Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Racun di kiri, racun di kanan filipina bergolak

Kbl memproklamasikan kemenangan marcos. gereja mengecam kecurangan marcos & menyatakan mendukung oposisi. cory menggariskan 7 cara menentang pemerintah belum ada negara yang memberi selamat marcos.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILIPINA membuka lembaran sejarah baru, Sabtu tengah malam lalu. Dari Gedung Batasang Pambansa (Parlemen), pasangan kandidat Kilusang Bagong Lipunan (KBL- Gerakan Masyarakat Baru) dalam Pemilu 1986, pekan silam, Ferdinand E. Marcos dan Arturo Tolentino telah ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Marcos, 68 yang sudah memegang tampuk kekuasaan selama 20 tahun, mengungguli calon oposisi Corazon (Cory) Aquino, 54, dengan kelebihan suara sekitar 1,5 juta pemilih menurut perhitungan resmi Parlemen, Marcos mengumpulkan 10.184.710 suara, sedangkan Aquino 8.731.969 suara. Jago tua KBL itu, yang mendapat mandat baru untuk memerintah sampai 1992, sekali lagi membuktikan kepada dunia bahwa dalam kamus politiknya memang tidak ada kata "Kalah", "Mundur" ataupun "Menyerah". Prinsip Marcos itu telah diterjemahkan dengan semangat menggebu oleh semua anggota KBL di Parlemen. Sebelum kemenangan diumumkan, telah terjadi debat seru antara KBL dan pihak oposisi, yang mencapai puncaknya ketika kelompok terakhir meninggalkan sidang. Soalnya, kelompok oposisi menuntut agar pengumuman ditunda, karena pengecekan penghitungan suara yang dilakukan komisi khusus diragukan keabsahannya. Alasan mereka: banyak hasil penghitungan yang dipertukarkan, banyak amplop suara tidak disegel atau segelnya sudah tidak utuh lagi. Amplop tanpa segel atau cacat itu, menurut kaum oposisi, berasal dari 61 provinsi, 56 kota, dan 7 distrik di kawasan Metro Manila. Tanpa mempertimbangkan protes kelompok oposisi, mayoritas KBL, partai yang kini berkuasa, mengajukan resolusi No. 799 -- resolusi untuk mendesak agar kemenangan Marcos diumumkan Sabtu malam itu juga. Resolusi tersebut segera ditampung Ketua Parlemen Nicanor Yniguez, yang, dengan beberapa alasan, merasa tidak perlu mengindahkan keberatan pihak oposisi. Soal cacat segel, misalnya, dianggap semata-mata soal teknis prosedural sedangkan masalah sertifikat suara yang tidak ditandatangani wakil oposisi dinyatakan tetap mewakili penghitungan jumlah suara yang sah, karena bagaimanapun sudah mewakili mayoritas. Menghadapi jalan buntu yang tidak bisa ditembus itu, kelompok oposisi akhirnya "Menyerah". Dan, pengumuman kemenangan Marcos pada tengah malam itu membuat semua anggota KBL tersenyum puas. Apalagi keputusan Parlemen tersebut secara yuridis sangat kuat, karena fraksi KBL di Parlemen, sesuai pasal 8 ayat 7 UUD, mencapai kuorum -- setengah dari jumhh anggota + satu. Parlemen hasil Pemilu 1984 ini beranggotakan 190 orang dengan komposisi: KBL 112 orang, Unido 57 orang, Independen 10 orang, dan anggota yang diangkat 11 orang. Sesudah membacakan keputusan pemberian mandat baru sebagai Kepala Negara bagi Marcos, Ketua Parlemen Yniguez, yang telah bekerja keras kurang dari satu minggu, malam itu juga memaklumkan reses. Tapi, sebelum itu sejumlah anggota KBL bersama serombongan pemuda telah diterima Marcos di Istana Malacanang. "Sebagai wasit dan lembaga yang berhak menentukan kepemimpinan di negeri ini, Anda semua telah bekerja dengan baik," sanjung presiden terpilih itu kepada tamu-tamunya. Menurut Marcos, Batasang Pambansa, lembaga legislatif satu kamar, yang dibentuk pada 1978, telah "mengibarkan semangat kepemimpinan yang segar." Dan, "Kemenangan ini akan dikenang sebagai kemenangan yang diperjuangkan oleh pemuda, kaum miskin, dan sektor-sektor yang terabaikan dalam masyarakat Filipina," tambahnya. Marcos juga menegaskan bahwa kemenangannya kali ini "Benar-benar bersejarah." Sebagai orang yang mengalami berbagai pertempuran, dalam perjuangan fisik maupun politik, Marcos mengakui bahwa Pemilu 7 Februari merupakan pertempuran paling berat sepanjang hidupnya. Mengapa? Besar kemungkinan, karena front yang dihadapinya tiba-tiba menjadi semakin lebar. Ia tidak hanya menghadapi pihak oposisi di kota-kota, dan gerilyawan komunis di pedalaman, tapi juga harus menerima tantangan dari Gereja Katolik -- yang dilontarkan lewat konperensi para uskup Filipina (CBCP) sehari sebelum kemenangan Marcos diumumkan. Pernyataan resmi CBCP, yang dikeluarkan Jumat siang, mengecam keras Pemilu 7 Februari sebagai "paling curang".Karena itu, mereka mengimbau rakyat untuk berjuang tanpa kekerasan guna menegakkan kebenaran. Bersidang selama dua hari di balik pintu tertutup, konperensi para pemimpin Gereja Katolik itu, yang dihadiri 66 dari 102 uskup dari Seantero Filipina, juga mengutuk penghapusan hak suara (di Manila, 350.000 dari 4 juta pemilih kehilangan hak suaranya), pembelian suara di mana-mana, intimidasi, teror, pembunuhan dan pemalsuan hasil penghitungan suara yang dilakukan secara sengaja. Dalam pernyataan itu, CBCP secara tegas menempatkan diri "Bersatu dengan rakyat" -- satu sikap politik yang tak pernah dipertunjukkan Gereja Katolik selama ini. Tapi sidang CBCP, yang dipimpin Uskup Agung Cebu Ricardo Kardinal Vidal, secara eksplisit menggariskan, "Terserah rakyat untuk menentukan tindakan apa yang akan mereka ambil dalam perjuangan menentang iblis." Sikap CBCP itu diperkuat oleh dua hal: keyakinan mereka tentang iblis itu yang "secara sistematis diorganisasikan oleh pemerintah", dan "Keinginan rakyat akan adanya perubahan" yang secara nyata sudah dimanifestasikan dalam Pemilu. Pernyataan Gereja Katolik itu mengejutkan Istana Malacanang. Sekalipun kecenderungan politik sudah diperlihatkan Uskup Agung Manila Jaime Kardinal Sin, sejak terbunuhnya tokoh oposisi Benigno (Ninoy) Aquino, Agustus 1983, toh, sebegitu jauh, Gereja masih berhasil mempertahankan posisi tidak memihak. Kabarnya, adalah dengan restu Kardinal Sin juga, maka CBCP akhirnya "bermain api" dengan Istana Malacanang. CBCP, dalam konperensi pers Jumat siang, antara lain menyatakan, "Pemerintah yang tetap berkuasa lewat cara-cara kotor adalah pemerintah yang tidak punya landasan moral." Ketua CBCP Uskup Teodorico Bacani terlihat hadir dalam kesempatan itu, begitu pula Diplomat Druze Thomas dari Kedutaan Besar AS di Manila. Ketika ditanya bagaimana kira-kira bentuk perlawanan yang digariskan gereja, Bacani menyebutkan, "Karena Marcos bersalah lantaran merebut kekuasaan, maka ia tidak lagi berhak akan komuni suci dari gereja." Sidang CBCP, menurut Uskup Zamboanga Federico Escaler, berlangsung dalam suasana terbuka dan dengan semangat merdeka. "Tapi, pernyataan CBCP bukanlah pernyataan Agamawi," kata Escaler, yang secara pribadi akan membacakannya pada acara misa di Zamboanga. Walau ada tiga atau empat Uskup yang abstain, Escaler memastikan bahwa pernyataan CBCP sudah mendapat dukungan mutlak dari semua jajaran Gereja Katolik Filipina. Ada kemungkinan para rohaniwan Katolik akan memboikot semua upacara kenegaraan yang diadakan Marcos, termasuk misa di Istana Malacanang. Bahkan ada desas-desus bahwa Gereja, yang sudah memperoleh restu dan dukungan Paus Yohannes Paulus II itu, akan menerapkan taktik perjuangan solidaritas dalam menghadapi pemerintah komunis di Polandia. Presiden Marcos rupanya sudah menangkap gelagat kemarahan gereja ini lebih awal. Kamis dinihari, pukul 2.30, beberapa jam sebelum CBCP menyebarluaskan sikap Gereja Katolik, ia pun mengutus istrinya, Imelda, untuk melunakkan hati para rohaniwan tersebut. Imelda ternyata gagal. Tak disebutkan bagaimana penerimaan para rohaniwan itu terhadap Ibu Negara tersebut. Tokoh oposisi Cory Aquino juga berkunjung ke Gedung CBCP, dua setengah jam sebelum pernyataan diumumkan. "Saya datang untuk memberi tahu Uskup Agung Ricardo Kardinal Vidal bahwa kami akan mengadakan rapat akbar," ujar Cory. "Dan, saya menyampaikan bahwa perjuangan kami tanpa kekerasan." Aksi unjuk rasa itu memang sudah disiarkan luas sebelum Parlemen memproklamasikan kemenangan Marcos. Antara lain dalam bentuk iklan satu halaman di surat kabar Malaya, yang merupakan undangan resmi kelompok oposisi untuk menghadiri rapat raksasa di Taman Luneta, Manila, Ahad siang. Bahkan, empat hari sebelumnya, saat Parlemen baru memulai penghitungan suara, Butz Aquino, adik ipar Cory, sudah bicara tentang rencana rapat raksasa itu, apabila Marcos diumumkan sebagai pemenang. "Pihak oposisi akan mengerahkan pelajar, mahasiswa, pengusaha angkutan, karyawan bank, dan buruh dalam aksi massa," tutur Butz di Zamboanga, Mindanao. "Yang kami rencanakan adalah aksi tanpa kekerasan untuk memaksa Marcos turun tahta. Jika Marcos memberlakukan UU Darurat, kami akan mendorong rakyat untuk membangkang. Misalnya, menolak membayar pajak." Calon wakil presiden Salvador Laurel juga memperlihatkan garis keras dengan menolak "rujuk" yang ditawarkan Marcos. Malah Laurel, beberapa jam sebelum pengumuman pemenang Pemilu oleh Parlemen, menyarankan supaya Yniguez ditunjuk sebagai penjabat presiden. Dan, saran Laurel itu jelas tidak ditanggapi Istana Malacanang. Tahu CBCP memojokkannya, Marcos lalu menantang Gereja Katolik mengajukan "bukti-bukti kuat tentang kecurangan dalam Pemilu". Ditegaskannya, adalah "mengganggu sekali" bahwa "Pemerintah dituding melakukan kecurangan tanpa menampilkan petunjuk yang bisa digunakan bagi rakyat dan pemerintah untuk menimbang, menilai, dan bertindak." Diingatkan Marcos bahwa CBCP tidak bicara soal isu agama, tapi isu politik. "Tidak seorang pun dapat menutup mata terhadap implikasi dari imbauan Gereja yang ditunjukkan pada umatnya," kata Marcos. Dengan alasan itu, ia minta pada Gereja agar mengajukan bukti-bukti secara terinci, supaya tuduhan tentang adanya "penipuan besar" itu bisa dipertanggungjawabkan. Demi kepentingan nasional, kata Marcos, kalau perlu pemerintah akan menyeret orang yang bertindak curang itu ke pengadilan. Sebaliknya, ia juga mengancam, kalau untuk kepentingan yang sama pemerintah terpaksa menindak anggota Gereja, maka hal ini hendaknya jangan ditafsirkan sebagai usaha pemerintah melawan Gereja. Seruan itu disampaikan tertulis oleh Marcos kepada Richardo Kardinal Vidal, ketua sidang CBCP, Ahad lalu. Jika Marcos bersama KBL berhasil mengendalikan Parlemen, kelompok oposisi dan Gereja Katolik berhasil menggalang kekuatan bersama. Pernyataan CBCP, misalnya, disiarkan dua hari sebelum rapat raksasa di Luneta, yang sudah dicanangkan kelompok oposisi sebagai pawai kemenangan. Bahkan sebuah sumber mengatakan kepada TEMPO bahwa itu merupakan "pawai proklamasi" -- unjuk rasa dengan acara utama memproklamasikan Cory dan Laurel sebagai Presiden dan Wapres terpilih. Di Washington juga muncul demonstrasi anti-Marcos. Tapi yang lebih menarik adalah sikap Gedung Putih yang sudah amat berubah dari hari-hari sebelumnya. Dalam pernyataannya Sabtu silam, Presiden Reagan untuk pertama kalinya mengakui, dengan sedih, bahwa "pemilihan umum (di Filipina) ditandai oleh kecurangan dan kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh partai yang berkuasa." Ini merupakan perubahan drastis dari sikap Reagan beberapa hari sebelumnya yang menyebut kecurangan dan kekerasan sebagai dilakukan oleh kedua belah pihak. Sumber-sumber tingkat tinggi di Washington mengungkapkan bahwa Reagan kini sedang mencari jalan ke arah apa yang mereka sebut sebagai the post-Marcos transition -- atau, lebih sederhana dikatakan: peralihan kekuasaan setelah Marcos. Tidak ada penjelasan mengenai bentuk transisi itu. Tapi, menurut koresponden TEMPO di Washington, P. Nasution, kini di Amerika Serikat orang bicara tentang kekuasaan Marcos yang tidak akan melangkah lebih panjang dari 1986. Faktor lain, diduga Reagan mendapat tekanan dari lobi Filipina di Senat maupun Kongres AS. Tak heran bila di Luneta, Minggu sore lalu, Laurel berapi-api membakar semangat massa. "Sekarang adalah masa untuk bertindak bukan untuk bicara," katanya. Mengenakan kaus berwarna hijau dan celana blue jeans, petang itu Laurel membuktikan kebolehannya sebagai agitator pihak oposisi. "Pemilu ini adalah yang paling kotor, paling berdarah, dan paling mahal yang pernah diselenggarakan pemerintahan Marcos." Ia menambahkan, "Saya tahu mengapa Marcos mengumumkan kemenangannya lebih cepat. Dia khawatir, rapat kali ini akan merupakan rapat proklamasi kemenangan oposisi karena itu ia mendahului memproklamasikan diri sebagai pemenang." Tiba pada giliran Cory berpidato, massa melambai-lambaikan poster-poster yang mereka bawa. Dan, Cory tampak tidak memperlihatkan tanda-tanda patah semangat, seperti dikhawatirkan sebagian orang. Kepada sekitar 500.000 pengunjung rapat akbar di Luneta itu, Cory menggariskan 7 cara aksi menentang pemerintah: Pada hari pertama sesudah upacara pelantikan Marcos, orang dianjurkannya mogok bekerja dan mogok belajar mereka harus menarik simpanan dari Security Bank, Combank, Cocobank, Republic Planters Bank, Traders Royal Bank, Union Bank Philippines National Bank boikot masal terhadap media pemerintah, yakni tv saluran 4, dan media cetak seperti surat kabar Bulletin Today, Daily Express, People's Journal, dan Times Journal menunda pembayaran air dan listrik sampai datang surat teguran boikot produk San Miguel dan boikot pusat perbelanjaan Rustan dengarkan pesan-pesan lewat radio Veritas tiap pukul 6 sore dan, rakyat agar berbondong-bondong bergabung dalam aksi massa ini. Cory menekankan, sesuai dengan pesan Uskup, aksi harus tanpa kekerasan, dan sesuai dengan nilai-nilai agama Kristen. Ia tidak lupa mengingatkan bahwa di tangan rakyatlah perlawanan pasif ini akan berhasil atau tidak. Kepada petugas keamanan diserukannya agar tidak menembak massa kalau mereka berpawai. Tak banyak diketahui tentang militer yang bersimpati pada kelompok oposisi. Sering disebut sebagai kelompok reformis (Ram), tapi tidak dapat berbuat banyak. Terutama, karena menjelang Pemilu, sebagian dipindahtugaskan, sebagian lagi secara halus dianjurkan mengundurkan diri. Beberapa sumber TEMPO menyatakan, pemindahan tugas ini secara intensif dilakukan Jenderal Fabian Ver, beberapa pekan sebelum Pemilu, tak lama setelah ia dibebaskan dari tuduhan terlibat pembunuhan Benigno Aquino. Bahkan pada hari-hari terakhir, sejumlah besar tentara di Kamp Aguinaldo dan Crame, Quezon City, malah dikenakan status mengambang. Sekalipun begitu, Ram, menurut surat kabar Malaya, menyatakan dukungannya pada pernyataan CBCP Minggu lalu, dan juga menilai Pemilu curang. Kelompok yang mewakili suara perwira muda ini mengimbau rekan-rekannya agar bersikap menahan diri, dan mengusahakan toleransi maksimal jika berhadapan dengan rakyat. "Ingat, wewenang militer berasal dari rakyat. Tentara dan rakyat tetap satu. Memang sebagian kecil sudah merusakkan citra AFP, (Angkatan Bersenjata Filipina), tapi kami serukan pada Anda semua agar memelihara kepercayaan rakyat pada kita," demikian Ram. Front Demokratik Nasional Filipina (NDF) juga mengecam kemenangan Marcos sebagai "penyalahgunaan proses demokrasi yang sangat memalukan". Dari Den Haag, Belanda, juru bicara NDF, Luis Jalandoni, mengimbau agar "semua pemerintahan, partai, dan organisasi yang memperjuangkan demokrasi menyatakan pemerintahan Marcos tidak sah dan menarik semua bantuan kepadanya." Sampai awal pekan ini, memang belum ada kepala negara asing yang mengucapkan selamat pada Marcos. Merupakan organisasi payung untuk 11 organisasi terlarang, termasuk partai Komunis Filipina (CPP), NDF akan melanjutkan perjuangan bersenjata dan kerja sama dengan kekuatan demokratik lainnya dalam upaya menyingkirkan Marcos. Yang patut pula diperhitungkan adalah kekuatan National People's Army -- sayap militer gerakan komunis Filipina. Sebab, NPA belakangan ini mulai merebut simpati rakyat miskin. Melonjaknya citra NPA juga akibat keadaan ekonomi Filipina yang suram. Diduga NPA banyak membantu mengerahkan massa memilih Cory -- Laurel. Melihat kenyataan itu, Marcos tak ayal berada dalam posisi yang pelik mengendalikan Filipina Harapan satu-satunya tampak digantungkannya pada Angkatan Bersenjata -- yang secara tradisional tak melibatkan diri di pentas politik. Diperkirakan lantaran itulah Kepala Staf AB Jenderal Fabian Ver, yang baru sekitar dua bulan jabatannya dipulihkan Marcos, diganti dengan Jenderal Fidel Ramos. Ver, yang diduga terlibat pembunuhan Benigno Aquino, dan karena itu ia disidangkan, bukanlah figur yang disukai tentara, terutama perwira generasi muda. Sebaliknya dengan Ramos, masih sepupu Marcos, yang sebelumnya menjabat Deputi KSAB Filipina. Tapi bila ia mendukung Marcos tanpa pamrih bukan mustahil ia akan didongkel anak buahnya. Sebuah dilema cukup berat bagi Ramos. Akankah nasib Marcos akan seperti Presiden Haiti Jean-Charde Duvalier, yang jatuh dan terusir? Marcos membantah itu. Ia mengaku tahu memainkan kartu. Untuk "menggertak" AS agar tetap membantu, misalnya, pernah Marcos mengutus Imelda diam-diam ke Moskow biar dikira ada main dengan Kremlin. Tapi, bagaimana menggertak kelompok oposisi di dalam negeri? Memberlakukan UU Darurat lagi? Hal yang bukan mustahil, sekalipun kemungkinannya kecil. Ia boleh jadi membiarkan oposisi beraksi sampai letih sendiri, dengan risiko bisa-bisa dirinya terlempar dari Istana Malacanang, tempat kediamannya selaku kepala negara selama dua puluh tahun terakhir. Isma Sawitri & Seiichi Okawa Manila

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus