Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

"Hukuman Seumur Hidup Bila Tak Kompromi"

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Agustus 1998, bank, tempat saya bekerja sebagai direktur utama, dilikuidasi. Saya kemudian ditangkap oleh polisi tanpa ada surat perintah. Di Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri), saya ditanya—sekaligus dituduh—mengenai mark up hingga kredit macet. Memang, sebelumnya, bank milik dua konglomerat papan atas itu pernah mendapatkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Saya dianggap memanipulasi kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia tersebut. Gila! Dari Mabes Polri, saya dibawa bolak-balik ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan oleh aparat kejaksaan itu pun bertele-tele. Sanggahan saya pun selalu monoton, yaitu saya sekadar orang upahan bukan pemilik bank. Artinya, kebijakan saya terbatas. Saya jenuh dan merasa lebih baik diadili di muka hakim. Nah, saat itulah saya didatangi oleh orang yang mengaku utusan dari Kejaksaan Agung. Kata utusan ini, "Kasus Anda ini akan lekas selesai, asalkan Anda mau berkompromi." Saya bingung. Entah karena saya tak kunjung paham, orang itu pun berbicara to the point. Kalau saya bersedia menyerahkan uang tunai sejumlah Rp 3,5 miliar, kasus saya dianggap selesai. Saya terperangah. Selain saya tak bersalah, permintaan itu terlalu besar. Mengumpulkan gaji saya sebagai presiden direktur selama sekian tahun pun tidak bakal cukup. Tanpa diskusi dengan keluarga, saya langsung menolak permintaan itu. Tapi utusan ini tidak lekas pasrah. Dia terus mendatangi saya dan anggota keluarga saya. Suatu hari, ia mengancam kalau saya tidak mau berkompromi, saya bakal di penjara seumur hidup. Saya takut, sebab hukuman tersebut sungguh sangat berat dan berarti tamatnya riwayat hidup saya. Namun, ada teman lain yang punya cerita lebih seram. Ia pernah didatangi oleh seorang jaksa perempuan yang umurnya sudah agak tua yang bermaksud mengajaknya berakhir pekan berdua saja di Puncak. Gila, sebegini bejatkah moral Kejaksaan Agung? Masa, teman saya yang gagah itu harus melayani perempuan peot? Pokoknya, sampai setengah semaput kami dibuat oleh orang-orang di Kejaksaan Agung itu. Yang pasti, karena saya tak bersalah dan tak punya uang, saya tetap menolak permintaan sang utusan Kejaksaan Agung ini. Saya tidak tahu bagaimana lobi yang dilakukan oleh pengacara saya ketika itu, tapi saya lantas dibebaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus