SAAT Presiden Abdurrahman Wahid sedang diserang dari segala penjuru angin, Sekretariat Presiden (Setpres) malah membeli 18 unit mobil Kijang untuk dibagibagikan kepada pejabat dan pegawainya. Pembelian itu menjadi kontroversial karena uang yang digunakan—Rp 2,4 miliar—berasal dari pos bantuan presiden (banpres). Tentu saja, peristiwa tersebut, yang terjadi pada Februari 2001, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Mereka yang sinis melempar tanya: inikah "pemerintah reformasi?"
Tapi pihak Setpres punya cara untuk menjelaskan, seperti tertuang dalam jawaban tertulisnya. Sambil mengakui uangnya memang berasal dari banpres, Sekretaris Presiden Abdul Mudjib Manan bersikukuh mobil-mobil baru itu memang perlu dibeli. Ini, tambahnya, karena Setpres tidak memiliki mobil untuk para pejabat dan pegawai setingkat deputi dan kepala biro.
Ceritanya bermula saat Abdurrahman Wahid mulai berkuasa, sejumlah unit Sekretariat Negara (Setneg), seperti Sekretaris Pengendalian Pembangunan (Sesdalopbang), dilikuidasi. Sedangkan Setpres, yang tadinya cuma mengurusi rumah tangga Istana, menjadi lembaga besar, setelah pecah dari Setneg. Biro Bantuan Presiden pun pindah dari Setneg ke Setpres. Nah, mobil inventaris Sesdalopbang itulah yang seharusnya ditarik ke Setpres—tapi ternyata tidak bisa. Lalu, pihak Setpres minta mobil ke Presiden Abdurrahman. "Presiden setuju memakai dana banpres untuk (membeli) mobil, asal yang murah saja," tutur Kepala Biro Banpres, Heru Kuntoadji.
Terlepas masuk akal atau tidaknya penjelasan itu, dana banpres selalu menimbulkan sensitivitas. Mengapa?
Hal itu, tak lain, karena citra dana banpres yang identik dengan ketidakjelasan dan siasat patgulipat. Ditambah lagi, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, dana banpres se-penuhnya menjadi kewenangan Presiden—sehingga mustahil diusik pihak lain. Kesimpulan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang paling akhir mengisyaratkan bahwa keputusan Soeharto nyaris mutlak. Akibatnya, tercatat berbagai penyelewengan dalam penggunaan banpres selama tahun anggaran 1994-95 hingga 30 Juli 2000.
Soal pinjaman dana ke konsorsium Sea Games XIX/1997 yang diketuai Bambang Trihatmodjo, anak Soeharto, adalah salah satu contohnya. Dana banpres Rp 35 miliar itu mengucur tanpa permohonan tertulis, tanpa agunan, dan tanpa perhitungan atau usulan besarnya dana yang dibutuhkan. "Serba tanpa" ini bisa ditambah satu lagi: tanpa pertanggungjawaban.
Berbagai keputusan pemberian banpres oleh Soeharto—yang tanpa aturan main yang transparan dan bisa dikontrol oleh pihak lain yang independen—berakibat pada kerugian negara. Seperti proyek lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan untuk tanaman padi, yang berakibat fatal: negara rugi puluhan miliar rupiah dan proyek gagal. Menurut laporan BPK, proyek lahan gambut yang ambisius ini menjadi telantar, bahkan alat-alat di lapangan pun hilang. Ini belum termasuk kerugian kerusakan alam, termasuk rentan banjir di wilayah-wilayah sekitar, akibat megaproyek itu dipaksakan tanpa mengindahkan dampak lingkungannya.
Selain tumpukan kerugian ke pundak negara dan rakyat, ada juga sederetan komitmen pemberian banpres dari zaman Soeharto dan B.J. Habibie, senilai Rp 48 miliar, yang belum terealisasi hingga saat ini. Heru mengakui hal itu bisa menimbulkan tuduhan terjadinya penyelewengan dana banpres.
Heru tak kehilangan kata untuk menjelaskannya. Menurut dia, itu karena uangnya tidak bisa turun sekaligus—yang harus menunggu hasil bunga deposito yang sebesar Rp 2,5 miliar per bulan. "Untuk operasional banpres setiap bulannya, sebaiknya tidak lebih dari Rp 2 miliar," katanya. Namun, selain keterbatasan dana, ada juga faktor tidak layaknya proyek yang sudah disetujui di masa pemerintahan terdahulu.
Kerumitan banpres yang demikian tak terurai itulah yang mendorong Bondan Gunawan, ketika menjadi Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Oktober 1999-Maret 2000), membekukan fungsi banpres. Namun, tak tuntas. Dan setelah Biro Banpres pindah ke Setpres, warisan prosedur banpres yang amburadul itu tetap bertahan hingga Abdurrahman turun dari jabatan presiden.
Ketika dilakukan serah terima, Januari 2001, menurut Heru, sebenarnya telah dilaporkan jumlah dana banpres yang sebesar Rp 268,5 miliar ditambah US$ 10 juta dalam bentuk deposito. Dikatakan, uang sejumlah itu sudah ada pertanggungjawabannya: bukti rekeningnya jelas. Tapi ketika Heru ditanya apakah total dana banpres yang sebenarnya seperti yang tertulis dalam laporan serah terima itu (Rp 268,5 miliar dan US$ 10 juta), ia enggan menjawab. Soalnya, memang tidak ada kepastian berapa jumlah riil dana banpres, dan apakah sudah semuanya diserahkan ke Biro Banpres di bawah Setpres.
Keraguan atas jumlah riil dana banpres sebenarnya hal yang wajar. Sebab, banpres termasuk dalam dana nonbujeter, yang selama masa pemerintahan Soeharto memang tidak jelas pertanggungjawabannya. Dan terkesan dibuat remang-remang, dengan tujuan politis. Selain dikucurkan ke daerah-daerah, dana banpres juga dipakai buat menyokong ormas pemuda tertentu, misalnya, demi memenangkan Golkar.
Bila ditelusuri hingga ke hulu, dana banpres itu mulai diadakan pada awal 1970-an. Gagasan Soeharto ini sejatinya bertujuan mulia, untuk membantu pembangunan daerah-daerah tertinggal yang belum tertanggulangi dengan APBN/APBD. Sayangnya, upaya itu ditelikung di tengah jalan.
Dana banpres yang dikelola Sekretariat Negara ini berasal dari beberapa sumber. Termasuk dalamnya kelebihan ongkos naik haji (ONH) dan hasil tata niaga cengkeh. Sebagian lagi berasal dari dana pembangunan gedung kedutaan besar Indonesia di Singapura dan hasil bunga deposito dana reboisasi, serta sumber-sumber lain yang ditetapkan Presiden.
Memang, selama masa Orde Baru, jumlah dana banpres tidak pernah terlacak jelas. "Setneg itu seperti sangkar emas," kata Heru, yang sudah menjadi pegawai Setneg sejak masa Soeharto. Maka, tempat basah ini pun diperebutkan karena mengandung sumber-sumber keuangan yang mudah bocor atau dibocorkan. Nah, salah satu sumber kebocoran itu—seperti hasil audit BPK—ya, dana banpres.
Caranya mudah—dan tanpa merasa bersalah. Salah satunya, dengan menempatkan dana banpres ke rekening pribadi. Pada masa Soeharto, pejabat asisten umum di Setneg adalah (salah satu) yang mendapat kewenangan ketempatan dana banpres pada rekening pribadinya. Menurut sumber TEMPO di Setneg, cara ini memang membuat Soeharto merasa lebih aman dan nyaman. "Selain itu, siapa sih yang bisa menolak bila Soeharto memang menginginkan uang disimpan di rekening orang tertentu?" katanya.
Dan hal itu paling tidak tecermin dalam laporan BPK. Di sana tertera 22 rekening giro banpres, yang 15 rekeningnya atas nama pribadi, dengan saldo Rp 60,532 miliar dan US$ 4 juta. Ketahuilah, jumlah saldo itu lebih dari setengah total saldo banpres yang dicatat BPK dari 1994-95 hingga 30 Juni 2000. Itu masih ditambah dengan deposito dana banpres atas nama pribadi yang lain, senilai Rp 143,585 miliar atau sekitar separuh dari nilai deposito banpres pada tanggal pemeriksaan yang sama. Nah, rekening dan deposito ini atas nama Bambang Sutanto, Deputi Operasi Sekretaris Wakil Presiden RI, yang dahulu menjadi asisten umum di Setneg.
Berdasarkan temuan itu, BPK merekomendasikan agar rekening giro dan deposito dana banpres tidak mengatasnamakan pribadi. Sebab, hal itu bisa meningkatkan potensi penyimpangan. Buktinya, sempat beredar isu bahwa uang Rp 100 miliar ikut dibawa pindah oleh Sekretaris Wakil Presiden yang mantan asisten umum di Setneg. Dia adalah Bambang Sutanto, yang pindah karena memiliki pos baru di Setwapres (ketika Megawati masih wakil presiden).
Bambang memang dengan tegas membantah dua hal: soal rekening atas nama pribadi dan tentang perpindahan Rp 100 miliar. Melalui jawaban tertulis yang diberikan kepada TEMPO, ia menyebutkan bahwa penyimpanan giro maupun deposito itu atas nama jabatan—sama sekali bukan atas nama pribadi. Soal uang Rp 100 miliar tersebut, Bambang mengaku tidak tahu-menahu.
Bambang juga menyebut bahwa selama dia menangani banpres, tidak ada masalah yang berujung pada penyelewengan. Menurut dia, semua prosedurnya sudah benar. Bahkan secara berkala banpres sudah diaudit oleh BPK, BPKP, dan oleh pengawasan internal, yaitu Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Pengawasan.
Jawaban dan pembelaan pihak-pihak yang pernah me-nangani dana banpres memang bisa saja benar. Tapi, yang lebih utama adalah benar-benar mencernai rekomendasi yang diberikan oleh BPK. Ini perlu, agar pemerintahan yang baru ini tidak melakukan kesalahan yang sama. Kalau tidak, pemerintahan kita tak akan pernah bersih-bersihnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini