KEMATIAN Bobby Sands seperti diduga semula, mengundang kemarahan
umat Katolik di Belfast, Irlandia Utara. Hanya beberapa menit
setelah mendengar berita itu, mobil mereka dengan pengeras suara
berkeliling. Mereka meneriakkan berita kematian itu. Sementara
anak-anak memukuli tong-tong sampah. Suasana hirup-pikuk terjadi
di manamana. Dan kemarahan itu langsung disertai aksi kekerasan
pekan lalu.
Botol berisi bensin dengan sumbu yang menyala mereka lemparkan
ke arah mobil polisi dan tentara. Hari Selasa itu, kerusuhan tak
hanya terjadi di Belfast tapi juga di Londonderry, kota kedua
terbesar di Irlandia Utara. Di beberapa tempat anak-anak muda
memasang rintangan untuk menghalani masuknya patroli polisi dan
tentara. Ada pula yang membakari mobil. Setlap kali ada mobil
yang terbakar, anak-anak muda itu berteriak kegirangan.
Tentara Inggris -- yang memang sudah berjaga-jaga sejak Sands
melancarkan mogok makan -- sibuk mendobrak rintangan itu dengan
traktor khusus. Sementara tembakan terus berdesing untuk
melindungi tentara yang sedang menghancurkan rintangan itu.
Seorang anak berusia 14 tahun hari itu jadi korban. Mobil yang
ditumpanginya terbalik ketika berusaha menghindar dari tempat
kerusuhan. Ayahnya yang bekerja sebagai pengantar susu, dan 24
lainnya luka-luka.
Ketegangan di Belfast semakin memuncak ketika jurubicara Partai
Sinn Fein mengumumkan bahwa 70 orang tahanan lagi siap untuk
melakukan aksi mogok makan. "Mereka ingin melanjutkan protes
itu," kata Joe Austen, jurubicara partai itu. Para pemimpin
gereja Katolik dan Protestan sudah menghimbau rakyat agar tetap
tenang.
Aksi 'duka' itu berlanjut ketika berlangsung pemakaman Bobby
Sands pekan lalu. Hari Kamis itu di bawah hujan rintik-rintik
sekitar 10 ribu orang ikut mengiringi kereta yang membawa
jenasah Sands. Hadir pula ratusan wanita yang membawa bunga
dalam upacara pemakaman itu yang terbesar sejak meletusnya
kerusuhan di Irlandia Utara, tahun 1969.
Hari itu juga penduduk Protestan mengadakan rapat umum.
Memperingati korban aksi kekerasan Irish Republican Army (IRA),
pertemuan yang diselenggarakan di Balaikota itu dihadiri sekitar
3000 orang. Di situ mereka menyanyikan lagu kebangsaan Inggris
God Save the Queen. Pendeta Ian Paisley, pemimpin Protestan
berhaluan keras, yang memimpin upacara itu mengatakan bahwa
besarnya perhatian dunia terhadap pemakaman Sands itu adalah
sesuatu yang tidak adil.
Memang kematian Sands setelah mogok makan selama 66 hari sungguh
mengejutkan. Dan cara yang ditempuhnya itu bisa menimbulkan
pertanyaan. Apakah ia seorang penjahat yang mati sia-sia atau ia
seorang syuhada? Jawabannya tentu saja bisa berbeda, tergantung
dari mana melihatnya. Buat Pemerintah Inggris, Sands seorang
penjahat yang sudah dijatuhi hukuman penjara 14 tahun.
PM Margaret Thatcher tetap tidak terbujuk untuk memenuhi
tuntutannya (lihat box), baik sebelum maupun setelah mendengar
kematian Sands. "Inggris tidak akan pernah memberikan status
tahanan politik kepada orang IRA yang ditahan, tak peduli berapa
banyak mogok makan yang mereka lakukan," ujarnya. Ia mengulangi
pernyataannya yang lalu, "Terorisme adalah kejahatan dan akan
tetap merupakan kejahatan." Aksi teror IRA selama 12 tahun
terkahir ini menewaskan 2000 orang lebih. Sedang yang luka dan
cacat sudah tak terbilang lagi. Begitu pula dengan harta benda,
jutaan pound yang musnah.
"Memberikan status tahanan politik bagi IRA sama artinya dengan
mengizinkan pembunuhan orang tak bersalah wanita dan anak-anak,"
tambah PM Thatcher. Sikapnya ternyata mendapat dukungan Partai
Buruh yang beroposisi. Tapi masyarakat Katolik Irlandia Utara
memandang Sands mati sebagai syuhada yang memperjuangkan
cita-citanya (lihat: Sejarah Panjang Itu Mulai Menyimpang).
Umat Katolik tergolong minoritas. Dari 1,5 juta penduduk
Irlandia Utara, orang Katolik hanya 500 ribu. Namun militansi
IRA memberi kesan cita perjuangan mereka tak pernah padam.
Apalagi ada akar permusuhan agama yang mendasari perjuangan itu.
Permusuhan antara Katolik dan Protestan ini diawali ketika Raja
Inggris, Henry II, menyerbu Irlandia pada abad XII. Kehadiran
Oliver Cromwell tahun 1649, memperkukuh lagi penjajahan Inggris.
Crormwell yang membawa 15 ribu orang tentara menumpas
pemberontakan Irlandia. Ia juga menyita tanah milik rakyat
Irlandia yang beragama Katolik. Dalam salah satu suratnya
Cromwell menulis, "Musuh berkekuatan 3000 orang, hanya tersisa
30 orang -- itu pun telah saya kirim ke penjara Barbados. "
Kekejaman Cromwell ini, meskipun ia hanya menetap selama
sembilan bulan, masih melekat di kepala setiap orang Irlandia.
Maka itu sampai sekarang, orang tua di Irlandia akan berkata
pada anaknya yang nakal, "Cromwell akan menangkapmu." Kata
kutukan biasanya juga disertai nama itu: "Dikutuk Cromwell kau."
Di samping kekejamannya, penguasa Inggris juga melakukan
diskriminasi agama. Banyak Undang-Undang, terutama yang tahun
1695 dan 1705, berisi pembatasan terhadap umat Katolik. Antara
lain, larangan bagi orang Katolik bekerja sebagai pegawai
negeri, atau bekerja di bidang hukum. Sementara itu banyak
pastor diusir ke luar negeri. Mereka yang ketahuan kembali ke
Irlandia dipenjarakan.
Inggris membuat pembatasan itu dengan tujuan menghancurkan
masyarakat Katolik. Maka dalam perkembangannya agama Katolik
menjadi agama gerakan bawah tanah. Dan sejak itu peranan pastor
semakin menentukan.
Dalam masa penjajahannya Inggris sempat menanamkan orang-orang
yang setia kepada Mahkota. Di berbagai wilayah Irlandia, mereka
diberi tanah dari hasil perampasan. Mereka inilah kemudian yang
menjadi bibit pendukung kerajaan Inggris di Irlandia -- sebagian
besar kini berada di bagian utara.
Pertentangan yang melibatkan agama akhir-akhir ini menonjol
menjelang pemilihan umum 1964. Waktu itu ada dugaan Partai
Unionist -- kelompok yang menghendaki Irlandia Utara tetap dalam
kekuasaan Inggris -- akan kalah. Soalnya ada calon lain yang
juga cukup kuat dari Partai Buruh yang sama-sama Protestan.
Kelompok haluan keras ingin mempersatukan suara kalangan
Protestan.
Kebetulan dalam masa kampanye itu Partai Sinn Fein -- yang punya
pengikllt Katolik dan merupakan sayap politik dari IRA
--mengibarkan bcndera 'Tia Warna' (bendera IRA di markasnya.
13erdasarkan UU tahun 195 , pengibaran bendera IRA adalah
perbuatan terlarang. Dalam hal ini Pendeta lan Paisley
(Protestan) mengobarkan semangat antiIRA. Kalau polisi tidak
bertindak, katanya, anggotanya akan bertindak sendiri menurunkan
bendera itu.
SEKALIPUN ada UU itu, selama ini polisi tidak pernah bertindak.
Namun karena ada desakan. Dan pertentangan ini memuncak tahun
1969, ketika terjadi kerusuhan di Bogside. Untuk mengatasi
kerusuhan antara kelompok Katolik dan Protestan itu, Pemerintah
Inggris pertama kalinya menggunakan bom gas air mata. Kemudian
masuk tentara Inggris secara besar-besaran ke Irlandia Utara
yang juga disebut Ulster.
Sejak itu di berbagai tempat pemukiman mulai dibuat batas
pemisah antara yang beragama Protestan dan Katolik. Ada yang
batas pemisahnya cuma kawat berduri. Tapi ada pula dengan
dinding beton yang memberi kesan seperti 'Tembok Berlin'. Dan
akibat pemisahan ini rasa permusuhan terus berkobar. Begitu pula
halnya di kalangan generasi muda.
Selama 12 tahun terakhir ini mereka terlatih hidup dengan penuh
prasangka terhadap orang yang berlainan agama. Bahkan sejak
kanak-kanak mereka sudah belajar membedakan antara orang
Protestan dan Katolik, melalui aksen bicaranya, pakaiannya dan
kebiasaannya. Sesuatu yang sebenarnya sukar dibedakan oleh orang
luar Irlandia.
Mereka juga belajar dari pengalaman menghadapi kekerasan. "Saya
tak melihat bagaimana keadaan ini bisa berubah," kata Betty Mac
Millan, wanita Protestan yang berdiam di Belfast Barat. "Apa
yang diketahui anak saya tak lebih dari kerusuhan."
Menurut Joe Hendron, seorang dokter yang bekerja di perkampungan
Katolik yang nniskin, tak banyak yang bisa dilakukan anak muda
di wilayah itu. "Akibatnya mereka lebih mudah terpengaruh oleh
tindak kekerasan dan cepat marah bila melihat tentara Inggris,"
kata dokter itu.
Keadaan serupa inilah yang akhirnya melahirkan anak-anak muda
militan - seperti Bobby Sands -- yang siap melakukan teror.
Bahkan dengan kematian Sands mereka lebih terdorong meneruskan
perjuangan.
Sementara itu aksi mogok makan di penjara Maze masih
berlangsung. Francis Hughes, 25 tahun, yang sudah tak makan
dalam minggu ke-8 dikabarkan dalam keadaan gawat. Begitu pula
dengan Raymond Mc Creesh dan Patrick O'Hara yang sudah tujuh
mingu berpuasa.
Apakah mereka akan senasib dengan Sands? Apakah sikap pemerintah
Inggeris tak berubah? Berbagai reaksi atas kematian Sands
mungkin akan menjadi pertimbangan PM Thatcher.
Di Amerika Serikat, acara duka berlangsung di berbagai kota.
Antara lain di New York dan San Francisco. Senator Edward
Kennedy, seorang turunan Irlandia, bersuara agak keras. "Saya
mendesak pemerintah Inggris agar menghentikan sikapnya yang
kaku," kata Kennedy.
Presiden Ronald Reagan, juga turunan Irlandia, menyatakan
keprihatinan yang mendalam. Malah serikat buruh pelabuhan New
York memboikot barang Inggris. Sementara itu dari Moskow kantor
berita Tass telah menuduh Inggris menghukum mati Sands dengan
cara menolak tuntutannya. Suatu kesempatan Soviet mengecam Iron
Lady Thatcher.
Koran Vatikan memuat berita kematian Sands di halaman depan.
Yang menonjol dalam pemberitaannya adalah kekhawatiran bahwa
kasus Sands ini akan menimbulkan reaksi yang tragis.
Paus Johannes Paulus II selalu menghimbau rakyat Irlandia agar
menghentikan aksi kekerasan. Dalam kunjungannya ke Dublin,
ibukota Republik Irlandia, September 1979, Paus secara tegas
mengutuk pertumpahan darah antar agama yang berlangsung di
Ulster. "Cara setan tak akan pernah membawa kepada suatu akhir
yang baik," kata Paus di depan masyarakat Dublin.
Ternyata himbauan Paus lewat bagaikan angin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini