BADAN Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah sebuah super holding. Sebutan ini tidaklah berlebihan jika melihat aset yang dikuasainya. Salah satu sayapnya saja, Asset Management Unit (AMU), menguasai kekayaan Rp 220 triliun. Aset sebesar itu berasal dari kredit macet pada sejumlah bank: bank-bank BUMN, bank yang diambil alih pemerintah, bank yang ditutup, dan bank yang ikut program rekapitalisasi. Jumlah itu masih akan bertambah jika aset 38 bank beku kegiatan usaha (BBKU) dan aset Bank Bali serta Bank Niaga juga dimasukkan.
Sayangnya, kekayaan BPPN itu kebanyakan keropos. Ketua BPPN, Glenn M.S. Yusuf, mengatakan hanya sekitar 30 persen dari aset itu yang bisa diselamatkan. Yang lain? Menguap begitu saja. Tapi, bagaimana itu bisa terjadi?
Kredit macet yang kini ditanggung pemerintah itu hampir semuanya digunakan konglomerat papan atas. Data di BPPN menyebutkan, tiga persen konglomerat punya utang macet 72 persen. Artinya, 200-an konglomerat punya utang macet Rp 115 triliun. Yang membuat persoalan kian rumit, tak semua perusahaan itu kolaps gara-gara krisis. Tak sedikit pula perusahaan yang ambruk lantaran mark up. Modal digelembungkan untuk mendapatkan utang yang lebih besar. Cara lain, modal yang mestinya disediakan sendiri oleh pemilik perusahaan ditutup dengan utang. Wajar jika akhirnya Glenn pesimistis bahwa kekayaan BPPN itu bisa diselamatkan.
Untuk menyelesaikannya, BPPN mengelompokkan para debitur macet itu dalam empat kategori: ada niat baik dan prospek usahanya bagus (A), ada niat baik tapi prospek usahanya buruk (B), tak ada niat baik tapi prospeknya bagus (C), dan tak punya niat baik dan prospek usahanya juga buruk (D). Untuk dua kelompok pertama, BPPN akan merestrukturisasi perusahaan itu, tapi untuk dua yang terakhir jalan ke pengadilan dibuka lebar-lebar.
Sepintas, sistem yang dibuat BPPN cukup bagus. Tapi, menurut pengamat perbankan Pradjoto, ada kesalahan mendasar yang dilakukan BPPN, yakni menyamaratakan semua debitur macet. Padahal, tak semua ambruk karena krisis, ada juga gara-gara kenakalan debitur. Pradjoto mengatakan, menentukan ada niat baik atau tidak tak bisa dilakukan hanya dengan melihat mereka bersedia meneken surat sanggup (letter of commitment). "Seharusnya sejak awal sudah dipilah mana debitur yang baik dan yang sontoloyo," katanya.
Menurut Pradjoto, yang layak direstrukturisasi adalah perusahaan yang kreditnya macet akibat krisis moneter. Sebaliknya, yang sudah nakal sejak awal, pengadilan merupakan jalan satu-satunya. Jika asetnya tak mencukupi, harus dikejar hingga harta pribadinya. "Kalau disamaratakan, saya yakin krisis yang serupa akan terjadi lagi 5-10 tahun ke depan," kata Pradjoto.
Sayangnya, BPPN tak mau melihat kemungkinan itu. Jangan kaget jika ada banyak perusahaan mencoba melakukan trick untuk mengakalinya. Tirtamas Majutama milik Hashim Djojohadikusumo bisa dikategorikan di dalamnya. Hanya dalam empat hari, Tirtamas bisa mengubah posisinya dari kategori D menjadi A. Menurut sumber TEMPO, awalnya BPPN jengkel dengan Tirtamas yang sulit diajak negosiasi meskipun utangnya sangat besar, sekitar Rp 1,376 triliun. Tapi, entah kenapa, menjelang tenggat waktu 31 Agustus lalu, Hashim buru-buru datang ke BPPN meneken surat sanggup. Masuklah Tirtamas dalam kelompok yang direstrukturisasi.
Contoh lain adalah Chandra Asri Petrochemical Center (CAPC). Perusahaan milik trio Bambang Trihatmodjo Soeharto, Prajogo Pangestu, dan Henry Pribadi yang berkongsi dengan konsorsium Jepang ini punya trick menarik. Di satu sisi, Chandra Asri mau meneken surat sanggup, tapi empat pemegang saham utamanya tidak. Utang Chandra Asri sendiri Rp 1,22 triliun. Sedangkan utang empat pemegang sahamnya Inter Pretindo Inti Citra senilai Rp 1,5 triliun, Staco Arta Karya (Yayasan Karyawan BDN, Rp 206 miliar), Estika Yasa Kelola (BBD, Rp 517 miliar), dan Mitra Laras Serasi (Bank Exim, Rp 720 miliar). Total jenderal, utang CAPC mencapai Rp 4,16 triliun.
Jika melihat utang dan penjualannya, sampai kapan pun CAPC tak akan sanggup membayar utang itu. Sejak beroperasi pada 1995, kerugian CAPC sampai akhir 1998 mencapai Rp 2,6 triliun. Ini terjadi karena beban utang perusahaan ini sangat besar. Pertama, dengan modal US$ 500 juta, US$ 300 juta di antaranya dari utang. Kedua, investasinya pun digelembungkan hingga US$ 2.800/ton, padahal yang lain cuma US$ 1.026. "Dengan postur utang seperti itu, pemilik lama CAPC tak layak lagi punya saham di sana," kata seorang analis.
Tapi, apakah BPPN bisa membaca trick ini, di situlah letak persoalannya. Repotnya, perusahaan seperti Tirtamas Majutama dan CAPC jumlahnya tak sedikit. Jangan-jangan yang dikhawatirkan Pradjoto benar adanya.
Walhasil, rakyat telah kehilangan uang, para konglomerat melenggang. Dan jika begitu, apa bedanya BPPN dengan lembaga yang melegalkan perampokan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini