Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Warisan teror dari cromwell warisan teror dari crommwelll irlandia, gara-gara fanatisme agama?

Aksi kekerasan di irlandia utara akhir-akhir ini meningkat. apalagi setelah kematian bobby sands, mogok makan di tahanannya. menuntut agar anggota ira yang ditahan diberikan status tahanan politik. (ln)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN Bobby Sands seperti diduga semula, mengundang kemarahan umat Katolik di Belfast, Irlandia Utara. Hanya beberapa menit setelah mendengar berita itu, mobil mereka dengan pengeras suara berkeliling. Mereka meneriakkan berita kematian itu. Sementara anak-anak memukuli tong-tong sampah. Suasana hirup-pikuk terjadi di manamana. Dan kemarahan itu langsung disertai aksi kekerasan pekan lalu. Botol berisi bensin dengan sumbu yang menyala mereka lemparkan ke arah mobil polisi dan tentara. Hari Selasa itu, kerusuhan tak hanya terjadi di Belfast tapi juga di Londonderry, kota kedua terbesar di Irlandia Utara. Di beberapa tempat anak-anak muda memasang rintangan untuk menghalani masuknya patroli polisi dan tentara. Ada pula yang membakari mobil. Setlap kali ada mobil yang terbakar, anak-anak muda itu berteriak kegirangan. Tentara Inggris -- yang memang sudah berjaga-jaga sejak Sands melancarkan mogok makan -- sibuk mendobrak rintangan itu dengan traktor khusus. Sementara tembakan terus berdesing untuk melindungi tentara yang sedang menghancurkan rintangan itu. Seorang anak berusia 14 tahun hari itu jadi korban. Mobil yang ditumpanginya terbalik ketika berusaha menghindar dari tempat kerusuhan. Ayahnya yang bekerja sebagai pengantar susu, dan 24 lainnya luka-luka. Ketegangan di Belfast semakin memuncak ketika jurubicara Partai Sinn Fein mengumumkan bahwa 70 orang tahanan lagi siap untuk melakukan aksi mogok makan. "Mereka ingin melanjutkan protes itu," kata Joe Austen, jurubicara partai itu. Para pemimpin gereja Katolik dan Protestan sudah menghimbau rakyat agar tetap tenang. Aksi 'duka' itu berlanjut ketika berlangsung pemakaman Bobby Sands pekan lalu. Hari Kamis itu di bawah hujan rintik-rintik sekitar 10 ribu orang ikut mengiringi kereta yang membawa jenasah Sands. Hadir pula ratusan wanita yang membawa bunga dalam upacara pemakaman itu yang terbesar sejak meletusnya kerusuhan di Irlandia Utara, tahun 1969. Hari itu juga penduduk Protestan mengadakan rapat umum. Memperingati korban aksi kekerasan Irish Republican Army (IRA), pertemuan yang diselenggarakan di Balaikota itu dihadiri sekitar 3000 orang. Di situ mereka menyanyikan lagu kebangsaan Inggris God Save the Queen. Pendeta Ian Paisley, pemimpin Protestan berhaluan keras, yang memimpin upacara itu mengatakan bahwa besarnya perhatian dunia terhadap pemakaman Sands itu adalah sesuatu yang tidak adil. Memang kematian Sands setelah mogok makan selama 66 hari sungguh mengejutkan. Dan cara yang ditempuhnya itu bisa menimbulkan pertanyaan. Apakah ia seorang penjahat yang mati sia-sia atau ia seorang syuhada? Jawabannya tentu saja bisa berbeda, tergantung dari mana melihatnya. Buat Pemerintah Inggris, Sands seorang penjahat yang sudah dijatuhi hukuman penjara 14 tahun. PM Margaret Thatcher tetap tidak terbujuk untuk memenuhi tuntutannya (lihat box), baik sebelum maupun setelah mendengar kematian Sands. "Inggris tidak akan pernah memberikan status tahanan politik kepada orang IRA yang ditahan, tak peduli berapa banyak mogok makan yang mereka lakukan," ujarnya. Ia mengulangi pernyataannya yang lalu, "Terorisme adalah kejahatan dan akan tetap merupakan kejahatan." Aksi teror IRA selama 12 tahun terkahir ini menewaskan 2000 orang lebih. Sedang yang luka dan cacat sudah tak terbilang lagi. Begitu pula dengan harta benda, jutaan pound yang musnah. "Memberikan status tahanan politik bagi IRA sama artinya dengan mengizinkan pembunuhan orang tak bersalah wanita dan anak-anak," tambah PM Thatcher. Sikapnya ternyata mendapat dukungan Partai Buruh yang beroposisi. Tapi masyarakat Katolik Irlandia Utara memandang Sands mati sebagai syuhada yang memperjuangkan cita-citanya (lihat: Sejarah Panjang Itu Mulai Menyimpang). Umat Katolik tergolong minoritas. Dari 1,5 juta penduduk Irlandia Utara, orang Katolik hanya 500 ribu. Namun militansi IRA memberi kesan cita perjuangan mereka tak pernah padam. Apalagi ada akar permusuhan agama yang mendasari perjuangan itu. Permusuhan antara Katolik dan Protestan ini diawali ketika Raja Inggris, Henry II, menyerbu Irlandia pada abad XII. Kehadiran Oliver Cromwell tahun 1649, memperkukuh lagi penjajahan Inggris. Crormwell yang membawa 15 ribu orang tentara menumpas pemberontakan Irlandia. Ia juga menyita tanah milik rakyat Irlandia yang beragama Katolik. Dalam salah satu suratnya Cromwell menulis, "Musuh berkekuatan 3000 orang, hanya tersisa 30 orang -- itu pun telah saya kirim ke penjara Barbados. " Kekejaman Cromwell ini, meskipun ia hanya menetap selama sembilan bulan, masih melekat di kepala setiap orang Irlandia. Maka itu sampai sekarang, orang tua di Irlandia akan berkata pada anaknya yang nakal, "Cromwell akan menangkapmu." Kata kutukan biasanya juga disertai nama itu: "Dikutuk Cromwell kau." Di samping kekejamannya, penguasa Inggris juga melakukan diskriminasi agama. Banyak Undang-Undang, terutama yang tahun 1695 dan 1705, berisi pembatasan terhadap umat Katolik. Antara lain, larangan bagi orang Katolik bekerja sebagai pegawai negeri, atau bekerja di bidang hukum. Sementara itu banyak pastor diusir ke luar negeri. Mereka yang ketahuan kembali ke Irlandia dipenjarakan. Inggris membuat pembatasan itu dengan tujuan menghancurkan masyarakat Katolik. Maka dalam perkembangannya agama Katolik menjadi agama gerakan bawah tanah. Dan sejak itu peranan pastor semakin menentukan. Dalam masa penjajahannya Inggris sempat menanamkan orang-orang yang setia kepada Mahkota. Di berbagai wilayah Irlandia, mereka diberi tanah dari hasil perampasan. Mereka inilah kemudian yang menjadi bibit pendukung kerajaan Inggris di Irlandia -- sebagian besar kini berada di bagian utara. Pertentangan yang melibatkan agama akhir-akhir ini menonjol menjelang pemilihan umum 1964. Waktu itu ada dugaan Partai Unionist -- kelompok yang menghendaki Irlandia Utara tetap dalam kekuasaan Inggris -- akan kalah. Soalnya ada calon lain yang juga cukup kuat dari Partai Buruh yang sama-sama Protestan. Kelompok haluan keras ingin mempersatukan suara kalangan Protestan. Kebetulan dalam masa kampanye itu Partai Sinn Fein -- yang punya pengikllt Katolik dan merupakan sayap politik dari IRA --mengibarkan bcndera 'Tia Warna' (bendera IRA di markasnya. 13erdasarkan UU tahun 195 , pengibaran bendera IRA adalah perbuatan terlarang. Dalam hal ini Pendeta lan Paisley (Protestan) mengobarkan semangat antiIRA. Kalau polisi tidak bertindak, katanya, anggotanya akan bertindak sendiri menurunkan bendera itu. SEKALIPUN ada UU itu, selama ini polisi tidak pernah bertindak. Namun karena ada desakan. Dan pertentangan ini memuncak tahun 1969, ketika terjadi kerusuhan di Bogside. Untuk mengatasi kerusuhan antara kelompok Katolik dan Protestan itu, Pemerintah Inggris pertama kalinya menggunakan bom gas air mata. Kemudian masuk tentara Inggris secara besar-besaran ke Irlandia Utara yang juga disebut Ulster. Sejak itu di berbagai tempat pemukiman mulai dibuat batas pemisah antara yang beragama Protestan dan Katolik. Ada yang batas pemisahnya cuma kawat berduri. Tapi ada pula dengan dinding beton yang memberi kesan seperti 'Tembok Berlin'. Dan akibat pemisahan ini rasa permusuhan terus berkobar. Begitu pula halnya di kalangan generasi muda. Selama 12 tahun terakhir ini mereka terlatih hidup dengan penuh prasangka terhadap orang yang berlainan agama. Bahkan sejak kanak-kanak mereka sudah belajar membedakan antara orang Protestan dan Katolik, melalui aksen bicaranya, pakaiannya dan kebiasaannya. Sesuatu yang sebenarnya sukar dibedakan oleh orang luar Irlandia. Mereka juga belajar dari pengalaman menghadapi kekerasan. "Saya tak melihat bagaimana keadaan ini bisa berubah," kata Betty Mac Millan, wanita Protestan yang berdiam di Belfast Barat. "Apa yang diketahui anak saya tak lebih dari kerusuhan." Menurut Joe Hendron, seorang dokter yang bekerja di perkampungan Katolik yang nniskin, tak banyak yang bisa dilakukan anak muda di wilayah itu. "Akibatnya mereka lebih mudah terpengaruh oleh tindak kekerasan dan cepat marah bila melihat tentara Inggris," kata dokter itu. Keadaan serupa inilah yang akhirnya melahirkan anak-anak muda militan - seperti Bobby Sands -- yang siap melakukan teror. Bahkan dengan kematian Sands mereka lebih terdorong meneruskan perjuangan. Sementara itu aksi mogok makan di penjara Maze masih berlangsung. Francis Hughes, 25 tahun, yang sudah tak makan dalam minggu ke-8 dikabarkan dalam keadaan gawat. Begitu pula dengan Raymond Mc Creesh dan Patrick O'Hara yang sudah tujuh mingu berpuasa. Apakah mereka akan senasib dengan Sands? Apakah sikap pemerintah Inggeris tak berubah? Berbagai reaksi atas kematian Sands mungkin akan menjadi pertimbangan PM Thatcher. Di Amerika Serikat, acara duka berlangsung di berbagai kota. Antara lain di New York dan San Francisco. Senator Edward Kennedy, seorang turunan Irlandia, bersuara agak keras. "Saya mendesak pemerintah Inggris agar menghentikan sikapnya yang kaku," kata Kennedy. Presiden Ronald Reagan, juga turunan Irlandia, menyatakan keprihatinan yang mendalam. Malah serikat buruh pelabuhan New York memboikot barang Inggris. Sementara itu dari Moskow kantor berita Tass telah menuduh Inggris menghukum mati Sands dengan cara menolak tuntutannya. Suatu kesempatan Soviet mengecam Iron Lady Thatcher. Koran Vatikan memuat berita kematian Sands di halaman depan. Yang menonjol dalam pemberitaannya adalah kekhawatiran bahwa kasus Sands ini akan menimbulkan reaksi yang tragis. Paus Johannes Paulus II selalu menghimbau rakyat Irlandia agar menghentikan aksi kekerasan. Dalam kunjungannya ke Dublin, ibukota Republik Irlandia, September 1979, Paus secara tegas mengutuk pertumpahan darah antar agama yang berlangsung di Ulster. "Cara setan tak akan pernah membawa kepada suatu akhir yang baik," kata Paus di depan masyarakat Dublin. Ternyata himbauan Paus lewat bagaikan angin lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus