Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG asing di Jepang tentu saja bukan cuma bandit. Jauh sebelum musim bandit asing kini, ketika Negeri Matahari Terbit itu bangkit dari keruntuhannya dalam Perang Dunia II, tenaga kerja asing sudah mulai mengalir masuk. Terutama kaum hawa dari berbagai bangsa yang menjual jasa di kompleks pelacuran. Kemudian, sejak tiga tahun lalu, kaum Adamnya pun datang, mengadu nasib di Jepang dan kebanyakan sebagai buruh kasar yang tak punya izin kerja. Kini, di samping yang berprofesi sebagai bandit, buruh tanpa izin kerja pun mulai bikin puyeng pemerintah. Para penguasa negeri makmur itu bahkan mulai berpikir secara rasialistis. Kementerian tenaga kerja dua pekan lalu menyatakan masalah tenaga kerja asing ilegal harus segera diatasi, agar tak merusakkan homogenitas dan struktur masyarakat Jepang. Kementerian lain ternyata sepaham. Hanya kementerian luar negeri yang punya pendapat lain. Bagi kementerian luar negeri, ramainya tenaga kerja asing dianggap sebagai proses internasionalisasi Jepang tahap III. Sudah dua tahap internasionalisasi dilewati negeri itu. Yakni internasionalisasi komoditi dan mata uang. Buktinya, sukses besar ekspor made in Japan dan tersedianya cadangan yen di bank-bank hampir di seluruh dunia. Memang, selama ini Jepang memang termasuk negeri tirai baja dalam soal membendung arus tenaga kerJa darl mancanegara. Ketika Eropa mengalami boom industri dan perdagangan pada 1950-an sampai 1960-an, para majikan di sana langsung mengimpor tenaga kerja dari negara Dunia Ketiga. Sedangkan Jepang, yang baru mengalaminya di awal tahun 1960-an, langsung kerja keras melakukan robotisasi. Tapi para robot dianggap tak efisien bila mengerjakan segalanya. Tenaga kasar impor, kendati tak disukai oleh pemerintah, tetap dianggap lebih praktis. Pada laporan sementara departemen kehakiman Jepang, dalam semester pertama tahun lalu tercatat 7.221 pekerja asing ilegal yang terjaring. Jumlah itu lebih dari 66% dibandingkan periode yang sama pada 1986. Mereka kebanyakan datang dari Filipina (sekitar 62% atau 4.436 orang), lalu Muangthai 561 orang, dan Pakistan 28 orang. Di luar itu tercatat orang-orang dari Taiwan, Korea Selatan, Colombia, dan Cili. Tak ada semut bila tak ada gula. Penghasilan di Negeri Sakura itu memang menarik Seorang pekerja kasar umumnya bergaji US- 1.000 sampai US$ 2.000 per bulan - sama dengan gaji manajer muda di perusahaal bonafide, misalnya, di Indonesia. Dan para pelacur asing itu, kendati harus bayar pajal sampai 75% kepada muncikari dan menang gung biaya hidup yang tinggi di Jepang masih mampu mengirim duit US$ 50 sampai USS 1.000 per bulan kepada keluarg di tanah air. Berbeda dengan pendatang haram da Indonesia di Malaysia, yang kebanyakan benar-benar tanpa paspor, tenaga ilegal yan masuk Jepang biasanya memakai visa turis Sementara itu, para pelacurnya kebanyaka dikoordinasikan oleh pengusaha pertunjukan pentas yang mendapat perlindunga yakuza, mafia Jepang. Atau, ini cara ban, mereka berangkat sebagai istri atau pembatu rumah tangga seorang lelaki Inggris ata Amerika. Untuk ini, konon, yakuza bersed membayar sampai US$ 100 ribu per "istri. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo