Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kongsii Rheinmetall dengan sejumlah perusahaan menghasilkan amunisi dan senjata yang dikirim ke wilayah konflik, seperti Ukraina.
Direktur Utama PT Pindad membenarkan ihwal kerja sama perusahaannya dengan Rheinmetall.
Selain dengan Pindad, RDM menggandeng SMPP, kontraktor pertahanan berbasis di New Delhi, India.
KONGSI perusahaan pembuat amunisi patungan Jerman-Afrika Selatan, Rheinmetall Denel Munition (RDM), dengan PT Pindad menuai sorotan. Perusahaan induk RDM, Rheinmetall AG, ditengarai menggandeng banyak perusahaan pembuat amunisi di sejumlah negara untuk menyiasati aturan ekspor senjata yang ketat di negara asalnya, Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerja sama antara Rheinmetall dan sejumlah perusahaan itu diselidiki Investigate Europe, tim jurnalis investigasi lintas negara di Eropa. Investigate Europe menghimpun sejumlah jurnalis dari beberapa negara, termasuk Tempo dari Indonesia, untuk turut menginvestigasi kesepakatan para produsen senjata itu. Dari hasil investigasi ini diketahui sejumlah fasilitas hasil kongsi tersebut menghasilkan amunisi dan senjata yang dikirim ke wilayah konflik, seperti Ukraina.
Direktur Utama PT Pindad Sigit Puji Santosa membenarkan ihwal kerja sama perusahaannya dengan Rheinmetall. Awalnya, kerja sama itu hanya untuk memenuhi pasokan propelan untuk amunisi kaliber kecil. “Namun kami menjajaki kerja sama lebih lanjut seiring dengan meningkatnya kebutuhan amunisi kaliber kecil serta potensi amunisi kaliber sedang dan besar di Indonesia,” kata Sigit melalui jawaban tertulis pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya menjadi pemasok propelan, belakangan kerja sama Pindad dengan RDM juga berkembang untuk pengembangan teknologi produksi amunisi grenade launcher dan amunisi kaliber besar fixed munition. Kerja sama ini, kata Sigit, tertuang dalam nota kesepahaman pada 2023 dan ditindaklanjuti melalui perjanjian induk pada 2024. Perjanjian itu meliputi kerja sama di bidang amunisi kaliber sedang, amunisi kaliber besar, dan pengembangan teknologi propelan.
Kerja sama ini dijajaki sejak 2014 saat Pindad dipimpin Sudirman Said. Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada September 2014, Sudirman mengatakan Rheinmetall membutuhkan Pindad untuk melebarkan bisnisnya di Asia, khususnya untuk produk amunisi kaliber besar. Selama ini perusahaan itu sudah menjual amunisi ke negara jiran, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Australia.
Kantor PT. Pindad di Bandung. Shutterstock
Dua mantan petinggi Pindad menyebutkan kerja sama dengan Rheinmetall sempat mandek. Salah satu penyebabnya adalah aturan bisnis pertahanan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pasal 11 Undang-Undang Industri Pertahanan menyebutkan alat utama persenjataan dapat diproduksi oleh badan usaha milik negara yang ditetapkan pemerintah.
Menurut narasumber yang sama, salah satu opsi kerja sama antara Pindad dan Rheinmetall adalah mendirikan perusahaan patungan. Pembagian saham korporasi yang mengemuka waktu itu ialah Rheinmetall 51 persen dan Pindad sisanya. Jika skenario tersebut terjadi, perusahaan gabungan itu berstatus swasta karena mayoritas sahamnya dikuasai Rheinmetall sehingga terganjal aturan perusahaan milik pemerintah untuk memproduksi alat persenjataan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Industri Pertahanan.
Meski begitu, kongsi bisnis Rheinmetall Denel Munition dan Pindad tetap berlangsung. Berdasarkan data Panjiva, perusahaan pencatat data perdagangan global yang berbasis di New York, Amerika Serikat, Rheinmetall setidaknya enam kali mengapalkan produknya ke Pindad pada 2019. Di antaranya bubuk propelan, komponen amunisi kaliber 40 milimeter, dan detonator. Nilai transaksinya mencapai US$ 4,18 juta atau sekitar Rp 67,58 miliar dengan kurs sekarang.
Selain dengan Pindad, RDM menggandeng SMPP, kontraktor pertahanan yang berbasis di New Delhi, India. Kerja sama ini tercatat melalui dua perjanjian yang mencakup desain, instalasi, serta pengoperasian fasilitas pengujian dan pembuatan amunisi di Himachal Pradesh. Dalam dokumen itu, perusahaan juga menyatakan telah menandatangani kontrak dengan “negara asing yang bersahabat” untuk memasok amunisi kaliber 155 milimeter.
Pada Mei 2024, Presiden SMPP Anil Kumar Oberoi mengumumkan pabrik baru di Himachal Pradesh hampir siap berproduksi. Dua tahun sebelumnya, sekitar musim gugur 2022, SMPP memajang proyektil seukuran anak-anak dalam sebuah pameran pertahanan di India. Salah satunya artileri berkaliber 155 milimeter yang ditengarai turut dipakai dalam perang di Ukraina yang terjadi sejak Februari 2022. Dimintai tanggapan soal bisnis amunisinya, SMPP tak merespons permintaan wawancara.
Kerja sama semacam itu bukan hal baru bagi Rheinmetall. Di bawah kepemimpinan Direktur Eksekutif Rheinmetall Armin Papperger, perusahaan itu menjalankan strategi ekspansi yang lihai. Mereka mengandalkan RDM, anak usaha di Afrika Selatan, untuk membangun pabrik-pabrik amunisi di berbagai negara tanpa terhambat peraturan ekspor yang berlaku di Jerman.
Pemerintah Federal Jerman menerapkan aturan ketat untuk ekspor senjata, termasuk amunisi. Di bawah payung Undang-Undang Pengendalian Senjata Perang atau War Weapons Control Act, pemerintah Jerman mengatur bahwa senjata yang dipakai untuk perang hanya boleh diproduksi, diangkut, dan dipasarkan dengan persetujuan pemerintah Jerman. Undang-undang tersebut hanya mengatur ekspor peralatan militer dari Jerman. Sementara itu, produk yang dibuat di Afrika Selatan atau negara lain tak dapat dikenai regulasi tersebut. Rheinmetall ditengarai memanfaatkan celah hukum tersebut.
Juru kampanye Greenpeace Jerman untuk isu perdamaian, Alexander Lurz, mengatakan pemerintah Jerman semestinya menutup celah hukum itu. “Pemerintah koalisi telah menjanjikan sebuah regulasi pengendalian ekspor senjata,” kata doktor lulusan Humboldt University of Berlin itu. “Aturan itu mencakup persetujuan akuisisi, bisnis patungan, dan investasi di luar negeri.”
Pada 2017, seorang petinggi Rheinmetall mengatakan dalam sebuah acara di pabrik amunisi bahwa ada 39 fasilitas produksi serupa yang dibuat RDM di seluruh dunia. Fasilitas produksi itu dapat membuat proyektil dan mengekspor tanpa kontrol yang ketat mengenai tujuan akhir pengiriman. Berdasarkan riset, Rheinmetall ditengarai mengirim mesin pembuat amunisi ke Mesir, Arab Saudi, dan Persatuan Emirat Arab—negara-negara yang bukan anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara.
Pada Maret 2024, perusahaan mengumumkan pembangunan pabrik mesiu di Rumania. Mereka juga akan mendirikan pabrik di Lituania dan Ukraina. Negara yang disebut terakhir masih dikoyak perang melawan Rusia. Dalam keterangan resminya, Armin Papperger mengatakan perusahaannya berkomitmen mendukung kemampuan Ukraina memproduksi amunisi. “Kami bersyukur bisa mendukung Ukraina memperkuat kemampuan pertahanannya,” ucap Papperger. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo