Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam negeri, sejumlah pengusaha Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) itu termasuk yang terciprat rezeki ekonomi Orde Baru. Namun, sebagian dari mereka juga terciprat gaya-gaya kolutif dan nepotis rezim itu. Sial, setelah rezim keropos itu tumbang, mereka yang dicurigai terlibat praktek tak sedap dalam berniaga itu menjadi sasaran empuk pemerasan para jaksa.
Praktek nakal para jaksa itu secara tidak langsung diakui Bismar Mannu, Direktur Korupsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. "Kemungkinan itu bisa saja terjadi dalam tahap penyelidikan," kata Bismar kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.
Cerita pemerasan para jaksa beredar kencang seperti angin lesus di lingkungan pengusaha muda Jakarta. Tapi hanya beberapa orang yang berani membuka mulut untuk mengungkapkannya. Sayangnya, dari mereka yang berani "bernyanyi" itu, tak ada yang punya barang bukti, misalnya tanda terima atau kaset rekaman pembicaraan. Dan karena tanpa barang bukti, kebanyakan dari mereka enggan menjadi saksi praktek nakal para jaksa itu.
Setidaknya sampai akhir Juni lalu empat pengusaha dikabarkan telah diperas oknum Kejaksaan Agung dengan nilai masing-masing sekitar Rp 300 juta. Para korban itu dituding terlibat praktek kolusi dan nepotisme dalam berniaga. Korban pemerasan itu antara lain pengusaha pembangunan jalan tol Rafiq, anak mantan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muchtar. Juga Bambang Yoga Sugama, yang berkongsi dengan anggota Keluarga Cendana, Bambang Trihatmodjo, dalam proyek jalan tol. Bambang Wiyogo, putra mantan gubernur DKI, juga mengalaminya—dalam kasus penggunaan tanah di Kuningan, Jakarta, untuk pembangunan gedung Menara Imperium.
Para oknum korup itu memiliki akal kancil untuk menyedot uang haram dengan cara mudah. Apalagi, dengan berbagai aksesori pangkat jabatan di pundak, mereka seolah mengantongi franchise kekuasaan untuk melakukan apa saja. Dan korban yang takluk memilih cara praktis: menyodorkan segepok uang, asalkan roda bisnisnya bisa terus menggelinding. Sasaran pemerasan terutama pengusaha dari lingkaran dalam Keluarga Cendana (keluarga mantan presiden Soeharto) dan para kroni (Prajogo Pangestu dan kawan).
Langkah awal jaksa kotor itu biasanya meriset daftar pengusaha dan kesalahan-kesalahannya lewat informasi media massa ataupun lewat radio mulut. Selain itu, data Bank Indonesia, misalnya daftar penyalahgunaan kredit, menjadi sumber yang berharga. Dari situ, si jaksa memanggil pengusaha dengan undangan biasa, bukan sebagai tersangka ataupun saksi. Jaksa itu meminta pengusaha menceritakan proses untuk memperoleh proyek. "Ini gila. Pihak kejaksaan menggiring si pengusaha agar mengakui terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)," kata sumber di Hipmi. Berlangsung selama berjam-jam, proses tanya-jawab itu tak ubahnya teror psikis. Cara itu dipakai untuk mendorong pengusaha melakukan sesuatu yang ditunggu jaksa: kompromi kotor.
Proses berikutnya, seorang "broker" (misalnya pengacara) akan menawarkan jalan damai kepada si pengusaha. Pengacara sangat memahami cara main aparat kejaksaan, termasuk tarif dan seleranya. Karena itu, dialah yang akan mengurus tetek-bengek jalan damai.
Modus lain: biasanya si jaksa sendiri yang menawarkan jalan kompromi itu. Di belakang meja jaksa, dua jenis map tersedia: merah, yang berarti penyelidikan kasus dilanjutkan, dan kuning, yang bermakna sebaliknya. Itu cara lain untuk memaksa pengusaha agar mau membuka dompetnya. Transaksi begini dilakukan di hotel-hotel, misalnya Hotel Mulia, Hilton, dan Sahid Jaya—semuanya di Jakarta. Selera fasilitas jaksa cukup tinggi: mereka meminta booking kamar kelas suite dua malam untuk kepentingan transaksi itu. Semuanya harus disediakan oleh si pengusaha.
Ada modus lain lagi: bidikan lewat pajak. Seorang pengusaha bercerita bahwa suatu hari dia ditelepon aparat kejaksaan. Pengusaha itu terkaget-kaget karena si penelepon mengundangnya agar datang ke kantor Kejaksaan Agung menyangkut tuduhan korupsi. Merasa tidak pernah melakukan cara kotor dalam bisnis, si pengusaha menolak menghadiri undangan itu. Tapi, karena pesawat telepon dari kejaksaan tak berhenti berdering, akhirnya si pengusaha terpaksa datang ke Gedung Bundar. Aparat kejaksaan itu urung memeras si pengusaha dengan tuduhan korupsi. Sebab, memang bukti tidak ada.
Namun, aparat kejaksaan tak kurang akal. Mereka menjerat orang itu dengan tuduhan penggelapan pajak. "Soal pajak ini sering menjadi senjata pamungkas mereka," kata Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum BPP Hipmi. Dan memang pengusaha itu akhirnya menyerah dan memilih jalan damai senilai Rp 200 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini