PENGAKUAN penting itu meluncur dari mulutnya: "Saya yang meletakkan bom di Medan pada tahun 1998." Adalah Yanto (bukan nama sebenarnya) yang mengucapkan itu kepada wartawan Tempo. Ia bercerita, aksinya dilakukan bersama seorang temannya, Zakir (ini juga nama samaran). Bom dirakit di rumah Yanto, di pinggiran Kota Medan. "Saya pakai sarung tangan, supaya tak meninggalkan sidik jari," kata Yanto lagi. Kesaksian ini dikukuhkan seorang pelaku lain, sebut saja namanya Edwin. Dialah yang merekrut Yanto dan Zakir dalam komplotan. Anehnya, sampai kini keterlibatan mereka seperti tak terlacak aparat.
Majalah ini sudah melacak nama-nama tadi sejak Agustus lalu. Untuk menguji kesahihannya, ketiganya diwawancarai terpisah, pada waktu dan tempat yang berbeda, tanpa satu sama lain saling mengetahui. Setelah itu, barulah informasi dari mereka dicek silang.
Jika benar, kesaksian ini mengungkap percobaan peledakan bom tiga tahun lalu, yang masih gelap hingga kini?seperti banyak kasus lainnya. Kala itu, pada tengah hari 9 Februari, Bandara Internasional Polonia geger. Sebuah kotak karton misterius ditemukan dekat sebuah mesin anjungan tunai mandiri. Isinya dicurigai bom. Kepanikan pun menyebar. Bandara segera dikosongkan. Semua karyawan penerbangan, penumpang, dan pengantar dievakuasi. Keberangkatan pesawat ditunda.
Ternyata, bom itu dirakit tidak untuk diledakkan. Bentuknya, empat batang pipa paralon 30 sentimeter, berisi belerang (bahan baku bom tradisional), dilengkapi baterai kering, kabel, antena, dan coretan berbunyi: "Turunkan harga-harga atau di tempat lain akan menyusul". Cuma itu. Tak ada detonator.
"Itu sengaja dibuat oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan situasi keamanan," begitu reaksi Kepala Staf Komando Distrik Militer I/Bukit Barisan, Brigjen D. Hindartono, kala itu.
Memang itu tujuannya, kata Yanto lagi. Bukan untuk merusak, apalagi membunuh. Target yang diberikan sebatas menciptakan situasi tak aman, sehingga militer yang kewenangannya mulai banyak dipreteli bisa kembali berperan. Menurut versi Edwin, aksi teror ini ada hubungan dengan mulai tergusurnya berbagai operasi gelap tentara yang telah lama membekingi tempat-tempat judi di Medan.
Bagian yang paling mencengangkan adalah pengakuan mereka tentang siapa sang pemberi order. Telunjuk mereka terarah pada Kolonel Inf. Dasiri Musnar. Dia adalah seorang perwira yang selalu berkecimpung di jalur intelijen militer. Lulusan akademi 1974 ini masuk Kodam Bukit Barisan di Medan pada awal 1995 sebagai Wakil Asisten Intelijen. Cuma enam bulan, ia lalu naik menjadi Asisten Intelijen sampai Juni 1997. Dari situ dia mendapat promosi menjadi Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, Aceh (sekaligus sebagai Komandan Komando Pelaksana Operasi Jaring Merah) sampai November 1998, sebelum akhirnya ditarik ke Jakarta. Selama bertugas di Aceh, Dasiri tetap banyak dilibatkan dalam berbagai operasi intelijen di Medan.
"Kami disuruh Kolonel Dasiri Musnar," kata Yanto, tanpa ragu-ragu. Bahkan, setelah itu, Yanto juga mengaku pernah ditawari oleh seorang perwira intel lain dalam aksi peledakan di Restoran Miramar, Medan. Kali ini dia menolak.
Ketika menjabat Asisten Intelijen itulah Dasiri aktif menyusun jaringan informan sipilnya. Anggotanya kebanyakan direkrut dari organisasi onderbouw militer dan kumpulan preman yang terkenal di Medan. Edwin adalah salah seorang andalannya. Bekas aktivis sebuah partai "kuat" ini adalah mantan pengurus himpunan yang berafiliasi ke kalangan tentara. Ia sendiri berasal dari keluarga serdadu. Sudah lama Edwin menjalin hubungan akrab dengan para petinggi militer di sana.
Lewat tangan Edwinlah, Dasiri merekrut Yanto dan Zakir. Yanto juga lahir dari keluarga tentara dan menjadi anggota di organisasi yang sama dengan Edwin. Ia lalu "ditanamkan" dalam kelompok Gerakan Aceh Merdeka bentukan tentara. Tugasnya, menjadi informan militer dan polisi. "Terus terang, saya dulu mau disuruh begitu karena faktor perut yang sejengkal ini," kata Yanto.
Kepada Tempo, Zakir membantah ikut meletakkan bom. Menurut Edwin dan Yanto, Zakir sebenarnya ikut terlibat dalam operasi Polonia. Cuma, pada saat terakhir, ia tak jadi masuk ke lokasi. Tapi aktivis organisasi buruh ini mengaku digalang Dasiri untuk berbagai operasi intelijennya. "Saya direkrut Dasiri sejak 1995," kata Zakir. Proyek pertamanya adalah menyebarkan selebaran gelap untuk merekayasa isu politik tertentu. Dia juga diminta memata-matai berbagai kelompok oposisi terhadap rezim Soeharto. Tak lama setelah peristiwa Mei 1998 di Medan, ia dijemput dan kembali dipertemukan dengan Dasiri di markas Komando Distrik Militer Medan. Ketika itu, meski telah menjabat Danrem di Aceh, Dasiri diberi tugas memimpin operasi intelijen untuk mengantisipasi kerusuhan. "Sejak itu saya makin akrab dengan Dasiri dan makin sering diberi order," katanya.
Lalu, kenapa mereka kini "menyanyi"? Sakit hati adalah soalnya. Mereka merasa dikhianati. Suatu waktu, kelompok mereka digerebek aparat. Yanto ikut kena garuk, bahkan dipukuli sampai babak-belur. Dan Dasiri malah cuci tangan. "Saya pernah minta bantuan, tapi dia selalu mengelak. Dari situ saya dendam. Makanya saya bocorkan rahasia ini," kata Yanto. Kemasygulan serupa dinyatakan Edwin, "Dia itu mengkhianati informannya sendiri."
Lima perwira menengah dan tinggi di militer serta kepolisian, plus sejumlah sumber Tempo lainnya?yang dihubungi secara terpisah?menerangkan siapa itu Dasiri. Dugaan keterlibatannya dalam kasus bom Polonia pun dibenarkan seorang mantan petinggi intelijen Kodam Bukit Barisan dan seorang jenderal polisi yang lama bertugas di Aceh. Bahkan, kata sang perwira tinggi polisi, pihaknya sedang terus menyelidiki dugaan keterkaitan Dasiri dalam rentetan bom di Medan belakangan. "Sewaktu peledakan, ia diketahui ada di lapangan," katanya.
Di kalangan intelijen, nama Dasiri amat terkenal. Ia dianggap sebagai perwira garis keras dalam berurusan dengan GAM. "Dia dicopot karena tak sejalan dengan kebijakan Panglima mencabut status daerah operasi militer di Aceh," kata seorang kolonel di Markas Besar TNI. Ketika itu, Dasiri sempat mencoba mempertahankan status darurat itu dengan menggesernya sedikit menjadi "daerah operasi teritorial".
Dasiri sangat getol menggelar operasi antigerilya dan berperan besar dalam pembentukan cuak, jaringan mata-mata sipil yang direkrut dari warga Aceh sendiri. Prestasi lain adalah ketika ia berhasil menemukan gudang senjata GAM dan menyita seratusan pucuk senjata. Ini tak lepas dari informasi yang dipasok Letkol Soedjono, Asisten Intelijen Korem Lilawangsa yang dekat dengannya. Belakangan, Soedjono buron setelah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pembantaian Teungku Bantaqiah?yang menyebabkan Bantaqiah dan sekitar 50 pengikutnya tewas, Juli 1999.
Ada banyak cerita miring di seputar Dasiri. Namanya dikait-kaitkan dengan sejumlah tuduhan tak sedap, mulai dari membekingi bisnis gelap sarang burung walet di Aceh sampai penyelundupan kayu ke Taiwan. Seorang staf di BCA Lhokseumawe yang diwawancarai Tempo mengaku kaget. Soalnya, staf ini melihat transfer dana dari Medan ke rekening pribadi Dasiri. Jumlahnya, katanya lagi, mencapai setengah miliar rupiah. Dia juga digambarkan gemar "mengebon" anggota GAM yang ditahannya, untuk kemudian "ditangani" secara khusus. Ketiga mantan informannya juga menunjukkan kedekatan Dasiri dengan berbagai tokoh yang punya "nama besar" di Medan: pimpinan organisasi preman, cukong judi, sampai pengusaha hitam.
Tapi segala tuduhan ini dibantah keras Dasiri. "Saya tidak terima itu. Tidak sejahat itu intelijen bermain," katanya kepada TEMPO. Tak sekadar membantah, Dasiri bahkan balik membeberkan berbagai perselingkuhan antara para petinggi militer dan pentolan preman di Medan. Ia menyebut dirinya sebagai korban sebuah konspirasi politik (lihat Kol. Dasiri: "Buktikan Saya Terlibat"). Sangkalan serupa juga tegas disuarakan Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan, Letkol Inf. Nurdin Sulistyo. "Bisa jadi itu cuma bertujuan mendiskreditkan TNI, khususnya Kodam I/Bukit Barisan," katanya. Begitu pula dengan Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara, Brigjen Sutanto, yang diwawancarai November lalu. Kapolda menyatakan, "Kami tidak bisa menduga-duga, harus berdasarkan fakta. Belum ada bukti ke arah sana."
Jadi, siapa yang sumbang bernyanyi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini