NOMOR telepon bisa bicara banyak. Itulah hasil penyidikan polisi terhadap sejumlah arus kontak, untuk mengungkap tabir gelap yang selama ini menutup rapat jaringan pengebom Medan pada malam Natal yang lalu.
Pada 24 Desember lalu, Kota Medan diguncang teror bom. Ini bukan berita menggemparkan. Kota terbesar di Sumatra itu telah mengalami berkali-kali teror sejenis sepanjang tahun lalu. Namun, bom-bom kali ini menarik perhatian. Teror itu marak hampir bersamaan dengan teror serupa yang mengguncang gereja di kota-kota besar lain, termasuk Jakarta.
Setidaknya, 15 parsel berisi bahan peledak malam itu dikirim secara serentak ke sejumlah gereja dan rumah pendeta di Medan dan Pematangsiantar. Cuma satu yang meledak. Yang lain bisa dijinakkan aparat. Untunglah, aksi teror kali ini tak memakan nyawa.
Pada 11 Januari kemarin, tiga dari enam tersangka dibekuk petugas. Mereka adalah Edi Sugiarto, Azis (alias Lingga), dan Fadli (alias Akim). Tiga lainnya, yakni Zakaria Ahmad (alias Polim alias Jack alias Iswardi), Zulkarnaini, dan Ayah Muda, lolos saat penggerebekan. Bersama mereka disita sejumlah barang bukti berupa alat perakit bom, detonator, jam beker, baterai, plus uang Rp 159 juta.
Sampai di sini, nama-nama itu seperti tak memiliki banyak arti, kecuali sebuah pengakuan dari Edi bahwa dialah yang merakit ke-15 bom itu atas pesanan Polim. Upahnya Rp 500 ribu per buah. Bahan peledak dipasok Azis dan Fadli. Asalnya dari gudang Mobil Oil di Aceh Utara, yang baru dibobol beberapa bulan lalu.
Tapi, penyusuran TEMPO terhadap jaringan telepon dan latar belakang mereka memperlihatkan ada sesuatu yang lebih besar dari yang sekadar tampak di permukaan (lihat bagan). Ada sebuah indikasi kuat bahwa para tersangka ternyata punya garis hubung dengan pergolakan di Aceh, khususnya dengan sebuah jaringan di tubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disebut-sebut telah berada dalam lingkar binaan militer Indonesia.
Edi, misalnya. Satu-satunya tersangka yang lancar "menyanyi" kepada polisi ini berdarah campuran Jawa-Aceh. Lelaki jebolan STM ini juga sangat fasih berbahasa Aceh. Dokumen polisi yang diperoleh TEMPO menunjukkan gambaran menarik. Semasa daerah operasi militer di Aceh, Edi punya banyak kenalan tentara. Sejak 1985, selama 12 tahun, ia membuka bengkel di Ule-glee. Di sini, ia punya banyak pelanggan dari kalangan aparat yang memperbaiki mobil atau handy-talkie mereka. Bengkelnya juga kerap dijadikan tempat kongkow-kongkow pasukan Kopassus. Gara-gara inilah GAM lalu mencurigainya sebagai antek TNI. Pada 1997, bengkel dan rumahnya dibakar GAM.
Peta telepon memperlihatkan, Edi setidaknya tujuh kali mengontak Fauzi Hasbi. Tak lain dan tak bukan, Fauzi adalah salah satu pentolan GAM yang intensif "dibina" Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda) Aceh sejak 1979. Soal ini dikukuhkan secarik surat keterangan dari Kopkamtibda Aceh yang dilihat TEMPO. Tertulis antara lain, "Sdr. Fauzi Hasbi pernah mendapat tugas Pemulihan Ketertiban dan Keamanan Daerah Aceh, Satgas Rini, tahun 1979." Bukan cuma itu. Juga ada sejumlah surat keterangan yang diteken Asisten Intelijen Bukit Barisan yang intinya menerangkan posisi Fauzi sebagai informan?satu hal yang amat ganjil: seorang informan, yang jati dirinya mesti disamarkan, justru diberi surat keterangan.
Menurut sebuah dokumen intelijen Angkatan Darat, Fauzi adalah putra Teungku Fauzi Hasbi Geudong, salah satu tokoh kepercayaan pimpinan DI/TII Daud Beureueh. Belakangan, Geudong berseteru dengan Hasan Tiro, pucuk pimpinan GAM saat ini. Juga disebut dalam berkas itu, Fauzi pernah ikut pelatihan militer di Libia pada 1982 lampau, bersama sekitar 300 pemuda Aceh.
Sayang, saat dikonfirmasi, Kepala Penerangan Kodam Letkol Nurdin Sulistyo lebih banyak mengatakan ketidaktahuannya. Dia bilang tidak kenal siapa Fauzi Hasbi karena saat itu wilayah Aceh masih di bawah Kodam Iskandar Muda, yang kemudian dilebur. Adanya surat jalan dari Asisten Intelijen Kodam untuk Fauzi dibantahnya. "Saya enggak tahu. Bisa jadi ini untuk mendiskreditkan TNI dengan tujuan tertentu," tuturnya.
Penelusuran TEMPO membuktikan, nomor telepon Fauzi yang tertera di skema memang benar miliknya. Nomor itu tercatat di sebuah rumah di Jalan Pancing 7, Medan. Ketika dikontak, suara di seberang sana, yang datang dari seorang gadis tanggung dengan logat Aceh kental, membenarkan alamat itu sebagai rumah Fauzi.
Siapa Fauzi juga diungkapkan Zakaria Ahmad, tokoh GAM lainnya yang kini masih diburu polisi. Dalam wawancara dengan TEMPO, dari sebuah tempat persembunyiannya di Aceh, Zakaria mengatakan bahwa Fauzi adalah tokoh Majelis Pemerintahan GAM. "Dia sedang kami cari. Dia sipil bersenjata yang makan gaji dari Kodam Bukit Barisan," ucapnya. Karena itulah Zakaria balik menuding bahwa ini semua adalah bagian dari operasi intelijen militer untuk memfitnah GAM (lihat wawancara dengan Zakaria Ahmad).
Dalam skema, nama Zakaria alias Polim terkait melalui sejumlah sambungan telepon dengan dua tersangka lain?Edi dan Fadli. Menurut mantan Wakil Kepala Polda Aceh, Komisaris Besar T. Asikin Husnie, Zakaria adalah Panglima Kepolisian GAM di Teupin-punte. Ia juga diduga kuat telah mentransfer sejumlah uang ke sebuah rekening di Bank BCA milik Ibrahim Abdul Manap?salah seorang tersangka bom Bursa Efek Jakarta. Skema itu juga memperlihatkan saling kontak antara Fadli dan Azis, yang diyakini polisi sebagai Wakil Kepala GAM Aceh Tengah dan masuk daftar pencarian orang polisi.
Tapi, Zakaria keras membantah dugaan keterlibatannya. Ia juga menyangkal kenal dengan Edi ataupun Fadli. "Saya memang pernah mendengar si Jawa itu (Edi?Red), tapi saya tidak mengenal dia," katanya. Ia cuma mengaku kenal Azis. Menurut dia, Azis sama sekali tak terlibat GAM dan semata menjadi korban fitnah kelompok Fauzi.
Peta telepon itu juga menampilkan sejumlah nama yang berada di lingkungan Kodam Bukit Barisan. Salah satunya adalah Iwan Prilianto. Tak dinyana, tak diduga, dari penelusuran TEMPO, ternyata pemilik telepon genggam bernomor 08126051292 itu adalah Letkol Inf. Iwan Prilianto dari kesatuan Kopassus. Dia adalah Asisten Intelijen Kodam Bukit Barisan yang baru, sejak awal Desember lalu. Memang, tak satu pun kontak yang menghubungkannya langsung dengan para tersangka. Yang ada cuma garis hubungnya dengan Jacob Tanwijaya.
Menurut Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan, Letkol Inf. Nurdin Sulistyo, Jacob yang diketahuinya adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang punya hubungan bisnis dengan Yayasan Bukit Barisan, payung dagang Kodam. "Saya kira dia orang Yayasan Bukit Barisan," kata Nurdin. Cuma, ia tak bisa memastikan apakah Jacob yang sama yang dimaksud. Yang jelas, di skema, terlihat Jacob Tanwijaya adalah pemilik telepon genggam bernomor 08126007839 yang kerap berhalo-halo dengan Fauzi. Selain dengan Letkol Iwan, telepon genggam Jacob juga kerap saling kontak dengan sebuah nomor telepon milik Detasemen Intelijen Kodam Bukit Barisan.
Sayang, penjelasan tak bisa diperoleh dari Letkol Iwan Prilianto. Rabu pekan kemarin, mendadak ia membatalkan wawancara. Ada urusan mendadak ke Aceh, kata stafnya. Jacob sama saja. Upaya TEMPO mengontaknya menemui jalan buntu. Telepon genggam itu kini tak lagi diaktifkan. Sementara itu, suara dari seberang telepon atas nama Jacob Wijaya dan Jacob Tanudjaja mengaku tak punya kaitan apa pun dengan Bukit Barisan dan Fauzi Hasbi.
Tabir belum sepenuhnya terkuak. Karena itulah, Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara, Inspektur Jenderal Hotman Siagian, tak berani gegabah menyimpulkan keterkaitan aksi teror ini dengan GAM. "Kita tak bisa berkira-kira. Harus ada bukti hukum," ujarnya. Apalagi untuk dugaan yang lebih gawat dari itu: tangan-tangan intelijen militer Indonesia yang ikut bermain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini