Kaca-kaca air membayang di mata budayawan Nurcholish Madjid. Di Hotel Indonesia, 25 Desember lalu, pimpinan Yayasan Paramadina itu tak mampu menahan kesedihannya. "Kita sedang menghadapi musibah," katanya. Sejumlah hadirin yang berada di ruangan itu menunduk, sebagian mengusapkan saputangan ke ujung-ujung mata mereka.
Itulah pertemuan Forum Indonesia Damai (FID) yang pertama?sebuah forum beranggotakan intelektual dan tokoh masyarakat, sebagai reaksi atas peledakan gereja di berbagai kota di Indonesia pada malam Natal lalu.
Malam Natal tahun lalu bersamaan dengan akhir Ramadan. Dua peristiwa keagamaan itu mestinya menyejukkan dan bisa merekatkan hubungan dua kelompok pemeluk agama. Tapi, kita tahu, hari itu semuanya menjadi lain. Bom meledak di 38 tempat yang sebagian besar gereja di enam provinsi di Indonesia: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Riau, dan Nusatenggara Barat.
Polisi mencatat 19 orang tewas dan 120 orang lain terluka karena ledakan itu. Di media massa, kita saksikan tubuh yang melepuh dan yang tercabik-cabik. Namun, korban terparah yang ingin disembelih mati para peledak bom tampaknya adalah rasa toleransi Islam-Kristen. Meski ketegangan meruyak, beruntung tidak banyak orang yang tertarik dengan pancingan itu.
FID sendiri dalam pernyataannya menyimpulkan bahwa teror itu lebih ditujukan untuk mengguncang stabilitas politik ketimbang dilatarbelakangi sentimen agama. Hal itu juga didukung oleh fakta bahwa tidak semua korban adalah Katolik atau Protestan. Beberapa di antaranya justru orang-orang muslim. Satu di antaranya bahkan seorang muslim yang tengah mengamankan gereja di malam Natal.
Kini dua bulan berlalu sudah. Sebagian orang mulai melupakan kejadian ini karena tertimbun persoalan-persoalan baru serta konflik politik Presiden Abdurrahman Wahid vs parlemen.
Polisi belum berani mengambil kesimpulan tentang siapa di balik semua teror ini. Forum Indonesia Damai, yang membentuk tim investigasi sendiri, juga masih meraba-raba. Ledakan bom ternyata tak cuma membunuh orang, tapi juga menciptakan teka-teki yang ruwet: siapakah otak kejadian itu, atas motif apa mereka bekerja.
Di Bandung, polisi memang telah menangkap sejumlah pelaku yang diyakini terlibat dalam rencana peledakan bom di enam gereja kota itu. Rencana tadi berantakan karena bom meledak ketika tengah dirakit di sebuah bengkel las. Bom menewaskan tiga tersangka dan melukai dua lainnya.
Sejauh ini, hanya di Bandung itulah polisi memperoleh "bukti yang keras" karena menemukan tersangka di tempat kejadian, juga memperoleh cerita yang relatif utuh tentang para pelaku ataupun latar belakangnya. Di kota-kota lain, polisi hanya mampu mengumpulkan serpihan-serpihan yang sama berantakannya dengan bangunan, mobil, atau manusia korban ledakan.
Di situ, polisi juga menangkap seorang bernama Iqbalul Zaman, yang diyakininya sebagai koordinator operasi peledakan di lapangan. Iqbal, nama panggilannya, diduga merekrut sejumlah anak muda aktivis Islam untuk melaksanakan rencana di lapangan. (Lihat: Balada Iqbal, Tragedi Akim) Menurut polisi, motif mereka adalah menciptakan teror bagi warga Kristen yang hendak merayakan Natal, dan lebih jauh lagi bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Investigasi TEMPO memang mengonfirmasi keterlibatan para aktivis muda Islam itu. Namun, berbeda dengan kesimpulan polisi, mereka umumnya tergugah oleh ajakan balas dendam kepada umat Kristen, yang mereka yakini membantu saudara sesama muslim di Ambon. Mereka merupakan kombinasi yang menarik: dua anak muda yang hanya direkrut empat hari sebelumnya dan tiga orang?satu di antaranya seorang penjahit baju?yang menurut polisi terlatih menggunakan bahan peledak karena pernah berguru ke Afghanistan, tapi terbukti tidak profesional.
Dalam penelusuran sampai ke sebuah desa kecil di Garut Selatan, TEMPO juga menemukan kisah menarik Iqbal?orang yang kini menjadi tersangka utama itu. Beberapa sumber menyebut dia terlibat dalam Harakah, komunitas Islam kecil yang memang sering diidentikkan dengan gerakan NII. Dia tokoh yang berwarna?seorang penjual hasil bumi miskin yang melesat menjadi pendakwah dan bahkan pendiri sebuah yayasan mentereng di Bandung yang bersifat multi-agama. NII sendiri adalah istilah yang menyesatkan. Mengesankan sebuah organisasi besar dan rapi, NII lebih menyerupai nama generik untuk gerakan-gerakan kecil tanpa induk.
Al Chaidar, mantan aktivis NII dan penulis buku tentang gerakan DI/TII, yakin bahwa ada kekuatan sempalan NII garis keras yang terlibat dalam aksi teror itu. "Tetapi mereka hanya dipakai oleh jaringan intelijen tentara," katanya. Sebuah nomor telepon yang ditemukan polisi pada saku baju Akim Hakimudin, salah satu yang tewas dalam ledakan, memang menunjuk ke rumah seorang mayor jenderal di Jakarta.
Tak sulit menduga bom di situ jelas berkaitan dengan bom-bom yang meledak hampir serentak di berbagai kota lain, yang mengesankan adanya "panitia nasional" dengan komando tunggal. Namun, seperti polisi, TEMPO tak berhasil memastikan siapa sebenarnya otak dari seluruh peristiwa bom Natal.
Namun, di Medan, TEMPO mendapatkan temuan menarik. Hasil penelusuran nomor-nomor telepon yang berkontak dengan para tersangka teror bom malam Natal di kota itu menunjuk keterlibatan seorang pengusaha Tionghoa yang berbisnis dengan tentara, dan bahkan dengan Letnan Kolonel Iwan Prilianto, Asisten Intel Kodam Bukit Barisan. (Lihat: Bom di Jalur GAM-TNI)
Tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi frekuensi telepon bolak-balik yang tinggi memperkuat dugaan bahwa tentara bermain dalam teror ini dengan menggunakan warga sipil yang telah lama mereka "bina". Namun, dugaan ini segera disangkal aparat Kodam I/Bukit Barisan.
Pertanyaannya adalah apa motif militer Kodam Bukit Barisan ikut dalam teror bom ini. Dalam bom serupa tahun 1998, yang disebut-sebut juga melibatkan aparat intelijen Kodam bernama Dasiri, ada dugaan motifnya persaingan antara tentara dan polisi dalam melindungi rumah-rumah judi. Bagaimana sekarang?
Lalu, bisakah pola Medan ini dipakai juga untuk menjelaskan bom di Jakarta, Bandung, dan sejumlah daerah lain? Di Batam, polisi militer memang sempat menahan prajurit Kopassus dan tentara dari Kodam II/Sriwijaya sebagai pelaku lapangan pengeboman gereja di sana. Tapi belum terlalu terang kepada siapa aparat militer itu berafiliasi.
Penelusuran di Jakarta menunjukkan beberapa keganjilan yang dilakukan polisi dalam mengusut kasus besar itu. Seorang tersangka yang diyakini terlibat dalam peledakan bom Gereja Katedral telah dijemput polisi, tapi raib begitu saja. Tersangka ditangkap dari sebuah biara yang para penghuninya yakin dia seorang intel. (Lihat: Tamu Misterius di Biara Fransiskan)
Sementara kalangan percaya bahwa ada satu kelompok yang memiliki kepentingan politik tertentu yang berada di belakang semua teror ini. Artinya, meski aksi lapangan dilakukan oleh kelompok yang berbeda-beda dan tidak saling mengetahui, perintah dan kendali berada di satu tangan. Yang jadi pertanyaan adalah, apa motifnya: menggoyang kekuasaan presiden, menciptakan instabilitas, ataukah buah dari konflik elite militer yang tak berkesudahan. Tak ada yang tahu.
Upaya untuk mendaftar tokoh-tokoh yang mungkin menjadi aktor intelektual sebetulnya bukan tak pernah ada. Forum Indonesia Damai, misalnya, pernah mendaftar 10 jenderal yang potensial menjadi aktor intelektual bom Natal. Tapi, karena belum ada bukti yang kuat, data ini tak disampaikan kepada publik.
Sampai ditemukan bukti lapangan yang kuat, daftar itu tentu saja tak akan punya dampak apa-apa. Karenanya, yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan mozaik misteri ini sebanyak-banyaknya sehingga gambar yang utuh segera terbentuk. Hanya dengan cara itulah kita bisa mencegah kasus ini hilang dan dilupakan orang karena tertimbun persoalan-persoalan baru yang tak henti-henti menimpa negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini