Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Pengambilalihan Astra Direkayasa"

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP malapetaka selalu menyimpan hikmahnya. Itulah keyakinan William Soeryadjaya, pendiri kerajaan bisnis PT Astra International. Tujuh tahun silam, ia harus melepas seluruh kepemilikannya atas perusahaan otomotif terbesar itu, yang ambrol terseret kasus Bank Summa—milik putra sulungnya sendiri, Edward Soeryadjaya, yang sekarat dicekik kredit macet dan utang Rp 2,6 triliun, pada 1992.

William dan Astra, apa boleh buat, mengingatkan banyak orang pada kaitan antara bisnis besar dan dilemanya di tengah pusaran kekuasan negeri ini.

Tak seperti kebanyakan bankir sekarang, waktu itu William tak lepas tangan. Untuk menutup kewajiban Summa terhadap ratusan ribu nasabahnya, ia melego 140 juta lembar saham Astra. Padahal, ia sebenarnya bisa berkelit. Kedua institusi bisnis itu secara hukum terpisah satu sama lain.

Benarkah Astra runtuh hanya karena Summa? ''Sebenarnya ada rekayasa yang memanfaatkan kasus Summa untuk mengambil alih Astra," katanya, sambil mengisap cerutu dalam-dalam. Menurut berbagai analisis, Cendana-lah yang berada di balik pencaplokan itu. Ada berbagai indikasi kuat. Setelah William turun tahta, kemudi Astra berpindah ke Prajogo Pangestu, sebelum akhirnya diambil alih Bob Hasan. Dua taipan itu punya hubungan yang amat khusus dengan mantan presiden Soeharto. Selain itu, bahkan sang begawan ekonomi Profesor Sumitro Djojohadikusumo pun tak mampu menahan kekuatan mahadahsyat itu. Besan Soeharto itu sempat digandeng William untuk mencegah Astra karam.

Tapi, entah kenapa, William sendiri terkesan enggan menyebut keterlibatan bekas presiden itu. Barangkali karena ia memang bukan tipe orang yang suka menuding-nuding. Atau, barangkali juga karena ia menyadari, meski relatif bersih dari jamahan Cendana, perusahaan yang didirikan sejak 1957 itu toh juga tumbuh besar melalui rahim ekonomi Orde Baru.

Yang jelas, sekarang ia merasakan hikmah dari musibah itu. Mantan orang terkaya nomor dua Republik (versi majalah Fortune) itu kini justru hidup tenang. Pada saat konglomerat lain harus berpeluh dingin dihujat kiri-kanan, Om Willem—demikian ia biasa dipanggil—masih bisa terkekeh-kekeh. Langkahnya memang sudah agak tertatih, tempo bicaranya pun lambat, tapi kesehatan kakek sembilan cucu ini masih terbilang prima. Ia masih melahap 25 tusuk sate kambing kegemarannya di sebuah warung di depan Stasiun Bandung. Tiap hari, ia juga masih masuk kantor sebagai Presiden Komisaris PT Suryaraya Guna Perkasa, perusahaan agrobisnis dan jasa perdagangan.

Ia berkelakar, itulah berkah yang diterimanya saat dikirimi peti mati oleh para nasabah yang mendemonya. ''Menurut kepercayaan orang Cina, karena itu saya jadi panjang umur," kata lelaki ramah kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 77 tahun lalu itu, terkekeh.

Setelah sekian tahun menyimpannya rapat-rapat, pertengahan bulan lalu ia mengungkapkan kisah di balik rekayasa pencaplokan Astra itu kepada wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra, Arif Kuswardono dan fotografer Robin Ong. Berikut petikan wawancara dengannya, yang kerap diseling jeda ketika ia dengan tekun mengikuti perkembangan suara partai favoritnya, PDI Perjuangan, melalui layanan informasi dari telepon genggamnya.


Benarkah Anda kehilangan Astra semata-mata karena kasus Bank Summa?

Itu salah satunya, tapi sebenarnya juga ada rekayasa.

Rekayasa dari mana dan oleh siapa?

Bukan begitu. Waktu itu Pak Harto masih memberikan kesempatan. Saat kami menghadap, beliau mengatakan, "Bank kami sendiri, Bank Duta, waktu menghadapi kesulitan, tidak dibantu pemerintah. Jadi, Saudara William juga jangan berharap bisa dibantu pemerintah." Karena bukan orang Jawa, kami tidak mengerti apa maksud sebenarnya kalimat itu. Pak Harto kan selalu menyampaikan pesan secara tersirat.

Apa, sih, maksud tersiratnya?

Ya, artinya mungkin dalam usulan kami ada hal-hal yang tidak menyenangkan beliau. Mestinya, setelah itu kami kembali lagi. Tapi itu tidak kami lakukan.

Kalau begitu, benar faktor Soeharto amat berpengaruh?

Banyak orang menduga, si Om dikerjain Pak Harto. Sebenarnya tidak begitu. Kami mesti jujur dalam hal ini. Tapi, masalahnya, ya, itu…, kami tidak mengerti kultur Jawa. Beliau ingin membantu, tapi kita tidak bisa menangkap inti maknanya. Dan kami tidak menghadap lagi. Itu yang membuat beliau ini… (William tidak meneruskan kalimatnya).

Seandainya mengerti, tawaran Soeharto itu akan Anda terima?

Ya, kalau memang bisa menyelesaikan masalah. Waktu itu kan yang terpenting bagaimana bisa menyelesaikan simpanan nasabah, terutama yang kecil. Prinsip itu yang selalu si Om junjung tinggi.

Anda kan bisa lepas tangan?

Ya. Dari sisi hukum dan bisnis, sebenarnya si Om pribadi tidak perlu bertanggung jawab. Tapi, secara moral, saya tak bisa tinggal diam. Saya harus mengambil alih tanggung jawab agar para nasabah kecil bisa menerima kembali simpanan mereka. Terus terang, waktu itu ada beberapa pejabat yang menasihati agar saya tetap di luar arena. Itu yang si Om tidak bisa terima. Tapi, prinsip ini oleh beberapa pihak lalu disalahgunakan.

Disalahgunakan bagaimana?

Ada seseorang menasihati kami agar tidak menyewa pengacara. Waktu itu kami sudah mendatangkan Prof. Dr. Sidharta Gautama, S.H. dari Australia. Ini soal hukum, sedangkan kami tak menguasainya. Kami kan harus tahu konsekuensi tiap dokumen yang akan ditandatangani. Pak Ghalib (jaksa agung nonaktif) yang ahli hukum saja didampingi pengacara. Apalagi si Om yang tidak tahu apa-apa.

Siapa orang itu?

Orang dari luar Astra. Dia, sih, selalu mengaku sebagai penasihat hukum pemerintah. Tapi, setelah dicek, ternyata bukan. Padahal, selama ini kami sangat mempercayainya. Sebelumnya, dia selalu kami mintai pertimbangan dalam segala hal yang berkaitan dengan hukum. Ah, sudahlah.

Namanya?

Pokoknya orang yang selalu kami mintai bantuannya. Kami tidak tahu apa yang ada di benaknya. Waktu itu dia bilang, "Sudahlah, selesaikan saja secara kekeluargaan." Akibatnya, kami tidak tahu konsekuensi penandatanganan dokumen itu. Kalau tahu sejak awal, sebenarnya tidak perlu sebegitu jauh.

Apa yang tidak Anda ketahui sejak awal?

Pada waktu mendirikan Bank Summa, Edward (Soeryadjaya) begitu saja mempercayai hasil audit yang menyatakan kondisi Bank Agung Asia (sebelum menjadi Bank Summa) dalam keadaan sehat. Apalagi, kesimpulan itu juga lalu dikukuhkan Bank Indonesia. Salahnya, Edward tidak mengadakan due diligence dulu. Nah, setelah terjadi musibah, kami masuk dan mengadakan penelitian. Ternyata ditemukan bahwa pada saat jual beli itu sudah ada bolong sekitar Rp 70 miliar. Barangkali sudah dibawa lari pemilik lama. Otomatis, itu lalu menjadi beban yang berat bagi Summa.

Kenapa Anda tidak mengungkapkannya ke publik?

Mestinya memang begitu. Tapi waktu itu si Om menganggap, kalau dibeberkan akan menimbulkan keresahan di Bursa Efek Jakarta. Banyak emiten besar yang juga diaudit perusahaan itu. Kepercayaan luar negeri bisa ambruk. Jadi, ya, sudahlah, kita diam-diam saja.

Siapa auditornya?

Pokoknya, kasus itu sampai disidangkan oleh Asosiasi Akuntan Indonesia. Auditornya diskors.

Selain soal itu, kan juga ada faktor Summa yang terlalu ekspansif di bidang properti?

Itu, sih, soal lain. Tapi, yang terpenting, clean opinion dari Bank Indonesia itu yang ternyata keliru.

Bagaimana perasaan Anda sewaktu didemo nasabah, sampai dikirimi peti mati?

Sekarang malah mendapat hikmahnya. Menurut kepercayaan orang Cina, kalau kita dikirimi peti mati, bisa panjang umur, ha-ha-ha….

Berapa persen kewajiban Summa yang sudah diselesaikan?

Kalau kewajiban kepada nasabah, 100 persen sudah diselesaikan. Dananya menghabiskan satu triliun rupiah lebih. Ditambah lain-lain, total tiga triliun. Yang belum selesai tinggal kewajiban terhadap bank-bank pemerintah. Tim likuidasinya sampai sekarang belum selesai bekerja. Katanya mau dimasukkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Tadi Anda menyebut soal rekayasa. Siapa sebenarnya pelakunya?

Orang yang sejak awal sudah punya interest ingin menguasai Astra. Yang dilihat kan bukan Summa-nya. Saya tidak perlu menyebut nama.

Bagaimana persisnya rekayasa itu dilakukan?

Menguasai Astra dengan mencecar Summa. Mereka tahu persis komitmen si Om untuk menyelesaikan masalah Summa dengan menjual saham Astra. Sudah sejak lama dirasakan, ada yang ingin menguasai Astra. Tapi, karena kami mengelolanya secara profesional, tidak ada celah yang bisa dipergunakan. Nah, mereka lalu memanfaatkan peluang dari kasus Summa itu.

Maksudnya, saat Anda harus menerima masuknya Prajogo Pangestu?

Untuk meluruskan, sebenarnya sebelum itu sudah ada kesepakatan antara Pak Mitro (Profesor Sumitro Djojohadikusumo, waktu itu menggantikan William sebagai Presiden Komisaris Astra) dan Edwin dan Judith (dua anak William lainnya) untuk menggabungkan Bank Summa ke Bank Universal. Seluruh kewajiban dan aset Summa akan dipindahkan dan ditanggulangi Bank Universal. Jadi, tidak perlu dilikuidasi. Kesepakatan itu sudah ditandatangani, sudah berjalan. Semuanya sudah beres. Maka, ketika Summa diambil alih, Pak Mitro marah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

(William menunjukkan daftar tamu di kediamannya, Jalan Diponegoro, Jakarta) Waktu itu, pada 11 Desember 1992, pukul 12.05 tengah malam, saya didatangi Teddy Rachmat (mantan orang kepercayaan William), Sofjan Wanandi, dan Jansen Wiraatmaja (utusan Prajogo). Bayangkan, pukul 12.05 malam. Kalau tidak bersama Teddy Rachmat, mereka tidak akan diizinkan masuk. Mereka pulang pada pukul 01.05 dini hari. Dalam pertemuan itu, si Om dipaksa menandatangani surat jual beli ke Prajogo. Mereka tidak akan pulang kalau si Om belum menandatangani dokumen itu. Ini yang menyebabkan Pak Mitro lalu marah. Kami disangka plinplan. Situasi waktu itu tidak memungkinkan si Om menelepon Pak Mitro dulu. Pukul 01.00 pagi! Ada rasa sungkan menelepon beliau tengah malam buta begitu.

Kok Anda mau dipaksa?

Mereka bilang, kalau surat ini tidak ditandatangani, besok Summa akan dilikuidasi. Selain itu, mereka datang pada Jumat tengah malam. Jadi, mengambil kesempatan saat kantor tutup, sehingga kami tidak bisa menghubungi siapa-siapa.

Mereka membawa memo dari siapa?

Lisan saja. Cuma, mereka mengatakan keputusannya sudah disiapkan seorang pejabat penting. Saya tidak akan sebut namanya.
Orang itu mestinya amat berkuasa, sampai Sumitro, yang merupakan besan Soeharto, saja tidak sanggup membendungnya?
Pak Mitro kan baru belakangan dikasih tahu. Ia jengkel, marah. Akhirnya angkat tangan. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belakangan, setelah sekian lama, saya menghadap beliau. Kami menunjukkan bukti daftar tamu ini. Tapi kan sudah telanjur. Apa gunanya? Pak Mitro cuma mengelus dada saja.

Pernah minta bantuan anak-anak Soeharto?

Saat mencari bantuan dana, Judith dan Edwin pernah menghubungi Titiek Prabowo, tapi tetap tidak berhasil karena waktu itu sudah ada keputusan.

Jadi, ada semacam instruksi dari Soeharto?

Bukan oleh Pak Harto, tapi oleh the system. Mereka yang kalau kita tanya ''Eh, Om Willem masih boleh kembali, enggak?", jawabannya selalu ''enggak". Sepengetahuan kami, yang berkaitan langsung dengan Pak Harto, ya, cuma saat kami meng hadap itu.

Atau juga karena Grup Astra relatif bersih dari jamahan Cendana?

Dari kecil saya sudah diajari, jangan sedikit-sedikit minta pertolongan. Harus mandiri. Apalagi, saya ini yatim piatu. Itu yang si Om selalu pegang teguh. Kalau kerja kita beres, kenapa mesti takut?

Tapi, Astra kan besar karena fasilitas Soeharto juga?

Kami enggak terlalu mengandalkan Pak Harto. Om, sih, cuma mengandalkan Yang di Atas saja.

Benarkah salah satu penyebab Soeharto jengkel karena Anda pernah menolak membantu Bank Duta?

Bukannya enggak mau. Seharusnya, tanpa diminta pun si Om tahu diri. Tapi, si Om ini kan tidak paham dan tidak pernah menawarkan diri seperti yang lainnya.

Jadi, waktu itu tidak ada yang menghubungi Anda untuk membantu Bank Duta?

Enggak ada.

Lewat perantaraan kelompok Prasetya Mulya?

Enggak ada juga.

Anda dan Prajogo kan sama-sama di Yayasan Prasetya Mulya.

Waktu kami menghadap, Pak Harto bilang, ''Kami sudah menghubungi Saudara Prajogo, yang menyatakan ingin membantu Pak William karena merasa berutang budi." Itu diutarakan Pak Harto. Tapi, waktu itu si Om tidak memberikan reaksi dan tidak kembali lagi. Mungkin dia (Soeharto) pikir, orang ini tidak tahu diri. Tapi saat itu saya memang betul-betul tidak mengerti. Kalau mendengar cerita para pejabat, sifat Pak Harto memang begitu.

Bagaimana ceritanya sampai Bob Hasan masuk ke Astra?

Wah, enggak tahulah kalau soal itu, ha-ha-ha…. Mungkin itu bagian dari rencana bisnis mereka.

Anda salah satu pendiri Prasetya Mulya. Apa tujuan yayasan itu?

Membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya dengan memberikan kail, bukan ikan. Tapi, karena selalu mau ambil gampangnya, akhirnya yang dicari cuma bantuan uangnya saja.
Kenyataannya, program penyertaan modal 1 persen konglomerat ke koperasi saja tidak jalan.
Itu karena pengurus koperasi dan pengusaha itu sendiri tidak punya komitmen yang jelas.

Kelihatannya Prasetya Mulya lebih berfungsi sebagai perhimpunan konglomerat?

Ya, kurang lebihlah, ha-ha-ha….

Kenapa belakangan Anda tidak aktif lagi di situ?

Habis, waktu itu si Om lihat tidak ada kemajuannya. Lagi pula, sejak akhir 1993, si Om kan harus nyilem (menyelam).

Anda kerap ikut pertemuan para konglomerat dengan Soeharto di Tapos?

Ya, tapi sampai di situ saja, tidak memanfaatkan, misalnya kalau keluar satu sen harus dapat sepuluh sen.

Apa, sih, yang biasanya dibicarakan?

Ya, ngobrol-ngobrol saja. Beliau memberi kuliahlah.

Katanya juga untuk negosiasi bisnis?

Enggak ada. Bahwa ada yang memanfaatkannya, terserah masing-masing.

Setiap kali diundang, para konglomerat harus sudah siap-siap keluar duit?

Kalau itu, no comment, ha-ha-ha ….

Waktu Astra jatuh, benarkah kepemimpinan konglomerat sudah beralih dari Liem Sioe Liong ke Prajogo?

Kami enggak boleh menilai. Mereka punya siasat sendiri. Kami, sih, menerimanya dengan besar hati dan lapang dada.

Jadi, benar sudah bergeser ke Prajogo?

Wah, enggak tahu. Kami enggak bisa ngomong. Bahaya. Sebetulnya mereka sendiri yang ingin menjadi .…

Padahal, menurut Fortune, Anda adalah orang terkaya kedua di Indonesia.

Saya tidak menyadarinya. Waktu itu, bahkan si Om enggak percaya. Eh, saya baru mulai percaya waktu Kwik Kian Gie bilang, dana untuk menutup kewajiban Summa menghabiskan tiga triliun, ha-ha-ha….

Setelah kerusuhan Mei, Anda bersama Gus Dur pernah mengimbau keturunan Cina yang eksodus agar kembali ke Tanah Air.

Itu karena si Om merasa, kenapa toh hanya memikirkan diri sendiri. Yang hengkang itu kan yang punya duit. Nah, duitnya dari mana? Kan dari negara ini. Indonesia membutuhkan pedagang yang bisa menggerakkan dan memperluas lapangan pekerjaan.

Sejauh mana keterlibatan Anda dalam proyek NU-Summa?

Kalau itu, harus ditanyakan ke pencetusnya, Edward (William tertawa kecil). Waktu itu saya hanya diberi tahu lewat undangan makan siang. Begitu sampai di restoran, sudah ada Gus Dur dan beberapa orang. Terus, saya diberitahu bahwa ada kerja sama NU dan Summa. Si Om diminta bantu. Ya, sudah ….

Apa pendapat Anda soal proyek mobil nasional?

Si Om sebenarnya setuju dengan ide itu. Sebab, semua prinsipal, apalagi Jepang, selalu ingin menguasai industri mobil kita. Masalahnya, selama ini kita terlalu mengandalkan Jepang. Misalnya, pengalaman waktu meluncurkan Kijang. Setelah diterima konsumen, si Om mendesak agar ditingkatkan lagi kualitasnya. Awalnya, bentuknya kan masih seperti kotak sabun. Itu makan waktu lima tahun sampai akhirnya disetujui pihak prinsipal. Itu juga pakai akal-akalan. Diam-diam, kami minta Isuzu bikin juga. Akhirnya keluar Panther. Nama itu diambil dari merek cerutu Panther buatan Yogya yang si Om isap. Skenarionya: Panther ini diluncurkan untuk mengejar Kijang, dan jelas tidak akan pernah terkejar, ha-ha-ha…. Jadi, kita sendiri yang merekayasa agar Kijang lebih kompetitif.

Tapi, dalam pelaksanaannya, mobnas Timor kan menyimpang?

You jangan tanya itu. Tapi, visinya menurut si Om sudah benar.

Belakangan, Anda sempat mencoba kembali ke Astra?

Mei 1996, sebenarnya ada kesempatan untuk membeli kembali sebagian saham Astra. Kami mendapat fresh money, pinjaman lunak selama lima tahun dari Peregrine Sewu Securities. Itu zero coupon. Kami tidak perlu banting tulang membayar carrying fund-nya selama lima tahun. Baru pada 2002, kami harus mulai mencicil. Dengan itu, pemerintah juga akan mendapat dana tunai. Tidak seperti pembeli lain, yang semua uangnya dari bank. Tapi, anehnya, itu tidak diperbolehkan pemerintah. Waktu itu, kita bertemu dengan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad.

Kenapa ditolak?

Enggak dikasih alasan. Di depan staf saya dan bule-bule dari Peregrine itu, Pak Mar'ie sambil ketawa cuma bilang, ''Si Om masih bernostalgia."

Kalau ada kesempatan, Anda mau masuk lagi?

Ya. Why not?

PDI Perjuangan menang, kesempatan itu makin besar?

Enggak tahu, ah, ha-ha-ha….

Anda serius sekali mengikuti perkembangan perolehan suara PDI Perjuangan?

Setidaknya si Om bersimpati. Juga dengan Partai Kebangkitan Bangsa. Di PDI Perjuangan itu kan bergabung partai-partai Kristen. Karena agama saya Kristen, ya sudah.

Kan sekarang juga ada partai-partai Kristen?

Kita tidak usah mimpilah. Tidak akan menang. Buat apa membuang-buang suara.

Kabarnya Anda salah satu pendukung dana PDI Perjuangan?

Ah, orang buat makan sehari-hari saja masih mesti cari sana-sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus