RUMAH kontrakan berukuran 18 meter persegi di daerah Cibubur, Jakarta Timur, itu penuh jemuran baju di depannya. Hanya sedikit yang tahu bahwa penghuni rumah itu adalah Nur Hidayat, orang yang semasa Orde Baru pernah dipenjarakan karena kasus Lampung yang menghebohkan pada 1989.
"Kalau saya pelaku aksi teror bom di malam Natal, tidak perlu saya sengsara hidup di rumah petak kontrakan ini," ujarnya. Nama Nur Hidayat memang kembali menjadi sorotan setelah disebut-sebut punya kaitan dengan rencana teror bom di Bandung.
Ironisnya, tudingan itu datang antara lain dari Abdul Qadir Djaelani, rekan Hidayat yang dipenjara Soeharto, yang dituding terlibat menghasut massa di Tanjungpriok pada 1984.
Kini, sebagai anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, Djaelani bebas bersuara lagi. Januari lalu dia mengatakan, beberapa jenderal aktif terlibat dalam aksi teror bom Natal?aksi yang justru mencemari nama Islam. Menurut Djaelani, sinyalemen itu datang dari seorang teman di Bandung yang menyebut-nyebut keterlibatan aktivis gerakan Negara Islam Indonesia (NII), berikut nama Nur Hidayat di dalamnya, sebagai penghasut.
Hidayat bukan aktivis Islam kemarin sore. Di Lampung pada 1989, dia dituduh menghasut warga desa kecil yang miskin di bagian selatan Sumatra itu. Dipimpin Warsidi, warga menyandera dan membunuh seorang aparat. Ketika pasukan pemerintah yang dipimpin Hendropriyono menyerbu, puluhan orang tewas bersama sang pemimpin. Aneh, Hidayat sendiri lolos. Dia ditangkap di Jawa dan kemudian dipenjarakan dengan tuduhan ingin mendirikan negara Islam.
Kali ini, Djaelani menudingnya tengah dipakai militer. Tapi, mengingat militer sekarang terbelah dalam berbagai faksi, siapakah para jenderal itu sebenarnya? Djaelani menyebut Hidayat dekat dengan Saurip Kadi dan Agus Wirahadikusumah?dua jenderal yang belum lama ini tersingkir.
Hidayat keras membantah tudingan. "Demi Allah, saya tidak terlibat dalam ledakan di Bandung," katanya kepada TEMPO. Dia juga menyatakan akan menuntut Abdul Qadir Djaelani ke pengadilan. "Seminggu yang lalu saya sudah lapor ke polisi," katanya. "Tadinya saya tidak ingin masalah ini diperpanjang. Tapi, dia kan juga menuduh-nuduh orang lain, Mayor Jenderal Saurip Kadi dan Agus Wirahadikusumah. Kali ini harus ada pelajaran untuknya." Dua nama yang disebut tadi adalah jenderal yang tersingkir belum lama ini.
Hidayat tak membantah pernah bertemu Saurip Kadi. Suatu waktu, kata dia, Saurip mendatangi para aktivis Islam yang pernah dituding sebagai ekstrem kanan. Dia mengatakan ingin berdamai agar tidak ada jarak antara TNI dan umat Islam. "Saya kira idenya mulia," kata Hidayat. Hubungan berlanjut untuk urusan pertanian: TNI menemukan jenis pupuk untuk intensifikasi pertanian yang bisa membantu anak buah Hidayat di Yayasan Darul Jalal, Bekasi. Hidayat mengaku hanya sekali bertemu Saurip Kadi. Urusan yang belakangan dilakukan hanya dengan anak buah sang Jenderal.
Tuduhan bahwa dua jenderal tadi terlibat memang sulit masuk akal. Orkestra bom di malam Natal, yang mencitrakan betapa tidak stabilnya pemerintahan, hanya akan menguntungkan para jenderal-politisi yang punya kepentingan agar TNI tetap bisa terlibat di panggung politik. Padahal, dua jenderal itu memiliki reputasi sebaliknya. Mereka justru membuat merah kuping jenderal-jenderal lain karena ajakannya yang tegas agar militer kembali ke barak.
Hidayat, sebaliknya, menuding Djaelani tengah mengalihkan perhatian. Tudingan Djaelani dilontarkan pada 23 Januari, sebulan setelah ledakan, ketika pers ramai memberitakan kemungkinan keterlibatan dua mantan jenderal: Hartono dan Prabowo Subianto?dua-duanya punya hubungan dekat dengan Djaelani.
Namun, keterlibatan Hidayat di Bandung juga dikemukakan orang lain. Sumber TEMPO, seorang aktivis gerakan Islam, menyebut adanya pertemuan tokoh-tokoh eks NII di Padasuka, Bandung, pada 19 Desember 2000. "Semacam reuni. Dan Nur Hidayat hadir di situ," kata sumber tadi. Saat diskusi berlangsung, Nur Hidayat melontarkan beberapa ide aksi, salah satunya adalah melakukan aksi pengeboman.
Meski tidak menuduh Nur Hidayat terlibat dalam teror bom Natal, Haji Uci Enong, mantan Komandan Resimen Tentara Islam Indonesia, mengaku didatangi Nur Hidayat pada awal November tahun lalu. Kala itu Nur minta doa restu kepadanya. "Ia bilang akan melakukan sebuah gerakan makar bersama anak buahnya," kata Uci. Mendengar keinginan tersebut, mantan penguasa militer NII untuk wilayah barat Priangan hingga Banten itu kontan marah.
Nur Hidayat membantah. "Itu fitnah keji," ujarnya. "Saya memang sering ke Bandung, tempat asal istri dan mertua. Saya juga secara terbuka menyatakan berjihad demi tegaknya syariat Islam," tuturnya menambahkan. "Namun, bahkan saya tahu Alquran melarang kaum muslim merusak gereja. Quran justru jelas mengatakan, kita boleh merusak masjid jika masjid itu didirikan bukan karena takwa."
Dia mengaku datang ke Haji Uci. Tapi, katanya, itu tak ada kaitannya dengan bom atau kaitan Islam-Kristen. "Saya datang kepadanya meminta restu untuk berjihad melawan kekuatan asing yang mau mengacak-acak Indonesia."
Jihad? Dari bilik rumahnya di Cibubur, Hidayat mengambil selembar brosur, dengan isi seperti ini: "Laskar Sabilillah", "Panggilan Jihad", dan "Siaga Satu Umat Islam". Di bawah itu ada beberapa butir tuntutan: tidak mempercayai dan tidak menyerahkan nasib bangsa kepada elite politik, menyerukan jihad dan mendorong pengadilan rakyat, memprakarsai oposisi dan laskar bersatu dalam gerakan perlawanan Islam, dan memprakarsai diberlakukannya syariat Islam.
"Dulu saya pelaku gerakan bawah tanah," tuturnya, "Tapi sekarang alam sudah berbeda, sudah demokrasi. Karena itu, sekarang perjuangan saya lakukan dengan terang-terangan." Yang tidak terang, siapakah musuh berjihad dia sebenarnya kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini