Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalur Tikus Gedung Bundar

Suap dan pemerasan menghantui Kejaksaan Agung. Sejumlah korban dan "orang dalam" mengisahkan liku-likunya.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANTAN bankir papan atas itu menghela napas panjang. Ia mengeluh. Hampir semua koleganya, yang pernah bolak-balik diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, mengaku pernah diperas aparat penuntut umum. Tapi, tak seorang pun berani membuka mulut. "Soalnya, bagaimana membuktikannya?" kata orang itu dengan setengah frustrasi. Pemerasan dan suap memang ibarat angin. Jelas ada dan kehadirannya bisa dirasakan, tapi tak kasat mata. Mencari barang bukti? Hampir mustahil. Praktek kotor itu dilakukan dengan cara teramat halus, sehingga tak mudah dijejaki. "Makin tinggi posisi jaksanya," kata Soehadibroto, mantan Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kepada TEMPO, "makin halus cara mainnya." Liku-liku permainannya ibarat labirin tikus yang tak ketahuan ujungnya. Karena itu, tak aneh jika amat langka korban yang berani "pasang badan" untuk bersaksi. Pengakuan dua bekas tahanan, mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor Arswendo Atmowiloto dan Wakil Direktur Utama Bank Duta Dicky Iskandar Di Nata, memperlihatkan derajat kecanggihan praktek lipat-melipat perkara itu (lihat wawancara). Semua transaksi dilakukan tanpa tercatat. Uang semir selalu diserahkan dengan tunai. Jenisnya pun kebanyakan bukan rupiah, tapi dolar. Sekali diserahkan, uang haram itu langsung bleng, tak berbekas lagi. Yang mengetahuinya pun amat terbatas—hanya pihak-pihak yang terlibat langsung. Negosiasi mesti dilakukan langsung oleh kalangan keluarga terdekat. Lokasi transaksi pun dipilih tempat yang aman dan tertutup, umumnya di hotel berbintang. Salah satu lokasi paling favorit belakangan ini, menurut seorang pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan sejumlah pengusaha, adalah Hotel Mulia di kawasan Senayan, Jakarta. Persisnya, di sebuah restoran di lantai 28 atau di kamar suite yang biasanya disewa cuma satu atau dua malam. Tentu saja, lengkap dengan layanan "luar-dalam". Menurut sang bankir, hotel itu digemari para aparat kotor karena lokasinya aman dari intipan orang. Dari lokasi parkir ada lift yang langsung meluncur ke lantai itu. Dalam urusan satu ini, para jaksa kotor rupanya tak cuma menunggu rezeki. Mereka juga kerap menjemput bola. "Mangsa" diburu bahkan saat mereka masih diperiksa di kepolisian. Pengacara terkemuka Abdul Hakim Garuda Nusantara punya pengalaman soal ini. Suatu saat ia sedang menangani kliennya yang terlibat kasus pencemaran nama baik. Ketika persoalan tersebut masih ditangani kepolisian, tiba-tiba seorang oknum jaksa mendatangi kliennya dan mengatakan agar persoalan tersebut dibawa ke kejaksaan. "Agar cepat selesai," katanya menirukan sang jaksa. Hal yang sama dialaminya saat menangani perkara kliennya yang terlibat kasus kredit macet. Ketika sedang berunding dengan pihak kreditur, tiba-tiba seorang jaksa nyelonong masuk. Bankir itu memberi tips. Mengungkap pemerasan tak mungkin dilakukan tanpa mengurai peran para calo perkara. Dari pengalaman dan pengakuan teman-temannya, korban dan aparat jarang bertransaksi langsung. Semua urusan selalu dibereskan melalui para calo itu. Ada beberapa jenis makelar. Pertama, dari kalangan jaksa atau aparat sendiri. Kedua, pengusaha dan anak para pejabat tinggi di lingkungan lembaga peradilan. Jenis terakhir, tak jauh-jauh, pengacara mereka sendiri. Untuk golongan kedua itu, Dicky Iskandar Di Nata dan seorang mantan tahanan di Salemba menunjuk nama Ais Anantama Said. Anggota DPR dari Golkar dan putra mantan Jaksa Agung Ali Said itu kabarnya kerap menjadi calo perkara "kasus berdasi" nan gemuk berlemak. Menurut pengakuan Dicky, saat kasusnya ditangani Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, istrinya dikontak Ais. Tawarannya: ia bisa mengatur agar hukuman di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung bisa didiskon. Agar lebih yakin, istrinya lalu diajak ke rumah Ais. Di sana, ia disodori selembar "surat sakti" yang diteken Ketua Mahkamah Agung, yang tak lain tak bukan adalah ayahnya sendiri, Ali Said. "Salinan suratnya masih saya simpan," kata Dicky. Bersama tiga orang temannya, Ais juga pernah datang ke Salemba untuk bernegosiasi. Atas desakan istrinya, Dicky sempat menyetor Rp 200 juta ke Ais. Belakangan, karena tak mempercayai konduitenya, ia menampik tawaran jasa itu. Kabar miring soal Ais ini juga dibenarkan seorang mantan petinggi kejaksaan. "Saya sering mendengarnya," katanya kepada TEMPO. Namun, Ais membantah keras saat dikonfirmasi. "Sudah 20 tahun saya tidak datang ke kejaksaan," katanya. Ia malah menunjuk tudingan itu semata manuver menjelang sidang umum untuk menjatuhkannya. Abdul Hakim mengatakan bahwa para calo ini sering diperhalus dengan istilah "pengacara rekanan kejaksaan". Selama ini, penanganan kasus-kasus basah terpusat pada mereka. Modusnya? Orang yang terlibat kasus dipilihkan pengacaranya langsung oleh pihak kejaksaan sendiri. Mereka ini sudah hafal betul maunya sang aparat. Mulai dari tarif sampai cara memberikan layanan yang memuaskan. Siapa saja mereka? Abdul Hakim berkeberatan menyebut nama. Yang jelas, ciri utamanya: mereka adalah advokat yang punya hubungan amat intim dengan para petinggi kejaksaan. Mereka kerap terlihat bermain golf atau bermain tenis bareng, sambil, tentu saja, membicarakan "pengaturan" kasus kliennya. Selain itu, ada cara lain untuk mengenalinya. "Buat saja daftar kasus korupsi kakap yang sedang diperiksa kejaksaan, lalu cek siapa pengacaranya," katanya sambil tersenyum. Praktek ini rupanya sudah begitu lumrah. Seorang jaksa agung muda, misalnya, terang-terangan mengaku sering mendapat upeti dari advokat golongan ini. "Terus terang, saya tidak bilang diri saya bersih. Saya terima uang itu, asalkan tidak ada ikatannya dengan kasus," katanya dengan enteng. Ia juga mengingatkan, sering pengacara bilang pada kliennya bahwa jaksa, misalnya, minta uang Rp 100 juta. Tapi, yang benar-benar disetorkan paling banter cuma Rp 5 juta. "Itu kan konyol," katanya jengkel. Soal praktek ini, Ketua Umum HIPMI Hariyadi Sukamdani punya perumpamaan menarik. Pengusaha, kata dia, kini jadi pengacara (singkatan: pengangguran banyak acara) dan pengacaralah yang jadi pengusaha. Selain soal makelar, menurut mantan Jaksa Agung Soedjono Ch. Atmonegoro, proses pemeriksaan di kejaksaan sendiri menyediakan banyak celah yang memungkinkan terjadinya pemerasan. Yang paling rawan adalah pemanggilan dengan model "undangan". Padahal, menurut peraturan, pemanggilan cuma ada dua: sebagai saksi atau tersangka. Ia menunjuk satu kasus. Tanpa jelas hal ihwalnya, seorang temannya diundang salah seorang jaksa agung untuk dimintai keterangan. Soedjono lalu bilang agar temannya itu tidak perlu datang. "Itu kan sama saja dengan undangan resepsi. Boleh datang, boleh tidak," katanya lagi. Hal itu dibenarkan seorang pengurus teras HIPMI. Menurut dia, rekan-rekannya yang pernah diperas selalu mendapat panggilan semacam itu tanpa dasar, apalagi bukti yang akurat. Modelnya, cuma disebut berdasarkan laporan masyarakat, yang tak ketahuan juntrungannya. Repotnya, pemanggilan itu lalu dibiarkan saja dan tak pernah jelas ujungnya, sehingga, si pengusaha selalu was-was, jangan-jangan setiap saat "undangan" itu datang lagi. Tahap pemeriksaan yang paling memungkinkan terjadinya pemerasan, menurut Gagoek Soebagyanto—mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang dipensiun karena tersandung kasus Nurdin Halid—adalah pada tingkat penyelidikan. Sudah menjadi model umum, seseorang dipanggil terus-menerus untuk memaksa yang bersangkutan merundingkan sejumlah "uang damai" supaya kasusnya tidak dilanjutkan lagi. Menurut pengurus HIPMI itu, dalam urusan ini di kejaksaan dikenal luas soal "map merah" dan "map kuning". Ini kode soal tawar-menawar perkara. Memilih map merah, berarti maju tak gentar dan kasus jalan terus atau dalam istilah populer di tahanan: main pelek. Tapi, kalau mau berdamai, pilihlah map kuning. Konsekuensinya, tentu saja, harus dibarengi segepok rupiah. Cara pemeriksaan yang sengaja dimolor-molorkan itu, kata Soedjono, bisa dilihat dari kasus percakapan telepon Ghalib dan Habibie. Percakapan soal pemeriksaan Soeharto itu jelas-jelas menunjukkan bahwa waktu pemeriksaan bisa diatur. Soedjono sendiri pernah mendengar langsung dari seorang pengusaha yang pernah dipanggil kejaksaan. Menurut pengakuannya, pemeriksaan sudah selesai satu jam, tapi ia baru boleh pulang delapan jam kemudian. Lewat cara inilah, menurut pengacara Luhut M. Pangaribuan, terperiksa biasanya makin dalam terjeblos perangkap, contohnya seseorang membayar sejumlah "uang semir" agar tidak ditahan. Nah, itulah awal ketika ia memasuki sebuah rentetan panjang pemerasan. Setelah itu, berkasnya lalu dibuat menggantung. Perkaranya tidak diajukan ke pengadilan dan si pengusaha harus terus membayar upeti. Hal itu, kata Luhut lagi, bisa dilihat dari kasus pemeriksaan rombongan bankir yang sampai sekarang tak jelas juntrungannya itu. Syukurlah, JAM Tindak Pidana Khusus Ramelan menegaskan pihaknya tengah bekerja keras menegakkan transparansi dan kepastian hukum dalam setiap pemeriksaan perkara. Memang tak ada pilihan lain, jika citra lembaga itu tak mau makin terpuruk saja. Dengarlah kegundahan seorang jaksa di sana. Saat ini, ia tak berani lagi pulang kantor dengan masih mengenakan seragam dinas. "Takut disangka banyak duit," katanya dengan kecut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus