Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

"Saya Diperas Tiga Miliar Lebih"

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM di negeri ini sudah jadi semacam komoditas yang bisa diperdagangkan. Harganya pun selangit, mencapai miliaran rupiah. Kesaksian Dicky Iskandar Di Nata, 48 tahun, mantan wakil direktur utama Bank Duta, mengukuhkannya. "Total jenderal, saya diperas tiga miliar rupiah lebih," katanya. Nama Dicky mencuat di tengah geger Bank Duta pada akhir 1990. Saat itu ia didakwa telah merugikan negara US$ 419 juta (Rp 780 miliar) akibat kenekatannya bermain valuta asing. Tak kurang, Soeharto, presiden waktu itu, pun turun tangan. Pemilik utama bank ini tak lain adalah ketiga yayasannya: Dharmais, Supersemar, dan Dakab. Atas perintah Soeharto, Dicky diseret ke sel Kejaksaan Agung pada 13 September 1990, sebelum akhirnya divonis delapan tahun kurungan. Di sinilah ia mengalami langsung betapa proses peradilan Republik telah beralih rupa menjadi ajang pemerasan. Kesaksiannya ini menggarisbawahi pengakuan serupa dari sejumlah bankir dan pengusaha yang menolak disebut jati dirinya. Dengan nada berat, sambil kerap menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum kecut, Direktur Utama PT Matahari Lintas Cakrawala (perusahaan televisi kabel Indovision) itu menuturkan pengalaman getirnya kepada wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra dan Wenseslaus Manggut. Berikut petikan wawancaranya yang telah disarikan. Waktu itu saya langsung ditahan di Gedung Bundar. Sejak awal, saya sudah jadi komoditas. Dan, gilanya, setiap tahap proses hukum dijadikan ajang pemerasan. Pertama, saat menentukan apakah saya ditahan atau tidak. Ketika sudah pasti ditahan, penangguhan penahanan adalah komoditas berikutnya. Dan itu tergantung seberapa besar kita sanggup membayar. Sebenarnya, karena saya ditahan langsung atas perintah RI Satu (Soeharto), sulit bagi jaksa memperjualbelikan kedua tahap itu. Tapi, mereka tetap memberi iming-iming. Gebleknya, saya kok masih percaya. Cuma, perlu diketahui, dalam posisi begitu terjepit, sekecil apa pun harapan itu pasti Anda ambil. Apalagi, mereka juga mendatangi keluarga terdekat: istri dan adik saya (Rita dan Abdullah Fawzy Siddik). Begitu masuk penyidikan, saya banyak didatangi broker perkara. Ada yang mengaku teman dekat jaksa agung dan ketua mahkamah agung, ada juga utusan tim pemeriksa. Cara kerjanya, mereka menakut-nakuti soal lamanya masa hukuman. Setelah itu, mereka menjual harapan bahwa saya bisa bebas, menjadi tahanan kota atau tahanan rumah. Ibarat warung makan, mereka menyodorkan sejumlah menu yang bisa kita pilih, dengan tarifnya masing-masing. Tim kejaksaan yang memeriksa saya terdiri dari 12 orang. Koordinatornya, sekaligus jaksa penuntut umum, adalah Ph. Rompas. Anggotanya antara lain Murni Rauf (Sekretaris Bidang Pidana Khusus) dan Suyadi (almarhum). Lewat Suyadi inilah setiap negosiasi dilakukan. (Rompas dan Murni Rauf tak dapat dihubungi untuk dikonfirmasi) Menu selanjutnya ditawarkan. Dengan tarif Rp 100 juta, saya bisa mendapat bocoran berita acara pemeriksaan dari semua saksi. Saat itulah saya baru sadar sudah terperosok ke dalam permainan mereka, bahwa saya sedang dikerjain. Bayangkan saja, saya cuma diperiksa satu kali. Selebihnya, mereka malah minta saya menjelaskan teknik perbankan dan manajemen Bank Duta. Ekspose adalah dagangan selanjutnya. Ini adalah tahap tim pemeriksa menjabarkan perkara pada petinggi kejaksaan sebelum tuntutan dirumuskan. Rupanya, jenis ekspose itu bisa diatur-atur. Jika menolak, mereka mengancam akan membuat ekspose sedemikian rupa sehingga saya akan dihajar dengan undang-undang antisubversif ekonomi atau undang-undang antikorupsi. Tapi, kalau mau kongkalikong, saya cuma dituntut penggelapan biasa. Sialnya, para pengacara saya juga ikut bermain. Mereka selalu mendesak saya agar mengikuti permainan itu. Minang Warman, salah seorang pengacara saya, sampai memilih mundur karena tidak setuju dengan permainan. Di tahap ini saya menyetor sekitar Rp 700 juta. Begitu juga soal dakwaan. Mereka tanya mau didakwa dengan pasal ringan atau gawat. Belakangan, ketika dakwaan itu dibacakan, ternyata saya tetap dijerat dengan undang-undang antikorupsi. Jadi, semua duit tadi benar-benar tak ada hasilnya. Yang paling gila saat memasuki tahap tuntutan. Saat negosiasi, saya diancam akan dituntut dengan hukuman maksimal seumur hidup. Ancaman itu jadi begitu mengerikan, karena saya tahu semua saksi sudah di-briefing. Sebelum sidang digelar, mereka dikumpulkan di sebuah tempat di Jalan Prapanca, Jakarta. Koran pun menurunkan berita utama bahwa jaksa penuntut umum dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Gagoek Soebagyanto, menemui Ketua Pengadilan Jakarta Pusat untuk menyamakan persepsi. Saya bisa mati, kan? Setelah tawar-menawar, akhirnya disepakati saya cuma akan dituntut 8 tahun. Seperti biasa, untuk itu saya harus membayar di muka. Sekitar Rp 750 juta, kalau tidak salah. Nekatnya, uang itu minta ditransfer ke rekening salah satu adik Suyadi. Eh, begitu tuntutan dibacakan, saya kaget setengah mati. Tuntutannya jadi 18 tahun. Ketika saya tanyakan, sambil tertawa-tawa, mereka cuma bilang, "Semula, tuntutannya memang 8 tahun. Tapi, ketika dilihat jaksa agung, satu kumisnya jatuh di samping angka 8, jadinya 18 tahun." Kurang ajar, nggak? (Dicky geleng-geleng kepala sambil tertawa kecut) Apalagi, Pak Singgih (jaksa agung saat itu) kan tidak berkumis? Ha-ha-ha.... Setelah itu, saya berhadapan dengan front baru yang sama konyolnya: hakim. Komoditas pertama adalah eksepsi. Tawarannya luar biasa menggiurkan: eksepsi saya bisa diterima. Itu artinya kasus saya batal demi hukum. Semula, saya betul-betul tidak percaya dengan tawaran itu. Sebab, di era Soeharto, hampir tidak ada eksepsi yang diterima. Tapi, namanya orang lagi susah.... Untuk itu, mereka pasang harga Rp 500 juta. Setelah negosiasi, akhirnya saya oke, asal dibayar separuh dulu, sekitar Rp 200 juta. Benar saja, eksepsi saya ditolak. Selanjutnya, saya sudah tak bisa lagi mengelak. Sekarang giliran negosiasi putusan. Soalnya, lagi-lagi saya diteror bahwa hakim bisa saja menjatuhkan hukuman di atas tuntutan jaksa. Rita, istri saya, kali ini tidak langsung percaya. Kepada utusan majelis hakim itu, ia minta dipertemukan dulu dengan hakim ketua. Lalu, ceritanya persis seperti di film-film. Di tengah malam buta, dia dipertemukan di tempat parkir di Ancol. Caranya, mobil istri saya mesti diparkir di samping mobil hakim itu. Lalu, kaca mobil si hakim dibuka untuk memperlihatkan wajahnya. Jadi, mereka selalu menggunakan cara-cara seperti itu agar tak meninggalkan jejak. Mereka juga selalu minta dalam bentuk dolar tunai. Serah-terima bisa melalui calonya, ada juga yang langsung. Tempatnya, biasanya di dekat Putri Duyung Cottage, Ancol. Patokan saya ketika itu akan divonis lima tahun. Tapi, saat negosiasi, hakim bilang akan memutus 10 tahun penjara. Ketika saya tawar, dia malah bilang, "Kalau nggak mau, ya ,18 tahun saja." Akhirnya, mau nggak mau saya terima juga. Ongkosnya sekitar Rp 750 juta. Begitu ketuk palu, saya cuma ketawa. Soalnya, putusan itu sudah saya ketahui dua hari sebelumnya. Karena masih berharap masa tahanan saya bisa dikurangi, saya lalu banding. Soalnya, pengacara saya selalu bilang, "Banding saja, kita masih punya harapan." Konyolnya, di pengadilan tinggi angka 10 tahun itu justru jadi tidak pasti lagi. Saya diancam bahwa masa hukuman saya akan dinaikkan. Untuk negosiasi, istri saya disuruh datang langsung ke rumah Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, Abdul Madjid Manrapi. Canggihnya, ia sama sekali tidak mau tawar-menawar secara lisan. Semuanya lewat tulisan atau gambar. Rupanya, dia khawatir percakapan itu direkam. Kesepakatannya sekitar Rp 600 juta, untuk pengurangan masa hukuman jadi delapan tahun. Setelah itu, saya kasasi. Putusannya memperkuat vonis delapan tahun itu. (Saat dikonfirmasi, Manrapi menyangkal habis-habisan. "Itu fitnah. Yang benar, sayalah yang dicoba disuap Rp 650 juta oleh istri muda Dicky. Tapi uang itu saya tolak!" kata mantan hakim agung itu) Pokoknya, saat itu kami sudah habis-habisan. Bayangkan, di kejaksaan saja, saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2,1 miliar. Ditambah ongkos hakim, total Rp 3 miliar lebih. Istri saya sampai menjual lukisan dan karpet (mata Dicky berkaca-kaca). Adik saya sampai harus berutang ke Bank Susila Bhakti. Sebagian, saya dibantu teman-teman seperti Nirwan Bakrie dan Peter Gontha. Semua harta saya kan disita habis. Saat keluar dari penjara, saya punya utang segunung. Yang mengalami kasus seperti itu banyak sekali. Satu penjara di Salemba itu punya pengalaman yang sama. Saya dulu sering nongkrong di bagian registrasi. Suatu hari, seorang jaksa menyeret seorang tahanan sekelas maling ayam. Ketika ditanya pekerjaannya apa, dia bilang pengangguran. Ketika ditanya di mana rumahnya, dia jawab tunawisma. Beberapa hari kemudian, dia datang ke saya, minta Rp 500 ribu. Katanya, untuk membayar jaksa agar tuntutan hukumannya enam bulan, dipaskan dengan masa tahanannya. Bayangkan, gembel saja diperas Rp 500 ribu. Kalau saya ditanya ini pemerasan atau penyuapan, buat saya itu jelas-jelas pemerasan. Mereka menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mengeruk duit. Dalam kasus saya, ibarat tinggal tulang-belulang pun, akan terus mereka peras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus