Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dalam Labirin Korupsi

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah mengusulkan undang-undang antikorupsi baru. Namun, apa yang bisa diharap jika korupsi yang demikian nyata bahkan tetap jadi misteri—dalam kasus Soeharto dan kasus Andi Muhammad Ghalib? Dan pengakuan sederet korban pemerasan Kejaksaan Agung, yang belakangan ini marak, tak hanya menerbitkan ironi, tapi juga makin menyesatkan kita dalam lorong-lorong labirin korupsi tiada ujung. Apa yang bisa dilakukan ketika hukum telah tergerogoti kanker tepat pada jantungnya? Dalam upaya pemberantasan korupsi, banyak orang seperti anak kecil yang menolak berangkat dewasa. Mereka senang membuat hukum, tapi lebih senang lagi melanggarnya. Kahlil Gibran tak bisa lebih tepat lagi ketika membicarakannya dalam Sang Nabi: "Seperti anak-anak kecil bermain di pantai, kita tekun membangun istana pasir, lalu dengan sukacita menghancurkannya." Calon "istana pasir" baru itu adalah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pekan-pekan ini dibahas DPR. Inilah upaya kedua pemerintahan transisi B.J. Habibie untuk menerjemahkan Ketetapan MPR 1998 yang diamanatkan kepadanya. Belum lama ini, bersama DPR, pemerintah telah pula menelurkan Undang-Undang 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dan bahkan pekan lalu, Habibie juga berniat membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat. Komisi-komisi. Undang-undang. Dan sudah. Hanya begitu saja. Ada banyak kemajuan penting dalam rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan itu: pasal-pasal yang lebih spesifik, prosedur yang lebih transparan, serta sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan yang tercakup dalam undang-undang antikorupsi sebelumnya (UU 3/1971). RUU itu disusun, seperti biasa, dengan tekun dan serius tampaknya. Namun, tak sulit membayangkan dia akan senasib dengan "istana pasir" lain. Pekan lalu, Indonesian Corruption Watch (ICW), yang tak puas sekadar menggarap mantan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib, mengumumkan investigasi mutakhirnya tentang skandal suap dan pemerasan para penegak hukum di lingkungan Kejaksaan Agung secara lebih luas. Mendatangi korban-korban pemerasan dan mewawancarai sejumlah sumber terpercaya di banyak departemen, Tim ICW memperoleh data dan pengakuan spesifik. Hasilnya adalah gambaran yang jauh lebih suram. "Kejaksaan harus memulai dari awal lagi untuk memperbaiki citranya," kata Dr. Andi Hamzah, mantan Kepala Litbang Kejaksaan Agung yang kini menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Hamzah mengusulkan agar "semua jaksa yang ada sekarang diganti dengan yang baru". Suap dan pemerasan adalah salah satu bentuk penyalahgunaan jabatan yang merugikan publik dan menguntungkan diri sendiri maupun orang lain—ringkasnya: korupsi. Sedemikian parahkah? Dengan reputasi Indonesia sebagai salah satu negeri paling korup seantero planet, praktek suap-peras aparat Kejaksaan Agung sebenarnya telah menjadi "rahasia yang semua orang tahu". Citra Kejaksaan Agung sendiri, menurut Andi M. Nasrun, salah satu koordinator ICW, memang sudah merosot sejak era Orde Lama. "Pemerasan sudah berlangsung lama, dengan jumlah kasus yang terus bertambah dan jumlah uang yang diminta kian gila-gilaan," tambahnya. ICW menemukan sejumlah kasus yang terjadi sejak 1990-an. Dan dalam kesempatan yang jarang, kini ada banyak data dan pengakuan yang lebih gamblang membuka kedok anatomi kebusukan itu. Kepada TEMPO, dua orang yang mengaku menjadi korban pemerasan membuat pernyataan terbuka dan lebih spesifik. Keduanya terlibat dalam kasus kontroversial pada 1990: Dicky Iskandar Di Nata dalam kasus Bank Duta dan Arswendo Atmowiloto dalam kasus Monitor (lihat: Wawancara). Dalam kasusnya sendiri, Arswendo mengaku harus membayar Rp 70 juta, yang dia kirim via cek kepada seorang jaksa. Dari pengamatannya di penjara, sebagai sastrawan, dia mengungkapkan betapa luasnya praktek selingkuh hukum yang melibatkan beberapa jaksa. Dari semua "kasus berdasi"—sebutan lingkungan kejaksaan untuk kasus yang ada duitnya—dalam blok selnya di penjara, "Enggak ada yang lolos. Mereka kena dari enam juta hingga miliaran rupiah," kata Arswendo. Dicky lebih malang. Bank Duta, yang sempat hampir bangkrut karena permainan valuta asingnya, adalah milik sejumlah yayasan mantan presiden Soeharto. Tak aneh jika dia menjadi sasaran empuk. "Saya diperas sampai Rp 3 miliar lebih," katanya. Dalam satu tahap, dia harus mengeluarkan uang Rp 750 juta dengan janji tuntutannya diperingan jadi delapan tahun. Uang sudah disetor, tapi sang jaksa justru menambah tuntutannya jadi 18 tahun penjara. Vonis hakim: delapan tahun. Memang, tak cuma jaksa yang tega mengerat-kerat hukum. Dicky juga mengungkapkan perlakuan serupa di semua tingkatan pemeriksaan, dengan keterlibatan banyak kalangan, termasuk sang hakim. Dia berani menyebut nama-nama yang terlibat, serta mengaku memiliki beberapa bukti yang masih dia simpan. Beberapa kasus terbaru menyangkut kalangan pengusaha. Krisis ekonomi telah merontokkan banyak bank, yang kini getahnya menjadi tanggungan negara senilai triliunan rupiah. Di sisi lain, ini menjadi semacam musim panen. Para bankir dan pengusaha-sekaligus-bankir mendatangkan banyak "kasus berdasi" bagi Kejaksaan Agung. Mark-up proyek, proposal bisnis fiktif, dan pelanggaran batas kredit adalah bentuk-bentuk pidana korupsi. Sejumlah pengusaha mengaku kepada TEMPO tentang praktek-praktek suap serupa, dengan keterlibatan luas, dari hulu hingga hilir. Dan untuk satu hal, itu menjadi "sukses" kejaksaan: tak satu pun kasus kolapsnya bank-bank itu yang berujung di pengadilan! Tentu saja, praktek suap bisa berlangsung mulus karena keterlibatan banyak pihak: tersangka, pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan juga wartawan. "Perkara atau kasus sudah merupakan komoditi dagang," kata mantan Jaksa Agung Soehardibroto. "Kita semua sudah sakit". Andi Nasrun dari ICW mengatakan, aparat kejaksaan bisa menuntut bayaran sampai sekitar 50 persen dari nilai perkara. Dalam kasus para bankir yang perkaranya bisa mencapai ratusan miliar, jumlah uang yang "beredar" bisa dibayangkan. Uang yang dikirim oleh konglomerat Prajogo Pangestu dan The Ning King ke rekening mantan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib mencapai ratusan juta rupiah. Dari 10 persen sampai 20 persen akan masuk ke kantong para broker. Banyak pengacara dan anak pejabat di lingkungan hukum, menurut sejumlah sumber TEMPO, sering menjadi calo penghubung antara tersangka dan pihak kejaksaan. Beberapa sumber berbeda antara lain menyebut satu nama: pengacara terkenal O.C. Kaligis, salah satu anggota tim pembela Soeharto. Seorang pengacara sering menelepon Ghalib di depan klien-kliennya untuk menunjukkan kedekatannya dengan lingkungan kejaksaan. Kaligis membantah tudingan itu. "Saya pengacara profesional," katanya kepada TEMPO. "Kalaupun saya dekat dengan pejabat, tak ada yang saya langgar. Indonesia ini negara hukum, segala sesuatunya harus berdasarkan hukum." Dicky menyebut terus terang nama Ais Ananta Said—putra mantan Jaksa Agung Ali Said, kini salah satu tokoh Golkar di belakang pencalonan kembali Habibie—sebagai salah satu broker dalam kasusnya. Ais juga membantah. "Tuduhan itu tidak benar," katanya. "Saya tidak pernah datang ke kejaksaan. Sudah 20 tahun saya tidak datang ke kejaksaan, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan lobi." Ais menunjuk tudingan itu semata manuver menjelang sidang umum untuk menjatuhkannya. Banyak pihak bisa terlibat. Namun, keterlibatan aparat kejaksaan—terlebih lagi Kejaksaan Agung—adalah ironi yang paling menyesakkan. Sebab, bersama kepolisian, inilah lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, yang sering disebut sebagai tindak pidana khusus. Wewenang Kejaksaan Agung untuk menyidik langsung tindak korupsi datang dari anggapan bahwa kasusnya bisa lebih lancar ditangani tanpa keterlibatan banyak pihak. Dalam praktek, hak istimewa itu menjadi sarang korupsi yang tak kalah busuknya: aparat Kejaksaan Agung tak hanya menerima suap, tapi juga menyudutkan para tersangka dalam posisi yang tidak bisa lain kecuali menyuap. "Ibaratnya, sudah tinggal tulang-belulang pun akan terus mereka peras," kata Dicky. "Jangankan individu-individu, lembaga atau instansi pemerintah pun bisa diperas jaksa, misalnya sejumlah BUMN," kata Andi Nasrun dari ICW. Seorang jaksa agung muda mengaku terus terang kepada TEMPO, dia tak terlalu bersih. "Saya terima uang suap itu," katanya. Namun, dia menolak adanya praktek pemerasan. Nama kejaksaan, kata dia, sering dipakai oleh pengacara untuk memeras kliennya. "Sering pengacara mengatakan kepada klien bahwa kejaksaan minta Rp 100 juta, tapi yang benar-benar sampai ke kejaksaan hanya Rp 10 juta," tambahnya. Jika bukan pemerasan, itu tetap saja korupsi. Kenapa semua ini bisa terjadi? "Tak usah pakai teori macam-macam," kata mantan Jaksa Agung Soehardibroto. "Jawabannya jelas: semua penegak hukum itu digaji di bawah standar, jauh di bawah standar." Rendahnya gaji para jaksa, menurut Soehardibroto, adalah faktor utama sulitnya menegakkan hukum di lingkungan kejaksaan. "Mereka masih cari makan, bukan bekerja karena panggilan nuraninya." Keluhan umum seperti itu layak mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah mendatang. Namun bahkan seorang Ghalib pun, yang sudah bisa hidup lebih dari sekadar mencari makan, toh masih menerima kiriman ratusan juta rupiah ke rekeningnya. Dan tak ada kasus dugaan suap yang lebih kontroversial dari itu belakangan ini. Bahkan, kalaupun itu bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk persatuan gulat yang dia pimpin, uang dari Projogo dan The Ning King tadi masuk dalam kategori suap. Adalah ironi bahwa Ghalib, sang jaksa agung, tak bisa memastikan bahwa praktek seperti itu melibatkan konsep konflik kepentingan yang elementer, dan semestinya dia hindari. Dua pengusaha itu pernah diperiksa kejaksaan untuk kasus korupsi. Ironi lain lebih mencengangkan. Oleh polisi, kedua pengusaha itu kini resmi dijadikan tersangka kasus suap Ghalib. Sebaliknya, Ghalib sendiri bebas. Pekan lalu, Komandan Pusat Polisi Militer Djasri Marin membatalkan penetapan Ghalib sebagai tersangka pada kasus yang sama. Didin S. Maolani, Koordinator Biro Hukum Badan Pengawas Reformasi Total, menyebut kejanggalan itu sebagai "konspirasi menyelamatkan Ghalib dan nama baik korps militer dari tuduhan korupsi". Jika tidak uang, kekuasaan dan bedil bisa pula mencabik-cabik hukum. Itu sebabnya Ketua Dewan Etik ICW, Bambang Widjojanto, pesimistis bahwa korupsi bisa diberantas melalui solusi hukum semata. "Korupsi adalah konspirasi yang berkaitan erat dengan rezim dan kekuasaan. Biasanya ia sangat terorganisasi rapi dan punya mekanisme menggunakan hukum untuk membenarkan tindakannya," katanya. Gerakan antikorupsi, menurut Bambang, harus diwujudkan menjadi gerakan sosial yang massal, dengan prioritas membuka akses sebesar-besarnya kepada rakyat untuk mengontrol para pemegang jabatan, serta menuntut transparansi dan akuntabilitas publik seluas-luasnya. Ujian sebenarnya dari keseriusan upaya pemerintah memberantas korupsi terletak pada kemauan politik untuk menindak siapa pun, tanpa pandang bulu—termasuk mantan presiden Soeharto dan Ghalib—dan bukan pada perumusan undang-undang baru yang cenderung sekadar kosmetik. Jika ada kemauan, Undang-Undang Antikorupsi 1971 pun masih cukup memadai. Atau, bahkan perangkat hukum yang paling elementer: KUHP. Sebab, apa sebenarnya beda mendasar antara maling ayam dan koruptor kecuali bahwa korupsi biasanya jauh lebih merugikan—satu bentuk kanker sosial yang ganas—tapi ironisnya malah lebih mudah lepas dari jerat? Begitulah. Laut akan senantiasa mengantarkan pasir ke pantai. Lebih banyak istana pasir bisa dibuat. "Dan ketika kita menghancurkannya, laut pun ikut tertawa," kata Gibran. Kita memang anak-anak abadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus