LANGKAH penyehatan keuangan dan perbankan yang diambil pemerintah Indonesia lewat BPPN sebetulnya terilhami pembentukan Financialsector Restructuring Agency (FRA) di Thailand—negeri yang memicu krisis moneter Asia. Namun, mengapa sektor keuangan Thailand—dan juga Korea Selatan—mulai menggeliat, sementara kondisi Indonesia masih berdarah-darah?
Ada baiknya kita melakukan kilas balik sedikit. Seperti halnya Indonesia, bank komersial dan perusahaan keuangan di Thailand tumbuh menjamur setelah pemerintahnya setuju melakukan liberalisasi kebijakan finansial seperti yang disarankan IMF. Dari total tabungan masyarakat, 85 persen tersedot ke perusahaan-perusahaan keuangan baru ini. Hasilnya, modal besar membanjiri pasar sehingga penanaman investasi pun gila-gilaan.
Bersamaan dengan itu, pemberian kredit pun kian sembrono, misalnya di bidang real estat, industri petrokimia, dan otomotif. Tak terelakkan, bank dan lembaga keuangan yang ceroboh ini akhirnya menangguk kredit macet segunung. Yang membuat keadaan makin buruk, bank sentral seperti tak berdaya untuk terus menyuntik dana bagi bank yang sakit. Maka, ketika nilai baht anjlok pada 1997, perekonomian Thailand pun meleleh.
Perdana Menteri Chuan Leekpai, yang menggantikan Jenderal Chavalit, lalu memutuskan membentuk FRA sebagai bagian paket penyehatan ekonomi. FRA, yang bekerja secara independen, melakukan langkah tegas dan lugas. Dari 58 perusahaan keuangan yang dibekukan operasinya untuk sementara saat pemeriksaan, 56 di antaranya ditutup tanpa ampun.
Kreditor maupun debitor yang berurusan dengan perusahaan yang ditutup ini dilindungi kepentingannya oleh pemerintah. Sementara itu, enam bank komersial dan lima perusahaan keuangan diambil alih oleh pemerintah. Ongkosnya mahal juga. Kocek pemerintah terkuras sekitar US$ 40 juta dalam aksi penyelamatan ini, sehingga mereka harus menerbitkan obligasi.
Untuk mendukung FRA, pemerintah Thailand membentuk Asset Management Corporation—sebuah "perusahaan" yang bertugas mengelola aset lembaga-lembaga keuangan yang dioper pemerintah, antara lain dengan memilah aset yang bagus dan yang busuk. Langkah FRA ini dibantu oleh bank sentral, seperti misalnya munculnya kebijakan yang memperketat syarat mengucurnya pinjaman. Kontrol pun makin dipertajam. Tujuannya tak lain agar bank yang sudah diambil alih pemerintah tak asal main umbar duit lagi. Sekalipun langkah FRA juga belum sepenuhnya transparan, hasilnya cukup manis. Kredit macet, yang semula sebesar 60 persen dari total kredit, kini hanya tinggal 46 persen, dan diperkirakan tahun 2000 nanti akan terpangkas sampai 25 persen saja.
Korea Selatan mengalami krisis perbankan yang sama pada 1997—bahkan termasuk yang terberat di kawasan Asia. "Impian Korea"—ungkapan yang lazim dipakai untuk menggambarkan keinginan warga Korea untuk bekerja di perusahaan besar—pun musnah karena banyak chaebol seperti Daewoo bangkrut dan membawa utang macet yang tak kepalang tanggung. Tak ayal, bank-bank yang memberikan pinjaman pun ikut terpuruk.
Pemerintah Korea lantas mengambil langkah yang, katakanlah setahun sebelumnya, mustahil untuk sekadar dibayangkan. Lima bank ditutup karena tak bisa memenuhi CAR (capital adequacy ratio—rasio kecukupan modal) sebesar 8 persen (di Indonesia, CAR 4 persen saja sudah selamat). Aset dan kewajiban lima bank yang tutup ini dialihkan pada lima bank yang masih sehat. Sementara itu, dua bank besar digabungkan. Dana rekapitalisasi yang digerojokkan pun tidak main-main, US$ 167 miliar.
Restrukturisasi perbankan ini meliputi boleh masuknya modal asing. Selain itu, muncul pula kebijakan moneter penaikan suku bunga agar pasar stabil, dan liberalisasi perdagangan dengan melenyapkan subsidi. Namun, kontrol terhadap perusahaan keuangan pun makin ketat. Singkat kata, Korea menjadi anak manis IMF.
Sekalipun langkah ini membuat angka pengangguran meningkat karena banyak perusahaan ditutup, perekonomian Korea dengan cepat "bangkit" dalam 14 bulan. Alhasil, jumlah kredit macet tinggal 27 persen, satu jumlah yang sebetulnya masih cukup besar. Tapi, bila dibandingkan dengan total kredit macet di Indonesia yang 70-80 persen, angka itu tentu sangat mengesankan.
Seperti halnya di Thailand, penyehatan perbankan di Korea dilakukan oleh badan independen. Pemerintah dan bank sentral memang terlibat, tapi sebagai pendukung, bukan pengganggu. Mungkin itulah yang membuat nasib BPPN (dan perekonomian Indonesia) berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini