Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permata Senayan, 2007. Palem setinggi tiang listrik berbaris tertib di kiri dan kanan bulevar dari pintu gerbang Permata Senayan. Jalan beraspal mulus itu menuju poros kompleks. Dari sinilah jalan-jalan besar, rapi jali, menyebar ke seantero perumahan. Di antaranya menuju tiga gedung jangkung 27 lantai yang dikenal sebagai Apartemen Senayan Residence. Di bagian ujung lain kompleks itu, menyembul deretan rumah toko (ruko) yang gilap dan hidup.
Tak hanya rumah, apartemen, dan ruko yang berderet-deret di kawasan yang luasnya 17,8 hektare ini. PT Sinjaya, pengembang Permata Senayan, juga menjual kaveling siap bangun dan townhouse. Kawasan itu kini menjadi salah satu hunian elite di tengah Kota Jakarta. Untuk sampai ke Jalan Sudirman yang menjadi urat nadi Ibu Kota, tak habis sebatang rokok. Tak mengherankan jika harga tanah di situ bisa sampai Rp 14 juta per meter persegi.
Namun, harga selangit itu tak membuat konsumen ngacir. Jualan Sinjaya nyatanya laris bak jajanan anak di pojok-pojok sekolah. ”Hampir semuanya tandas terjual sebelum pekerjaan fisik rampung,” kata Alex Subroto, Manajer Penjualan Senayan Residence. Dia ingat betul, pada 2004, 194 unit ruko ludes hanya dalam hitungan bulan. Padahal, ruko empat lantai berukuran 5 x 15 meter ini dijual seharga Rp 1,1 miliar sampai Rp 1,45 miliar. Harganya sekarang bahkan sudah menembus Rp 2 miliar.
Apartemennya juga tak kalah laris meskipun harganya Rp 2-3 miliar untuk unit seluas di atas seratus meter persegi. Tahun lalu hanya tersisa satu unit seharga Rp 2 miliar. Harga townhouse lebih yahud. ”Harga jualnya dari tiga miliar hingga belasan miliar rupiah,” ujar Wicaksono, agen properti di wilayah itu. Kalau mau menyewa, kisaran harganya US$ 3.500-10.000 (Rp 31-90 juta) per bulan—cukup untuk membeli rumah ukuran 36 meter persegi di kota-kota satelit seputar Jakarta.
Wicaksono mengatakan, kompleks ini berharga premium karena lokasinya strategis. Ia diapit kawasan elite Permata Hijau dan jantung bisnis Ibu Kota, Jalan Sudirman. ”Mau ke mana-mana dekat dan gampang,” katanya. Karena itu pula, meski harganya selangit, orang berduit tetap saja memilihnya.
Graha Delta Citra, yang memiliki kawasan bekas pabrik pemintalan benang (Patal) Senayan itu, memang seperti mendapatkan durian runtuh. Untuk memperoleh lahan tersebut 10 tahun lalu, perusahaan milik Anthony Salim—putra taipan Liem Sioe Liong—itu hanya perlu menukarnya dengan lahan dan pabrik seluas 44 hektare di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat.
Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, 2007. Deretan gedung besar tegak berdiri di kawasan pabrik pemintalan milik PT Industri Sandang Nusantara. Kondisi pabrik yang terletak 80 kilometer ke arah timur dari Jakarta ini jauh dari ingar-bingar. Sudah 10 tahun pabrik yang semula menghuni lahan di Patal Senayan ini dipindahkan ke Telukjambe.
Wanto, bukan nama sebenarnya, pekerja pabrik tersebut, mengatakan tukar guling tanah di Senayan pada 1997 itu merupakan awal dari malapetaka di pabrik pemintalan ini. Sudah lokasinya jauh, pabrik yang diserahkan Graha Delta Citra juga pabrik bekas. Pabrik tersebut sudah dioperasikan Graha selama tiga tahun sebelum dioper ke Industri Sandang.
Kesan tua memang langsung menyergap di pintu gerbang pabrik itu. Berjarak 200 meter dari gerbang, melewati aspal yang berlubang-lubang mirip orang baru sembuh dari cacar air, bangunan pemintalan itu lapuk dan kusam oleh sawang serta debu. Suara gemuruh mesin pemintal menyelinap keluar dari bangunan itu, melalui lubang yang kini makin banyak.
Ada 425 buruh yang bekerja di pabrik pemintalan itu. Di gedung inilah kapas dipilin menjadi gulungan benang. ”Mesin ini modern pada zamannya,” ujar Asnawi, general manager pabrik ini. Tapi itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Tempo sudah tak melihat sisa-sisa kecanggihan mesin ini. Yang tampak cuma mesin tua yang susah payah berjalan, di atas lantai yang tengah sekarat: di sana-sini retak dan bergelombang.
Wanto tahu penyebab retak-retak itu. Pabrik ini, kata dia, memakai bahan bangunan berkualitas rendah dan konstruksi asal-asalan. Jika fondasi pabrik kukuh, ujar Wanto, tak mungkin lantai bergelombang dan retak. ”Ini terjadi di seluruh bangunan,” katanya. Kualitas bangunan kian buruk saja karena tanah di Karawang tergolong labil.
Bahwa pabrik ini berdiri di atas tanah lunak, itu gampang dilihat. Jalan aspal yang menghubungkan seluruh kawasan pabrik juga retak dan bergelombang di sana-sini. Sejumlah lampu penerangan dan papan petunjuk lokasi berdiri miring, di antaranya ada yang nyaris tumbang.
Di samping gedung pemintalan, di kompleks tersebut terdapat tiga gedung lain, yakni gedung pertenunan, bangunan finishing, dan gudang limbah. Tapi, sejak didirikan hingga kini, ketiga bangunan itu sepi melompong—tanpa mesin—dan sebagian tak berdinding. ”Sampai saat ini yang beroperasi hanya pabrik pemintalan,” ujar Asnawi.
Bangunan pertenunan, yang terletak di jantung kompleks itu—luasnya dua kali lapangan sepak bola—tak ubahnya seperti hanggar pesawat terbang. Sebagian besar tak berdinding. Di bagian yang tertutup, batakonya telanjang. Sudah lama plester semennya mengelupas di sana-sini. Lantainya? Hampir seluruh permukaan lantai tertutup perdu. Nasib bangunan finishing dan gudang limbah tak lebih baik.
Asnawi mengatakan, baru 20 hektare lahan di kompleks ini yang terpakai. Lahan yang belum berisi dibiarkan menganggur tak terurus. ”Saya tidak tahu di lahan itu akan dibangun apa,” ujarnya. Kondisinya jauh berbeda dengan Patal Senayan, yang kini gemerlap dan penuh gelimang duit.
Azhar Noor, 62 tahun, pensiunan karyawan PT Industri Sandang I, punya hitungan matematis soal ruilslag tak imbang ini. Ia mengatakan, meski lahan dan pabrik di Karawang jauh lebih luas, nilainya justru terjun bebas jika dibandingkan dengan harga tanah di Patal Senayan. Harga tanah di kawasan itu memang beringsut bak siput. Kini tiap meternya hanya dihargai Rp 120 ribu. Pada saat dibeli pada 1994, harganya Rp 45 ribu. ”Jelaslah ruilslag ini merugikan negara,” ujarnya.
Azhar ingat betul. Sewaktu ia masih bekerja di pabrik pemintalan di Senayan, semua mesin berputar maksimal—dari mesin pemintalan, pertenunan, hingga mesin finishing. Sekarang, kata dia, yang beroperasi hanya mesin pemintal. ”Ruilslag ini perlahan-lahan membunuh Industri Sandang.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo