PENGACARA Denny Kailimang sedang uring-uringan. Biro hukum Lontoh dan Kailimang, tempatnya bekerja, tidak mendapat "restu" dari BPPN untuk menjadi konsultan hukum grup Sekar—kelompok bisnis yang pekan ini didepak dari Bursa Efek Jakarta. Alasannya? "Itu kebijakan atasan," kata Richard Andre, Pejabat BPPN Divisi Asset Management Unit, yang menerbitkan surat "pemecatan" Sekar dari lantai bursa.
Padahal, menurut Denny, setiap perusahaan punya hak memilih kuasa hukumnya sendiri, tanpa pandang bulu. Adakah karena alasan lain?
Denny—yang juga pengacara mantan presiden Soeharto—menduga kuat ia ditolak karena bulan lalu baru saja bersama-sama Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Sasaran yang ingin digasak, apa lagi kalau bukan Peraturan Pemerintah No. 17/1999, yang menjadi sumber kewenangan BPPN yang sedemikian besar? Menurut AAI, kewenangan BPPN bertentangan dengan sembilan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Bila MA setelah melakukan uji material menyetujui permintaan AAI, Peraturan Pemerintah No. 17 itu otomatis akan batal sehingga "keperkasaan" BPPN tinggal cerita.
Sebenarnya segawat apa taring yang dimiliki BPPN sehingga banyak pihak yang ngeri? Ternyata memang tidak main-main. Misalnya, salah satu yang banyak disorot adalah masalah pembatalan kontrak yang bisa dilakukan oleh BPPN. Padahal, seharusnya kontrak hanya bisa dibatalkan oleh pihak terkait.
Denny mencontohkan kasus satu bank yang menyewa satu gedung selama 10 tahun. Setelah pada tahun ketiga kontrak berjalan, bank itu termasuk dalam bank yang diambil alih pemerintah. Oleh BPPN, kontrak ini dibatalkan sehingga BPPN tak wajib menyetor tambahan uang sewa. Tentu saja hal ini merugikan pemilik gedung. Sebaliknya, masih menurut Denny, bila satu kontrak dari bank yang diambil alih menguntungkan, BPPN tak akan membatalkannya.
Pengamat hukum perbankan Pradjoto berpendapat, kewenangan pembatalan kontrak BPPN ini diperlukan karena memang banyak pemilik bank ataupun debitur yang nakal. Kenakalan ini tentu bukan sekadar iseng, tapi untuk melindungi aset. Misalnya, bisa saja gedung yang disewa satu bank ternyata dimiliki oleh orang yang sama.
Menurut Pradjoto, wewenang yang demikian besar ini perlu karena persoalan yang dihadapi sudah sangat kompleks. Dengan kata lain, ia tak sepakat dengan judicial review yang diajukan para pengacara itu. Meskipun begitu, ia berpendapat BPPN tidak perlu berlaku nyinyir dengan melarang-larang debitur memilih konsultan hukumnya. Bagi Pradjoto, yang paling penting, kewenangan ini harus digunakan dengan saksama. Artinya, BPPN tidak boleh "main tembak" sembarangan. "Pisahkan antara debitur yang baik dan yang busuk," kata Pradjoto.
Sementara itu, Agustinus Sani Nugroho, Senior Vice President & General Council BPPN, menyadari kewenangan istimewa lembaganya banyak dibenturkan dengan undang-undang yang derajatnya lebih tinggi. Namun, kewenangan tersebut memang satu lex spesialist, aturan khusus, demi penyelamatan ekonomi negara. Ia menyebut kewenangan penagihan, penyitaan, dan yang lain—tanpa harus melalui lembaga peradilan umum—bertujuan agar proses restrukturisasi berjalan cepat.
"Pilihannya adalah lewat jalan biasa atau tol," ujar Sani. Yang dipilih tentu saja jalan tol. Inilah yang membuat debitur jadi kebat-kebit. Namun, menurut Sani, saat ini lebih banyak debitur yang kooperatif sehingga kewenangan tadi tidak perlu dipakai. Nah, agar tidak kebablasan, menurut Sani, kewenangan ini hanya berumur lima tahun.
Lantas, apa yang terjadi bila kewenangan ini tidak sampai berusia lima tahun karena dibatalkan MA? Denny menyebut, BPPN tidak perlu bubar. Hanya, dalam menjalankan tugasnya, mereka mengacu pada Undang-Undang No. 10/1998 tentang Perbankan, terutama Pasal 37, yang mengatur pencegahan kerusakan yang lebih buruk di sektor perbankan. Namun, Pradjoto berpendapat, bila kewenangan istimewa BPPN "diamputasi", itu artinya sama dengan membubarkan BPPN. "Kalau itu yang terjadi, para petualang lama akan kenduri berebut aset yang dikelola BPPN," ujar Pradjoto.
Direktur Riset SG Global Equities, Lin Che Wei, berpendapat senada dengan Pradjoto. Kewenangan BPPN adalah keniscayaan karena ketertinggalan perekonomian yang harus dikejar memang luar biasa. "Untuk itu, kita perlu mobil formula satu, ya, BPPN itu," ujar Che Wei. Sayangnya, dan inilah ironisnya, tak ada sopir yang cukup andal untuk menjalankan mobil secanggih itu. "Kualifikasi personel BPPN hanya setara sopir bemo," ujar Lin Che Wei. Sudah begitu, "sirkuit" yang dilalui penuh gerunjal pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini