PENYAKIT laten Jakarta yang paling sulit dicarikan obatnya, apa lagi kalau bukan kemacetan lalu lintas. Sumber penyakit itu jelas: pertumbuhan penduduk 3% per tahun, pertambahan kendaraan bermotor 15%, sedangkan kesanggupan pemerintah menambah ruas jalan hanya 4% setahun. Alhasil, kini 5.504 km panjang jalan di DKI harus dijejali lebih dari 1,5 juta kendaraan bermotor dari pelbagai jenis. Terobosan perlu dicari. Maka, Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, Menteri Perhubungan Azwar Anas, dan Gubernur Jakarta Wiyogo menghadap Presiden Soeharto Sabtu dua pekan lalu. Mereka menawarkan sistem angkutan baru, yang disebut O-Bahn, kepada Kepala Negara. Presiden setuju. Untuk sementara, O-Bahn hanya akan melayani trayek Blok M- Kota pp. Direncanakan, proyek ini akan rampung 1993, biayanya sekitar Rp 190,86 milyar -- tapi ini kalkulasi per Desember 1987. Sistem O-Bahn ini memerlukan jalur lintasan (track) tersendiri. Untuk Blok M-Kota, kabarnya 75% track akan dibuat enam meter di atas tanah, dan 25% sisanya di permukaan tanah. Sistem O-Bahn dirancang oleh perusahaan Jerman Daimler-Benz pada 1976. Sejauh ini, O-Bahn baru dipakai di Kota Essen, Jerman, mulai 1982, dan Adelaide, Australia, 1986. Dalam sistem O-Bahn, alias track guided bus atau bis terpandu, kendaraan yang dipakai adalah bis biasa, berukuran 12 meter panjang, seperti yang banyak berkeliaran di Jakarta. Track yang dibikin di atas tanah (elevator) itu kedua sisinya dibatasi tanggul, tingginya sekitar 30 cm, dan jarak keduanya sekitar 2,6 meter, sedikit lebih lebar dari badan bis yang 240 cm. Agar tidak menggesek tanggul ketika berjalan, 4 roda kecil dipasang di kanan-kiri badan bis, yang persis menempel pada tanggul track, yang membantu bis untuk terus mengikuti lekak-lekung track. Tapi pengemudi tetap harus memainkan rem dan persneling. Dalam rencana, bis terpandu Blok M-Kota itu akan memiliki dua track yang berdempetan. Satu lintasan ke Kota, satunya ke Blok M. Lebarnya 5,2 meter, terdiri dari dua track ditambah jalur pemisah satu meter. Dari arah Blok M, lintasan ini mengikuti tepian Jalan Sudirman. Di daerah Karet, track belok kiri, mengikuti Jalan Haji Mas Mansyur, ke Tanah Abang, lalu ke Jalan Majapahit, terus ke Kota. Bis-bis itu akan berjalan beriringan, masing-masing berjarak 45 atau 60 detik. Di jalur Blok M-Kota, sekitar 13,5 km, akan didirikan 16 buah halte, yang masing-masing berjarak 500 sampai 1.500 meter. Pada setiap halte, bis berhenti kira-kira 30 detik. Daya angkut O-Bahn cukup besar. Kalau bis itu berjalan beriringan dua-dua, berkapasitas 200 penumpang, dan setiap iringan berjarak 60 detik, mereka bisa mengangkat 12.000 penumpang per jam. Jika dipakai bis gandeng berdaya angkut 170 yang berjalan beriringan tiga buah sekaligus, dan setiap konvoi berjarak 65 detik, bisa 20.400 orang terangkut setiap jamnya. Kecepatan bis itu konon bisa mencapai 100 km. Tapi untuk pengoperasian ekonomis, kecepatannya 20 sampai 40 km/jam. Kalau melihat pengalaman di Adelaide, waktu yang bisa dihemat dengan sistem O-Bahn cukup lumayan. Satu trip, sepanjang 12 km, kata Marjaldi Loeis, staf bidang transportasi BPPT, bisa ditempuh 7-15 menit lebih cepat. Hanya saja, di Adelaide O-Bahn melayani trayek commuter yang tidak banyak haltenya. "Mungkin waktu yang bisa dihemat di Jakarta akan lebih kecil," katanya. Dari dana investasi yang Rp 190,86 milyar untuk O-Bahn itu, menurut Marjaldi, sebagian terbesar (Rp 174 milyar) diperlukan untuk membangun lintasan. Sisanya, Rp 16,86 milyar, untuk pengadaan 166 bis. Sedangkan biaya operasi setahun diperkirakan Rp 21 milyar. Setiap hari O-Bahn bisa mengangkut 215 ribu penumpang. Dengan kalkulasi yang menurut harga-harga 1987 itu, ongkos penumpang O-Bahn sekitar Rp 300. Dalam soal biaya, Citra-Summa, konsorsium yang dibangun oleh Bimantara dan Summa, siap menjadi investor. Konsorsium ini akan membangunnya dengan sistem BOT (build, operate, transfer). Jadi, setelah membangun, hak pengelolaan untuk jangka waktu tertentu diserahkan kepada Citra-Summa. Tentang masa penyerahannya, Yongkie Sugiarto, Kepala Divisi Otomotif Bimantara, belum berani memperkirakan. "Pembiayaannya sedang dikalkulasi ulang," katanya. Hitung-hitungan akan selesai sekitar enam bulan lagi. Setelah itu, elevator segera dibangun. "Dalam 1,5 tahun, saya perkirakan selesai," tutur Yongkie. Kendati punya daya angkut besar, menurut sebuah sumber TEMPO di BPPT, O-Bahn belum termasuk sarana transportasi masal. "Jadi, dia hanya bisa dipakai untuk jangka pendek atau menengah," katanya. Kritik semacam ini rupanya telah diantisipasi Citra-Summa. Maka, konsorsium ini hanya akan memakai bis-bis itu selama sekitar lima tahun. Setelah itu? "Kereta listrik," kata Yongkie. Kereta layang ini daya angkutnya konon bisa 40.000 orang per jam. Keputusan tentang O-Bahn ini menutup spekulasi soal aeromovel, yang ditawarkan oleh PT Citra Patenindo Nusapratama, pimpinan Ny. Siti Hardiyanti, tiga tahun silam. Aeromovel merupakan kereta layang model Brasil, digerakkan dengan tenaga tiupan angin dari kompresor besar yang disalurkan lewat lorong di dalam track kereta itu. Aeromovel dikalahkan oleh O-Bahn konon karena teknologi aeromovel belum teruji. Tapi tak berarti Citra Patenindo cuma bisa bengong. Citra-Summa kata Yongkie, mempersilakan kalau ada investor lain yang hendak bergabung dalam konsorsium. Putut Trihusodo, Linda Djalil, dan Liston Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini