Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

"Memeras tanpa Pandang Bulu"

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT Arswendo Atmowiloto, pemerasan oleh jaksa bukan sekadar mimpi buruk. Itu adalah pengalaman nyata. Mantan penghuni Rumah Tahanan Salemba selama tiga tahun itu (sejak Januari 1991) bahkan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa praktek haram itu juga dialami semua "koleganya" di bui.

Adalah tabloid Monitor—yang dibesarkannya—yang mengantarkannya ke pengalaman pahit itu. Ia tersandung angket 50 tokoh yang paling dikagumi pembaca pada edisi 15 Oktober 1990. Hasil jajak pendapat itu menempatkan Nabi Muhammad di peringkat ke-11, setingkat di bawah namanya. Geger pun meledak. Kalangan Islam yang sakit hati mengecam bahkan menuntutnya agar dihukum mati.

Sepuluh hari kemudian, ia pun ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wendo—begitu ia dipanggil—dituntut lima tahun penjara oleh Jaksa Soeryadi W.S. Ia dituduh telah menghina agama dan golongan. Dalam proses peradilan inilah ia celaka dua kali. Menurut pengakuannya, ia diperas Rp 100 juta lebih oleh jaksa yang menuntutnya. Hasilnya? Cuma gombal. Keringanan hukuman yang dijanjikan ternyata sekadar janji surga.

"Biadabnya, mereka memeras orang yang sudah menderita," kata lelaki gondrong berusia 51 tahun itu geram, kepada Karaniya Dharmasaputra dan Agus S. Riyanto dari TEMPO. Berikut pengakuan lugas—sambil sesekali mengumpat dan tertawa lepas—dari pemilik tiga media itu.


Kabarnya, Anda pernah diperas jaksa?

Ceritanya begini. Waktu ditahan di Polda Metro Jaya, saya didatangi jaksa penuntut umum. Kami bertemu empat mata di sebuah ruangan khusus di sana.

Setelah itu, tawar-menawar?

Waktu itu saya tanya berapa harganya? Dia minta Rp 200 juta. Lalu, saya tawar. Semula dia menolak, "Kalau nggak segitu, ya, sudah. Main pelek (istilah di penjara untuk proses persidangan tanpa main suap) sajalah." Saya bilang cuma punya deposito Rp 70 juta. Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya dia oke. Negosiasi terakhir berlangsung di Rutan Salemba. Gobloknya, dia mau menerima cek. Ceknya sempat saya fotokopi dan masih saya simpan.

Siapa, sih, nama jaksa itu?

Nggak usah saya sebut namanya. Tapi, kalau dia nanti membantah, akan saya buka. Yang pasti, habis itu, dia naik haji. Ha-ha-ha.... Gila.

Semula, Anda dijanjikan apa?

Dia bilang akan menurunkan tuntutan dari lima tahun penjara jadi cuma dua tahun. Setelah itu, biasanya hakim menjatuhkan putusan dua pertiga dari tuntutan. Jadi, sekitar 16 bulan. La, asyik, kan?

Nyatanya Anda tetap dituntut lima tahun?

Itulah gobloknya saya. Satu hari pun hukuman saya tidak dikurangi. Satu jam sebelum sidang, ia bahkan masih mendatangi saya. "Saya nggak mungkin menuntut lebih dari dua tahun," katanya. Eh, saat tuntutan dibacakan, dia menuntut lima tahun. Setelah itu, dengan enteng dia cuma bilang, "Habis, gimana, saya kan hanya menjalankan tugas." Sialan! Tapi, karena saya terdakwa, mana berani ngomong?

Kapan Anda menyerahkan cek itu?

Dua minggu sebelum pembacaan tuntutan. Yang jadi problem, jaksa itu cuma mau bertemu dengan terdakwa atau istrinya. Padahal, saya kan nggak bisa keluar dari Salemba. Jadi, istri saya yang menyerahkannya. Yang lucu, karena belum kenal, istri saya sempat keliru memberikannya ke jaksa lain yang namanya mirip. Gilanya, semula dia terima juga cek itu. Untung, karena ngomongnya nggak nyambung, cek itu tidak jadi diserahkan.

Anda menyerahkannya tanpa jaminan apa pun?

Nggak ada. Baru di tingkat banding, lebih jelas dan fair. Saya akan divonis sekian tahun, untuk itu harus bayar berapa. Semula hukuman saya dijanjikan akan diturunkan setahun. Ongkosnya Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Tapi, setelah dibicarakan dengan hakim, katanya cuma bisa dipotong enam bulan. Duitnya, sih, sama. Alasannya, kasus saya menarik perhatian publik, kalau diturunkan bisa repot.

Bagaimana di tingkat kasasi?

Semula saya bilang baru akan menyetor duit setelah putusan turun. Saya janjikan Rp 10 juta dalam bentuk cek mundur. Cuma, waktunya sudah mepet, saya juga sudah hampir bebas. Selain itu, hakimnya mau pensiun, jadi galak.

Akhirnya, Anda bayar juga?

Ya. Soalnya, calo itu bilang, saya harus membayar di muka karena akan segera diputus kurang dari seminggu.

Siapa calonya?

Saya tidak ingat namanya. Yang jelas, pegawai kejaksaan.

Selama di penjara, siapa saja yang pernah diperas jaksa?

Seorang bankir teman saya di Salemba juga kena Rp 1,9 miliar. Semula ia dipatok Rp 10 miliar.

Anda melihat langsung negosiasi itu?

Ya, khususnya saat deal. Pertemuan itu berlangsung persis di depan saya, di ruang tamu Salemba. Mereka datang satu rombongan. Sialnya, saya kok nggak dapat persenan, ha-ha-ha....

Duit itu sudah bersih untuk satu paket?

Itu belum termasuk "biaya transportasi". Dalam kasus saya, setiap kali datang, mereka minta Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Totalnya mencapai Rp 10 juta.

Ada kasus lain?

Semua kena. Semua "kasus berdasi"—sebutan jaksa untuk kasus yang ada duitnya—nggak ada yang lolos. Di blok penjara saya, ada 36 orang. Itu kan blok A dan B, tempat tahanan elite. Nggak ada yang main
pelek. Mulai dari yang enam juta sampai miliaran rupiah.

Kabarnya, ada semacam daftar tarif?

Ya, dan bervariasi, tergantung kasusnya. Kasus penyelundupan, pemalsuan kartu kredit, atau penipuan, ada tarifnya sendiri-sendiri. Biasanya, sekitar 15 persen dari jumlah penipuannya. Bahkan, untuk kasus kartu kredit, tidak ada tawar-menawar. Ada daftar tarif menurut plafon. Misalnya, kalau menipu sekian ratus juta, itu masuk bintang satu, tarifnya sekian puluh juta. Sedangkan untuk judi, karena hukumannya rata-rata di bawah satu tahun, relatif murah. Kalau penyelundupan, setoran itu bahkan sudah dimasukkan sebagai bujet.

Semua lewat jaksa?

Rata-rata begitu. Para jaksa itu datang ke Salemba. Negosiasi berlangsung terang-terangan. Yang ditawarkan macam-macam, termasuk hal-hal kecil. Misalnya, kalau berangkat ke persidangan, tangannya diborgol atau enggak, naik mobil tahanan atau sedan, sampai pemilihan sel dan penjara. Dan semua ada hitungannya. Pokoknya, asyik. Ha-ha-ha....

Kabarnya, kasus kakap selalu ditangani calo dari anak pejabat?

Oh, ya. Yang paling terkenal adalah anak seorang mantan petinggi Kejaksaan Agung. Bankir teman saya itu juga semula lewat dia. Tapi belakangan tidak jadi. Di blok saya, lebih dari separuh memakai jasa dia. Dan dia itu modelnya selalu setengah mengancam, "Daripada sengsara, paling aman lewat saya." Siapa yang nggak keder? Lagi pula, servisnya luar biasa. Modelnya paket, mulai dari pengadilan negeri sampai kasasi.

Benarkah tahanan kelas teri juga diperas?

Oh, ya. Di situ, sih, mereka cuma main cilukba. Paling-paling seratus ribu perak. Tapi modusnya sama.

Jadi, menurut Anda, ini penyuapan atau pemerasan?

Jelas pemerasan. Yang biadab, mereka memeras orang yang sedang menderita, tanpa pandang bulu. Kalau istilah di penjara, mereka itu ibarat makan mangga. Dari kulit, daging, sampai biji, semua digerogoti dan dijilati sampai tandas, baru dibuang ke tempat sampah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus