya.
Komposisi ini aneh -- paling tidak jarang ditemui dalam lukisan
realis dulu. Misalnya Dede melukis temannya tidak duduk atau
berdiri biasa, tapi berbaring di lantai, telanjang dada, dan
memegang cermin. Lalu soal bagaimana dia menambah, mengurangi
atau merubah obyek itu. Ada lukisan gadis, tapi wajahnya retak
dan retakan wajah itu ada di meja. Ada Jl. Thamrin, Jakarta,
cuma suasananya sepi -- tak seorang makhluk hidup tampak, dan di
pinggir jalan ada poster besar (lebih tinggi dari gedung-gedung
bertingkat di situ) bertuliskan: "Kesederhanaan adalah Pola
Hidup Masyarakat Kita."
Kedua, yang menarik perhatian, adalah ukuran lukisan yang
besar-besar itu. Seakan ukuran itu sendiri mengambil peranan
penting. Sebab, sebuah gambar yang dibesarkan ternyata memberi
efek lain, seperti kata si pelukis.
Tapi seperti juga pelukis realis dulu yang tertarik melihat
keindahan sungai lalu melukis sungai tersebut, Dede ternyata
juga suka berburu obyek. Hanya saja, kalau mereka dulu memburu
obyek dengan mengamati alam sekeliling, Dede memburunya dengan
mengamati gambar-gambar di majalah, kalender atau memotret
obyeknya sendiri.
Lihat saja Iiga Kondektur. Lukisan ini idenya satu potret kulit
muka sebuah majalah. Dede mengambil komposisi orangnya beserta
pakaiannya, tapi mengganti wajah-wajah potret itu dengan wajah
yang rnenyarankan: ini wajah pekerja Indonesia. Hasilnya adalah
sebuah potret lucu tiga kondektur bis kota Jakarta -- atau
minimal potret tiga orang pekerja lapangan yang sedang
"nampang".
Gambar Impor adalah gambar cewek yang terbuka bajunya, di bawah
baju ia tak memakai apa-apa lagi, dan gambar raksasa itu
berhenti persis sebelum bagian vital. Untuk menghilangkan
identitas wanita itu -- seolah ia malu -- wajah pun hanya
digambar sebatas mulut. Gambar yang sempurna ini tak menyarankan
apa-apa. Tapi pelukisnya memang hanya ditantang oleh soal
teknis: bagaimana menggambar sesuai persis dengan bentuk dan
warna aslinya.
Tugu Monas, dalam pada itu dipindah Dede ke kanvas lewat foto di
sebuah kalender. Tetapi puncak tugu bukan api dari emas,
melainkan botol kecap. Meski begitu gambar ini bukan melulu
sindiran. Berbeda dari para pelukis yang suka menitipkan
komentar sosial pada karyanya, pesan yang dititipkan Dede tidak
hanya lurus satu dimensi. Masih disediakan peluang lain,
misalnya penggarapan bentuk yang memang menyuguhkan keindahan
sendiri.
Proyek Kemanusiaan
Tetapi penggarapan bentuk paling nyata dan berhasil dalam cerita
si pelukis tentang Polusi Ada empat kanvas, berbentuk trapesium
sebangun, dijejer Inakin ke kanan makin kecil, sehingga jejeran
itu sendiri membentuk trapesium besar.
Kanvas pertama: sebuah pemandangan alam yang indah dengan
burungburung -- yang seolah terusir dari pemandangan itu. Kesan
ini diperkuat oleh erpancangnya papan di tanah berumI)ut dan
berbunga apik -- tak jelas papan apa, karena jauh jaraknya. Pada
kanvas kedua papan itu sudah tiada. Sebagai antinya, terpancang
sebuah pabrik besar yang selalu mengepulkan asap. Di depan
pabrik ada papan bertuliskan: "Proyek Kerjasama
Indonesia-Amerika untuk Kemanusiaan." Kanvas ketiga mulai
memperlihatkan hasil pabrik itu: rumput dan bunga kering, mati,
langit berubah warna dari biru ke coklat kotor. Pabrik itu
sendiri lenyap yang tinggal tanah kosong tandus. Kanvas keempat
alam yang mengerikan tanpa tumbuhan, hewan atau manusia --
coklat, hitam, tanpa tanda-tanda hidup.
Di atas segala-galanya, bentuk empat trapesium yang dijejer urut
dari besar ke kecil itu menjelaskan sebuah rangkaian yang padu.
Kecuali lukisan realis, Dede juga menyuguhkan karya yang agaknya
hasil sentuhannya dengan Seni Rupa Baru: bulan gambar, tapi
bendanya sungguhan. Pintu Lemari dan Celana Terjepit, Lumuran
Cat di Jendela, Jendela Hitam-hitam Kelabu dan Bunga Merah,
Kamar Pas dan Ade Sari dan Baby Box. Juga dua lukisan -- Mata
dan Potret Diri - yang dilukis bak foto yang diperbesar dan
dipertajam rasternya. Hasilnya dari dekat seperti lukisan
non-figuratif, tapi ternyata ada figurnya.
Semuanya hanya memperkuat kesan, bahwa realisme yang disuguhkan
Dede memang lebih menekankan pada ide: Monas dan botol kecap,
gadis berwajah retak atau gedung-gedung dan poster. Itulah
kenapa beberapa lukisan menyarankan atau kehilangan batas antara
realisme dan surealisme.
Tapi jalan ke surealisme agaknya bulian tujuan Dede -- paling
tidak untuk sekarang. Ia merubah kenyataan, tapi tak sampai
mempertentangkannya, misalnya seperti lukisan Magritte: sebuah
jeruk sebesar rumah, atau seperti Chirico: patung-patung
berkepala bola. Kenyataan dirobah dengan kenyataan juga sesuatu
yang masih dalam jangkauan logika. Anak ini tidak bermimpi.
Bmbang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini