BORIS Yeltsin, tokoh yang diangkat dari daerah ke Moskow oleh Mikhail Gorbachev agar berkembang, ternyata, jadi semacam Malin Kundang. Dan para pengamat melihat, hasil persaingan dua tokoh yang sebaya itu, 60 tahun, tak lain adalah sebuah kekacauan. Ancaman itu makin nyata, setelah Kamis pekan silam Kongres Deputi Rakyat Rusia (semacam DPRD) memberikan kekuasaan istimewa pada Yeltsin untuk mengatasi krisis ekonomi yang makin menghebat. Ia diberi hak mengeluarkan dekrit. Tampaknya, kelompok garis keras dalam Kongres tersebut, yang sekitar sebulan silam mencoba menjatuhkannya, bisa dipatahkannya. Lebih dari itu, Kongres juga memberikan mandat kepadanya untuk menyelenggarakan pemilihan presiden (Rusia) secara langsung, direncanakan 2 Juni nanti. Sebelum Kamis itu, walaupun Yeltsin secara formal menduduki jabatan presiden republik dan ketua parlemen, pada dasarnya ia tak punya kekuasaan eksekutif. Rusia -- resminya Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia -- dikecualikan dari republik-republik lain. Republik terluas ini -- yang merupakan tiga perempat luas Uni Soviet dengan populasi setengah dari penduduk Soviet seluruhnya -- dan tempat Moskow, ibu kota Uni Soviet berada, langsung berada di bawah pemerintah pusat, yakni Kremlin. Itu semua diatur dalam UUD Uni Soviet. Maka, bila pemungutan suara 2 Juni nanti memenangkan Yeltsin sebagai presiden eksekutif Rusia, direncanakan atau tidak, dualisme kekuasaan akan muncul. (Padahal, menurut para pengamat Soviet, lebih dari 70% pemilih akan berpihak pada Yeltsin). Maka, akan ada dua presiden yang secara yuridis formal tak akan bertubrukan satu sama lain dalam menjalankan fungsinya, tapi dalam prakteknya yang akan terjadi adalah ketidakjelasan siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Pagi-pagi, Yeltsin sudah sesumbar. Ia menginginkan UUD dan hukum Rusia berada di atas UUD dan hukum Soviet. Kalaupun negara Soviet masih layak dipertahankan, ia lebih suka Uni itu ikatannya "longgar". Hukum dan UUD Soviet boleh berlaku di seluruh republik, tapi berada di bawah hukum lokal. Dan lagi, kalau ada republik mau melepaskan diri dari "kungkungan" Uni, pemerintah pusat tak usah mencegahnya. Sebaliknya, Gorbachev sebagai presiden Soviet berpendapat UUD dan hukum Soviet harus berlaku untuk semua republik. Ia bisa saja menyetujui berlakunya hukum dengan lebih demokratis. Ia bisa saja memberikan sebagian dari kekuasaan pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Iapun bisa saja membiarkan kalau ada republik yang ingin memisahkan diri dari Uni Soviet. Namun, ia bersikeras, pemerintah pusat harus memiliki hak kekuasaan lebih besar daripada republik-republik. Mikhail Gorbachev, pencetus glasnost dan perestroika itu, bagaimanapun, tampaknya tak ingin kebesaran Uni Soviet tinggal sebuah sejarah. Yang akan lebih merepotkan, kesulitan ekonomi yang berlarut-larut kini sudah terbukti menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam masyarakat. Keadaan ini dikhawatirkan memecah tentara jadi dua kubu. Bila itu terjadi, ditambah adanya dualisme kepemimpinan puncak, perang saudara mudah sekali meledak. Sekarang ini, untuk sementara kekacauan yang menyebabkan perang saudara tampaknya masih bisa dielakkan: perbedaan paham dalam militer Soviet, secara relatif, masih berada di bawah permukaan. Namun, di masa depan yang tak terlalu lama, perbedaan itu bisa terangkat ke atas. Kekacauan ekonomi akibat kenaikan harga awal bulan ini, sampai akhir pekan lalu, masih belum bisa diatasi. Juga pemogokan buruh masih terus berlangsung, dengan akibat berhentinya produksi. Militer yang punya senjata mestinya tak akan tinggal diam. Dalam suasana itulah, para jenderal konservatif yang masih berpegang teguh pada prinsip mobilisasi umum dan wajib militer, sedangkan banyak perwira muda yang lebih cenderung pada sistem militer profesional seperti yang berlaku di negara-negara Barat, bisa bentrok. Apalagi, kepopuleran Yeltsin di Republik Rusia juga telah merasuk ke dalam kalangan militer. Sebagian besar perwira dalam angkatan bersenjata adalah orang Rusia, sedangkan golongan bintara dan prajurit terdiri dari orang-orang non Rusia. Mereka itulah yang merasa dijadikan "budak" oleh para perwira Rusia. Konflik ras ini lambat-laun akan jadi faktor penambah rawan kesatuan militer. Sebagai politikus, Yeltsin sadar betul akan hal itu. Ia datang ke tangsi-tangsi dan markas tentara, dan berbicara dengan mereka. Setelah pertumpahan darah di Vilnius, Lithuania, Januari lalu, ia mengimbau tentara untuk tak lagi menumpahkan darah bila menghadapi gelombang tuntutan demokrasi dan kemerdekaan. Ini bisa ditafsirkan sebagai anjuran tak langsung pada tentara untuk tidak menuruti perintah Kremlin. Yeltsin memang ofensif. Sebaliknya, Gorbachev, paling tidak sekarang ini, bersikap defensif. Banyak soal mesti dihadapinya. Tentara dan kaum komunis konservatif yang mengkritiknya karena ia dituduh kurang keras dalam menghadapi tuntutan demokratisasi. Krisis itu hanya bisa diatasi bila benar dugaan Richard Nixon, bekas presiden Amerika, sebagaimana dimuat di surat kabar International Herald Tribune. Yakni Yeltsin sebenarnya tak menghendaki kedudukan Gorbachev. Bila demikian, mestinya Yeltsin punya fungsi melawan kelompok garis keras, agar tak terlalu jadi ancaman buat Gorby. Namun, pendapat seperti ini tak populer, baik di Soviet maupun di dunia internasional. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini