BEBERAPA hari sebelum meninggalkan Haiti, dua pekan lalu, Jean Claude Duvalier, 34, masih mencoba meyakinkan rakyatnya bahwa ia tetap dan akan terus berkuasa. Bahkan tatkala korban demonstran yang menentangnya sudah mencapai 50 jiwa, Duvalier dan istrinya, Michelle, 24, masih berkeliling Kota Port Au Prince dengan jip terbuka. "Semuanya dalam keadaan terkontrol," katanya kepada wartawan. Tapi, waktu itu, Duvalier, yang masih dikelilingi pasukan pengawal pribadi Tonton Macoute, sudah kelihatan gugup. Cerita tentang Duvalier, yang populer dengan julukan Baby Doc, meninggalkan Haiti sebenarnya sudah tersebar sejak 1 Februari. Sumbernya: Gedung Putih, Washington. Hari itu, juru bicara Presiden Ronald Reagan dengan yakin mengumumkan digulingkannya Baby Doc. Ternyata, presiden seumur hidup itu masih di istananya, sekalipun pada 31 Januari malam ia sudah berada di lapangan terbang, dan sebuah pesawat DC-I0 siap menerbangkannya. Tidak jelas mengapa Baby Doc balik lagi ke istananya. Yang pasti, sejumlah pengikut Duvalier, malam itu meninggalkan Haiti, dan membawa sejumlah kekayaan. Diduga Baby Doc dibisiki Michelle, yang sangat dipatuhi diktator itu, dan para pengawal pribadinya agar tetap bertahan. Baru 7 Februari lalu, sesudah AS memberi tahu bahwa mereka telah menyiapkan sebuah pesawat Angkatan Udara untuk menerbangkan Duvalier ke luar negeri, kepala negara Haiti tersebut angkat kaki dari istananya. Bersama itu berakhir pula kekuasaan keluarga Duvalier, yang dimulai Francois Duvalier, almarhum yang dijuluki Papa Doc, pada 1957. Tapi, rakyat Haiti baru yakin lepas dari cengkeraman rezim Duvalier setelah empat jam pesawat Angkatan Udara AS itu tinggal landas dari Port Au Prince. Kegembiraan pun meledak Rakyat menari di jalan-jalan. Tapi mereka juga balas dendam: menyerang setiap orang dan bangunan yang mengingatkan mereka pada rezim lama, terutama Tonton Macoute, polisi rahasia Duvalier, yang menakutkan itu. Menurut laporan resmi, tercatat 30 anggota Tonton Macoute dibantai rakyat di hari keberangkatan Duvalier. Tonton Macoute dibentuk Papa Doc beberapa bulan sebelum ia menyatakan diri sebagai presiden seumur hidup pada 1964. Nama kesatuan teror itu diangkat dari nama hantu, yang dikenal sebagai penculik dan pembunuh anak kecil. Pilihan nama itu bukan tidak disengaja oleh Papa Doc, yang sangat percaya pada ilmu hitam dan dukun, yang, di Haiti, dikenal sebagai Vodoo. Pasukan yang kejam ini -- mereka mendapat izin khusus membunuh, memeras, merampok menyiksa siapa saja yang dianggap bisa membahayakan kepala negara dan keluarganya -- tidak sulit untuk dikenali rakyat. Mereka selalu memakai kaca mata rayben dan sepucuk pistol di pinggang. Juga jadi sasaran kemarahan rakyat adalah kubur Papa Doc. Tapi, kabarnya, mayat pendiri Dinasti Duvalier itu sudah tak dalam peti matinya. Tentara, yang mengambil alih tampuk pemerintahan dari Duvalier, bukan cuma harus mengakhiri pertumpahan darah di Haiti, tapi juga mengatur negeri yang, konon, paling miskin di benua Amerika Latin itu. Yang pertama mereka hubungi adalah Kedutaan Besar AS. Belum jelas berapa besar bantuan yang mereka harapkan dari Washington. Tapi, untuk mengharapkan dukungan dari AS, penguasa baru Haiti sudah mengumumkan niat mengadakan pemilihan umum. Kapan ? "Itu belum bisa dipastikan. Bisa tiga bulan, bisa lima tahun," kata anggota Junta Militer Kolonel William Regala. Tiga hari setelah penggulingan Baby Doc, Ketua Junta Militer Letnan Jenderal Henri Namphi membentuk kabinet baru Haiti, yang beranggotakan 19 orang. Yang menarik, di antara mereka ada yang dikenal dekat dengan Baby Doc. Tidak heran kalau sebuah petisi beredar di Port Au Prince mendesak agar orang-orang itu dikeluarkan dari kabinet. Cerita jatuhnya Baby Doc tidak cuma disambut di Haiti. Di AS, para pelarian Haiti, yang dikejar-kejar Papa Doc maupun Baby Doc juga bersorak gembira, dan juga melampiaskan dendam. Di Boston, misalnya, sejumlah pelarian menyerbu Kantor Konsulat Haiti, lalu mengobrak-abriknya, membakar bendera, dan merobek-robek potret Presiden Jean Claude Duvalier. Di Prancis, yang pernah menjajah negeri seluas 28.000 km persegi itu, penguasa menerima Baby Doc bersama 22 pengikutnya dengan hati yang berat. Prancis, kabarnya, terpaksa menerima rombongan diktator itu, karena permintaan AS, setelah sejumlah negara menolak menjadi tempat pengasingan Baby Doc. Perdana Menteri Prancis Laurent Fabius menjelaskan, "Keputusan memberi izin itu diambil untuk mencegah pertumpahan darah di Haiti. Kendati itu akan merugikan pemerintahan sosialis yang segera menghadapi pemilihan umum." Tapi, tidak lupa diingatkannya bahwa pemerintah Prancis selalu mengecam rezim Duvalier. Izin tinggal yang diberikan bagi Baby Doc, bekas kepala negara yang memerintah 6 juta jiwa penduduk itu berlaku untuk sepekan. Dan, tempatnya bukan di Paris, melainkan di Tallories, kota kecil yang terletak dekat perbatasan Swiss. Duvalier, yang punya empat rumah di Prancis, tidak diizinkan menempati rumah miliknya. Hingga akhir pekan silam belum ada negara yang bersedia memberi suaka pada bekas diktator tersebut. "Sangat disayangkan diktator jahat itu harus mampir di sini," kata Wali Kota Tallories Jean Seaberg. Juga belum terdengar komentar dari Vatican. Padahal, apa yang terjadi di Haiti adalah buntut kedatangan Paus Yohannes Paulus II ke negeri itu pada 1983. Pada kunjungan itu Paus, di depan Baby Doc, dengan lantang berkata, "Sesuatu harus berubah di negeri ini." Sejak itu, rakyat mendapatkan keberanian untuk mulai kritis terhadap rezim Baby Doc. Faktor pendorong lain harus dilihat dari sikap Baby Doc yang memang tidak sekejam ayahnya. Ketika beberapa tahun silam sejumlah kaum terpelajar dan wartawan mencoba mengkritiknya, ia memang menangkapi orang-orang itu, dan menjebloskannya ke penjara. Tapi, beberapa waktu kemudian, orang-orang itu diberinya tiket satu kali jalan ke AS. "Kalau Papa Doc masih berkuasa, orang-orang itu pasti mati tersiksa di penjara bawah tanah, yang terletak di bawah istana," komentar seorang diplomat senior di Port Au Prince. Bagi rakyat Haiti, kurang kejamnya Baby Doc dibandingkan ayahnya bukan karena sang putra lebih baik hati. Konon, ini lantaran Baby Doc memang tidak begitu tahu apa yang harus diperbuatnya. Jabatan kepala negara diwarisinya dari Papa Doc, yang mati oleh serangan jantung pada 1971, dan saat itu Jean Claude baru berusia 19 tahun. Pada masa kekuasaannya, Baby Doc, kabarnya, lebih sibuk dengan mobil balap dan perempuan cantik daripada mengurusi negara. Itulah sebabnya banyak tangan mengatur di Haiti. Salah seorang di antaranya, dan paling menentukan, adalah Simone Duvalier, 72, ibu Baby Doc. Konon, wanita tua inilah yang memacetkan semua rencana pembaruan ekonomi di Haiti. Tangan lain adalah milik Ernest Bennet, mertua Baby Doc. Bennet dikenal sebagai orang yang mempertajam permusuhan antara Gereja Katolik dan istana kepresidenan. Seperti Papa Doc, Bennet ini juga terlibat praktek Vodoo. Yang juga menjadi sasaran kebencian adalah Michelle Duvalier, yang dikawini Baby Doc pada 1984. Michelle adalah janda beranak dua ketika menggaet sang presiden. Dan, setelah jadi Ibu Negara, ia, kabarnya, menghabiskan uang negara dengan berbelanja di toko-toko mahal di Eropa dan AS. Sikap perlawanan terhadap rezim Baby Doc mulai ke permukaan sejak November 1984. Tak banyak diketahui siapa penggeraknya. Tapi yang dipuja-puja sebagai pahlawan penggulingan Duvalier adalah Jean Tataun, 24, seorang pemuda buta huruf, yang memulai perlawanan 18 bulan silam. Berapa lama Baby Doc, yang dikabarkan membawa lari kekayaan Haiti US$ 400 juta, dan rombongannya akan tinggal di Prancis ? Itulah yang merisaukan Presiden Francois Mitterand. Akan diusir ke mana BabyDoc jika semua negara menolaknya? Diduga nasib Baby Doc mirip nasib Jean Bedel Bokasa, bekas pemimpin Afrika Tengah yang digulingkan pada 1977. Bokasa semula hanya minta perlindungan sementara di Paris, tapi akhirnya berlarut-larut di sana. Salim Said Laporan Kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini