Roni Milyar akhirnya selesai membaca Surat An Nas ("Manusia"), surat terakhir dalam Alquran. Seperti muslim taat lain, pemuda yang baru lulus SMA itu memang bertekad khatam, tradisi membaca habis seluruh isi kitab suci selama Ramadan. Roni melakukannya di tengah kesibukan menjadi panitia pesantren kilat Masjid Al Hasan?masjid dekat rumahnya di Antapani, Bandung.
Agus Kurniawan melakukan ibadah tak kurang mulia pada hari yang sama Roni menamatkan Alquran. Agus usai menandatangani semua sertifikat tanda lulus peserta pesantren kilat di masjid yang sama. Dia memang ketua panitia di situ?kesibukannya di samping beternak ayam bangkok setelah penyakit liver memaksanya istirahat dari kuliah di fakultas teknik sipil sebuah universitas swasta.
Roni dan Agus yang malang. Akhir Ramadan, tepatnya pada sore 24 Desember 2000 lalu, polisi menangkap mereka. Kini mendekam dalam Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung, mereka dihadapkan pada tuduhan serius: berkomplot merencanakan peledakan bom di enam gereja kota itu pada malam Natal yang kudus. Menurut polisi, motif mereka adalah menciptakan teror bagi warga Kristen yang hendak merayakan Natal dan lebih jauh lagi bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia.
Polisi memang menangkap basah mereka. Di sebuah bengkel las, keduanya ditemukan terluka oleh bom yang meledak tanpa sengaja ketika tengah dirakit. Tapi, besar kemungkinan mereka tidak bersalah?setidaknya, mereka hanya pengikut naif, terpengaruh oleh seorang guru mengaji. Rencana peledakan bom memang melibatkan orang-orang yang lebih luas.
Teman-teman di Masjid Al Hasan tidak melihat Agus dan Roni punya reputasi terlibat dalam tindak kekerasan. Pun tidak menandai adanya kegiatan mereka diam-diam. Mereka hanya mengaku ditawari berbisnis parsel oleh seseorang?bukan tawaran yang mencurigakan, terutama menjelang hari raya.
Kepada wartawan TEMPO yang mengunjunginya di tahanan, Agus menyebut nama orang itu: Iqbalul Zaman atau yang lebih sering dipanggil Iqbal saja. Pada 19 Desember, kata Agus, dia dikontak Iqbal, bekas guru mengajinya yang sejak 1996 tidak dijumpainya. "Kami bicara tentang nasib kaum muslim Maluku yang setiap Lebaran selalu diserang dan dibantai," kata Agus. Sang guru juga mengajaknya kembali mengaji padanya seraya menawarinya bisnis parsel tadi.
Nama Iqbal itu pula yang diberikannya kepada polisi. Iqbal bersembunyi dan melarikan diri bersama Aceng Suheri, pemilik bengkel las, setelah ledakan terjadi. Polisi memerlukan waktu 23 hari, dan menyusuri 17 titik perhentian, sebelum akhirnya sukses menangkap keduanya di sebuah desa kecil di Brebes, Jawa Tengah.
Bedasarkan interogasi, bukti, dan pemeriksaan saksi-saksi, Kepala Reserse Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Sarjono, menyimpulkan bahwa Iqbal-lah koordinator lapangan peledakan. Akan halnya Aceng, menurut Sarjono, ia hanya meminjamkan tempat kepada Iqbal. Aceng juga membantah dirinya terlibat. "Saya hanya korban Iqbal," katanya. "Dia tadinya mengatakan meminjam tempat itu hanya untuk pengajian." Toh, Aceng ikut pula jadi tersangka karena polisi menyimpulkannya "mengetahui rencana Iqbal tapi tidak melapor".
Aceng Suheri, 56 tahun, memang tidak dikenal punya potensi menjadi teroris. Tinggal di Jalan Terusan Jakarta 43, Bandung, dia tokoh yang disegani oleh para pemilik toko besi tua dan bengkel las yang berderet di situ. "Di kawasan ini, dialah yang paling lama bergelut dalam bisnis besi bekas. Tentu saja, dia menjadi tempat kami bertanya," kata Joni Hermawan, tetangga sebelah rumah.
Menurut Joni, bahkan Acenglah yang pada 1982 memimpin hijrah para pedagang besi bekas?tak kurang dari 20 orang?ke Jalan Terusan Jakarta itu, setelah tempat mereka tergusur jalur hijau kota.
Dari keuntungan menjual tanah, Aceng dan istrinya, Djuaningsih, naik haji pada 1983. Sejak saat itulah, kata Djuaningsih, semangat suaminya belajar agama mulai membara dan segera tertarik dengan guru mengaji seperti Iqbal, ketika mereka berkenalan pada 1994. Meski lebih tua 10 tahun, Aceng begitu akrab dengan Iqbal, hingga rela "sang guru mengaji" sekeluarga menempati satu bagian terpisah di belakang rumahnya. Sayang, hubungan ini menjadi buruk belakangan. Djuaningsih marah karena tahu Iqbal membujuk Aceng agar menikah lagi. Pada 1996, Iqbal sekeluarga pergi dari rumah Aceng dan tinggal di rumah kontrakan.
Memiliki istri lebih dari satu bukan gagasan yang aneh bagi Iqbal?tokoh yang berwarna ini. Setelah istri pertamanya meninggal (darinya Iqbal memperoleh dua anak), dia menikah dengan Nenah, yang menambahkan lagi delapan anak. Tapi itu belum cukup. Atas setahu Nenah, Iqbal menikahi Indah, yang memberinya dua anak lagi. Total jenderal 12 anak.
Itu juga gejala aneh di lingkungan harakah, sebuah komunitas Islam yang kecil tapi solid dan banyak berkembang di Jawa Barat. Di lingkungan rumah kontrakannya yang baru di kawasan Jembar, Bandung, Iqbal menyelenggarakan pengajian bernama Majelis Taklim Syafatur Rizal. Indah, istri ketiga, adalah anggota pengajian itu. Melihat tata cara yang lazim di kalangan ini, Nenah sendirilah yang tampaknya memilih Indah untuk dikawini Iqbal. Dalam perbincangan dengan TEMPO, Indah menyebut Nenah sebagai ummu daulah atau "ibu negara".
Tak sekadar tanda penghargaan, gelar itu juga memberi isyarat lain: Iqbal dihormati oleh para anggota pengajian sebagai panglima atau "kepala negara". Karena itu, tak terlalu mengherankan jika polisi menyimpulkan bahwa Iqbal adalah seorang tokoh Negara Islam Indonesia (NII).
Namun, meski namanya seram, NII bukanlah organisasi yang memiliki struktur dan metode perjuangan yang jelas. Ada puluhan NII seperti itu, jika bukan ratusan, di Jawa Barat.
Iqbal sendiri bukan seorang yang fanatik, terutama jika itu berarti dia serta-merta membenci orang non-muslim dan para pendosa. Dia bergiat dalam Yayasan Mesra, yang banyak mempekerjakan aktivis Kristen dan bekerja sama dengan organisasi non-Islam. Bermarkas di Cicadas, Bandung, sebuah kawasan berpenduduk terpadat di dunia dan tentu saja miskin, yayasan itu mengurusi gelandangan, pengemis, anak-anak, dan pelacur jalanan.
Iqbal bukan sekadar aktivis di situ. Dalam akta pembentukan yayasan, yang disahkan Notaris Wiratni Ahmadi pada 17 Juni 1998, namanya bahkan tercantum sebagai pendiri. Dan itu bukan yayasan main-main. Mereka berhasil menjalin kemitraan dengan banyak pihak: Pemda Jawa Barat, Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Katolik Atmajaya, dan badan internasional seperti Unicef. Bahkan, hingga Mei 2000, mereka dipercaya menjalankan program Unesco untuk menangani anak-anak jalanan di Bandung.
Nama lain dalam akta itu adalah Ayat Hidayat, yang kini juga diputuskan polisi jadi tersangka. Adalah Ayat, kata polisi, yang memberi Iqbal uang dan meminjaminya mobil untuk kabur.
Namun, Ayat membantah ikut berkomplot. Dia memang meminjamkan mobilnya, tapi setelah Iqbal benar-benar memaksa dan berjanji tak akan lama. Tentang uang? "Saya memberinya gaji sebagai kepala divisi pengambangan masyarakat di yayasan sebesar Rp 800 ribu. Selebihnya, Rp 200 ribu, adalah pinjaman yang dijanjikan Iqbal akan dikembalikan lewat potongan gaji bulan berikutnya," kata Ayat seperti tertera dalam berita acara pemeriksaan polisi.
Gaji Rp 800 ribu tidaklah besar untuk ukuran Bandung, salah satu kota yang standar hidupnya paling tinggi di Indonesia. Apalagi Iqbal harus menghidupi dua istri dan selusin anak. Nenah dan beberapa anak terpaksa tinggal di kampung kelahiran Iqbal.
Jalan menuju rumah Iqbal sungguh panjang serta berkelok?dalam makna harfiah. Di Desa Ciucing, Garut Selatan, Jawa Barat itu, dia dikenal dengan nama Didin Rosman?nama kecilnya. (Iqbalul Zaman adalah nama yang dipakainya setelah berkecimpung dalam dunia pengajian di Bandung.) Desa itu berjarak 70 kilometer dari kota terdekat, Garut, melewati jalan bertanah yang sempit meski bisa dicapai dengan mobil.
Desa itu terletak di lereng Bukit Ucing. Rumah-rumah di situ sangat sederhana, dan masih banyak yang beratap rumbia, termasuk rumah Iqbal. Di bawah rumah yang ditinggikan sekitar satu meter itu ada kandang ayam serta itik. Beberapa anak kecil, dari 12 anak Iqbal, tampak bermain di halaman. Mereka riang, meski tampak sekali kurang sehat terawat.
Setelah menyelesaikan SD, Iqbal melanjutkan ke madrasah sanawiah (setingkat SMP). Hanya setahun, Iqbal kemudian pindah ke Pesantren Rancadadap, Curug, Garut. Dari pesantren itu, yang dihuni selama 2,5 tahun, dia pindah ke Pesantren Awi Hideung, juga masih di Garut. Di sini pun ia hanya betah dua setengah tahun?waktu yang singkat untuk menuntut ilmu di pesantren.
Setelah keluar dari pesantren, Iqbal menikahi istri pertama, Enting, yang memberinya dua anak. Untuk menghidupi keluarga, Iqbal berjualan gula merah, ubi kayu, dan hasil bumi lainnya. Saban minggu, dia membawa barang dagangan ke Pasar Kiaracondong, Bandung. Pengalaman pesantren membuatnya cukup disegani di kalangan para pedagang pasar. Selain itu, Iqbal memang gemar berdakwah atau paling tidak berdiskusi tentang agama. Di masjid kampungnya, Ciucing, ia bahkan dikenal sebagai salah seorang khatib yang mengisi khotbah Jumat. Dan itu membawanya ke "dunia lebih luas" ketika dia hijrah ke Bandung sekitar tahun 1990.
Bakat orasinya yang bagus segera membuatnya memperoleh banyak pengikut, yang kemudian diorganisasikannya dalam majelis taklim. Tapi, masih menjadi teka-teki bagaimana pertama-tama dia terlibat dalam aktivitas lembaga swadaya masyarakat. Bagaimanapun, beberapa wartawan di Bandung menyebut kawasan Cicadas, tempat Yayasan Mesra bermarkas, memang dihuni banyak gelandangan dan orang miskin yang "dibina" militer.
Teman-temannya di yayasan tak percaya Iqbal bisa terlibat dalam rencana peledakan bom di gereja. "Orangnya santun dan baik," kata seorang aktivis di situ. Hal senada diungkapkan Kiai Saeful Malik, seorang ulama vokal di Bandung yang semasa Soeharto berkuasa dulu beberapa kali masuk tahanan dan menderita siksaan aparat. Kiai Malik mengenal betul Iqbal.
Di mata Kiai Malik, Iqbal adalah orang yang baik, berilmu agama cukup, dan sebagai ustad ia juga cukup bisa dipercaya memegang amanah. Dua bulan lalu, Iqbal mengunjungi Kiai Malik untuk mengambil Kitab Al `Um yang dipinjamnya. Kitab klasik ajaran moral Islam itu dikarang oleh Imam Syafii?pendiri salah satu mazhab dalam Islam. Kiai tak percaya Iqbal bisa melakukan teror. "Dia terlalu baik untuk itu," katanya. "Dia juga tahu, tindakan seperti itu jelas tercela dalam Islam."
Polisi yang memeriksa Iqbal mengaku tidak memperoleh jawaban konklusif, memang. "Pengakuan dia sangat tidak konsisten," kata Komisaris Besar Sarjono. Iqbal, kata Sarjono, juga cenderung mengambinghitamkan teman-temannya yang tewas dalam ledakan prematur di bengkel las milik Aceng Suheri.
Menyisakan Roni dan Agus yang hanya terluka, bom itu memang membunuh tiga orang yang berada di dekatnya. Polisi mengidentifikasi mereka sebagai Jabir, Wawan, dan Akim Hakimudin. Polisi bahkan menyimpulkan ketiganya ahli peledak yang pernah dilatih perang di Afghanistan.
Kesimpulan itu agak berlebihan. Akim Hakimudin, ayah dua anak, memang anggota Taliban. Meski namanya sama dengan kelompok Islam yang kini berkuasa di Afghanistan, Taliban yang ini bermarkas di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan tidak punya hubungan ke luar negeri. Taliban dipimpin oleh K.H. Zenzen Muhammad Jainal Mutaqin Atiq yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Irsyadiyah, di kota itu.
Taliban adalah sebuah gerakan moral yang didirikan dua tahun silam sebagai reaksi para kiai dan santri terhadap maraknya kemaksiatan di kota kecil Jawa Barat itu. Berbeda dengan Front Pembela Islam di Jakarta, Taliban adalah organisasi yang damai. Mereka bahkan mengharamkan perusakan atau pembakaran tempat maksiat. "Bangunan itu benda mati," kata Kiai Zenzen. "Tergantung siapa memakai dan buat apa. Justru kita berdosa bila merusaknya."
Kiai Zenzen mengakui Akim sebagai anak buahnya di Taliban. Tapi dia mengatakan tak tahu-menahu tentang aktivitas Akim di luar organisasi itu. Dikenal sehari-hari sebagai penjahit baju, Akim mengunjungi sang Kiai beberapa waktu sebelum Ramadan. Dia meminta maaf tak bisa mengikuti kegiatan Taliban sementara waktu. "Saya hanya mengira itu berhubungan dengan pekerjaan jahitan Akim yang pasti bertambah menjelang Lebaran," kata Kiai Zenzen.
Akim seorang yang siap berjihad. Kepada seorang kakaknya, dia pernah berkata "telah mewakafkan dirinya buat kepentingan umat Islam". Dalam dua tahun terakhir ini, dia dua kali pergi ke Ambon, Maluku, tempat meraknya konflik Islam-Kristen. Tapi ia tidak ikut berperang. Dia datang mengirimkan bahan makanan dan perlengkapan hidup sehari-hari hasil pengumpulan sumbangan umat Islam di Bandung. Kepada Kiai Zenzen dan keluarganya, dia memang sering menceritakan penderitaan muslimin Maluku dan kegusarannya pada upaya sebagian umat Kristen di sana untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Sehari sebelum ledakan di bengkel las Aceng Suheri, Akim berpamit kepada istrinya, seraya menitipkan zakat fitrah. "Barangkali saya lama tidak pulang," katanya seperti ditirukan Nunur, sang istri.
Benarkah Akim tewas dalam ledakan itu? "Saya yakin adik saya masih hidup," kata Holis, kakak kandungnya. Ketika polisi memintanya untuk memeriksa satu mayat yang dipercaya sebagai Akim, Holis menemukan kejanggalan. "Adik saya punya gigi palsu di rahang bawahnya. Mayat itu tidak punya." Semua dokter di kamar mayat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung itu, kata Holis, membenarkan tak ada yang palsu pada gigi almarhum. Tapi polisi berkeras mengatakan itu mayat Akim, yang membuat Holis kian curiga. Holis menolak membawanya pulang.
Bagi keluarga, tak pernah ada upacara penguburan buat Akim. Bahwa Akim tidak muncul hingga kini, itu bukan pula sesuatu yang mengherankan mereka. Pada akhir 1980-an, Akim mengilang selama beberapa tahun, tampaknya keluar negeri?besar kemungkinan ke Malaysia, bukan ke Afghanistan seperti diduga polisi.
Komisaris Besar Sarjono kini hanya punya Iqbal sebagai tersangka utama dan paling top dari keseluruhan operasi. Tapi belum tentu Iqbal bersalah, setidaknya tidak diketahui secara pasti apa perannya di situ. Wartawan tak bisa mengakses Iqbal.
Pengakuan Roni dan Agus kepada TEMPO memang memastikan Iqbal ada di bengkel las itu. Iqbal meminta mereka datang ke situ pada sore 24 Desember yang nahas. Tapi bukan pengajian yang mereka dapat. Keduanya melihat tiga "murid" Iqbal yang lain sudah siap dengan bom. Mereka diminta ikut serta memasang dan meledakkannya di berbagai gereja. Roni dan Agus mengaku tidak suka rencana itu, serta berniat kabur. Keduanya sempat keluar dari bengkel tapi tak bisa bebas, karena Iqbal yang pergi setengah jam sebelum bom meledak mengunci pintu gerbang dari luar. Bagaimanapun, itulah yang menyelamatkan mereka. Jika masih ada dalam bengkel, mereka akan tewas seperti tiga lainnya.
Meski Iqbal sulit beralibi, polisi tak mudah mengorek keterangan lebih rinci darinya, terutama tentang siapa yang patut diduga mengotaki operasi "bom Natal" itu?sebuah operasi yang bersifat nasional dan terkomando tunggal, mengingat ledakannya terjadi di berbagai kota secara hampir serempak. "Iqbal ini pasang badan. Dia tidak mau jaringan ke atasnya terbongkar," kata Sarjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini