SETELAH ditunda selama sepekan, Presiden Megawati Sukarnoputri akan mengumumkan susunan kabinetnya pekan ini. Belum jelas, siapa saja mereka. Belum jelas pula siapa yang bakal menduduki kursi Menteri Sekretaris Negara, sebuah pos penting di era Orde Baru. Bambang Kesowo-kah? Atau orang lain?
Siapa pun yang menjadi Menteri Sekretaris Negara, atau apa pun namanya nanti, sebuah warisan telah menanti. Warisan ini berupa hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun anggaran 2000 terhadap lembaga Sekretariat Negara (Setneg), yang sampai sekarang belum terdengar kelanjutannya.
Laporan yang disampaikan oleh Ketua BPK Satrio Budihardjo Joedono kepada pimpinan DPR itu memper-lihatkan bahwa penyimpangan keuangan di tubuh Sekretariat Negara mencapai 57,93 persen dari total jumlah yang di-laporkan. Penyimpangan terjadi dalam pelaksanaan APBN (khususnya anggaran belanja rutin, anggaran belanja pembangunan, anggaran pembiayaan dan perhitungan), dan dana bantuan presiden tahun 1997-1998, 1998-1999, dan 1999-2000 pada Sekretariat Negara, Sekretariat Presiden (dahulu Rumah Tangga Kepresidenan), dan Sekretariat Wakil Presiden.
Secara kumulatif, BPK menemukan 48 kasus di Sekretariat Negara—di dalamnya termasuk Sekretariat Presiden—yang nilai penyimpangannya Rp 725.849,35 juta, DM 7355,86 ribu, dan US$ 14,96 ribu. Adapun rinciannya: penyimpangan atas indikasi kerugian Rp 5.920,02 juta; kekurangan penerimaan negara Rp 27.031,67 juta; uang yang tidak dipertanggung-jawabkan Rp 641.852,96 juta dan DM 7.355,86 ribu; pemborosan senilai Rp 9,243,53 juta; serta efektivitas sebesar Rp 41.801,17 juta dan US$ 14,96 ribu. Berdasarkan temuan tersebut, Satrio B. Joedono menyatakan Sekretariat Presiden sebagai lembaga yang belanja rutinnya paling menyimpang.
Memang, penyimpangan keuangan belum tentu korupsi, boleh jadi hanya berarti penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Bisa juga, seperti yang di-kemukakan bekas Sekretaris Negara Djohan Effendi di hadapan Komisi I DPR, "Penyimpangan itu cuma persoalan administrasi." Tapi seorang sumber TEMPO di BPK berkeyakinan lain. "Banyak penyimpangan di Sekretariat Presiden dan Sekretariat Negara yang mengandung unsur korupsi," tuturnya.
Menurut Zacky Umar Baridwan, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaganya menyatakan definisi "penyimpangan" itu jika pelaksanaan suatu kegiatan tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Atau, dengan kata lain, tidak selalu penyelewengan dalam pengertian korupsi. "Penyelewengan", menurut BPK, adalah penyimpangan yang mencakup tiga kelompok: penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, penyimpangan terhadap prinsip hemat dan efisiensi, dan penyimpangan terhadap efektivitas pencapaian sasaran.
Dalam prinsip akuntansi yang digunakan BPK, tidak dikenal istilah korupsi. Akan tetapi dari penerapan prinsip-prinsip akuntansi dalam pelaksanaan pemeriksaan atas hal-hal tertentu dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan investigasi (investigation audit) untuk memperoleh temuan yang mengandung tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara (contoh pemeriksaan atas penyaluran dan penggunaan BLBI). Sedangkan pengertian korupsi secara khusus diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Nah, lembaga yang berwenang mengklarifikasi mana di antara "penyimpangan" itu yang tergolong "korupsi" adalah Kejaksaan Agung dan pengadilan. Untuk itu, BPK sudah menyampaikan hasil temuannya ke Kejaksaan Agung pada 26 April 2001.
Dari mana asal-muasal penyimpangan dan carut-marut persoalan di Sekretariat Negara?
Pada zaman Soeharto berkuasa, Sekretariat Negara adalah sebuah mesin birokrasi yang efektif. Di sana dana politik dihimpun. Dari sana partai-partai politik saingan Golkar, juga organisasi massa, diawasi. Dari sana dikumpulkan dana operasi intelijen. Di lembaga ini, proyek-proyek besar harus di-acc Presiden. Dan para pejabat terkait cuma menjadi tukang teken atas perintah Soeharto. Pendeknya, seperti dikatakan bekas presiden Abdurrahman Wahid, Setneg adalah negara dalam negara.
Dana nonbujeter dari sumbangan dalam dan luar negeri pun masuk ke sana dan "dikelola" tanpa perlu dipertanggungjawabkan. Dana bantuan presiden, misalnya, selain dimanfaatkan untuk kepentingan sosial seperti kegiatan rohani dan bantuan korban bencana alam, juga dipakai Soeharto menyokong proyek para jenderal purnawirawan. Ada sebagian dana bantuan itu yang dikonversikan menjadi saham dan pengelolanya adalah Grup Nusamba milik Bob Hasan.
Presiden Soeharto memang menggalang dana itu sejak awal 1970-an. Sumbernya banyak, mulai dari kelebihan subsidi pendidikan, kelebihan ongkos naik haji, pungutan tata niaga cengkeh, penjualan gula dan terigu Bulog, iuran hasil hutan, dana reboisasi, sisa tukar guling gedung KBRI Singapura sebesar US$ 24 juta, sampai kelebihan kurs harga minyak, dan sebagainya.
Pasokan dana disetop Soeharto secara bertahap hingga 1998. Banpres lalu dikembangkan dengan cara didepositokan sebagai dana abadi di BI, Bank BNI, Bank Bumi Daya, BRI, BCA, Bank Duta, Bank Bukopin, dan Bank Windu Kencana. Belakangan, setelah terjadi likuidasi bank, dana dipindahkan ke semua bank pemerintah. Dana itu tersimpan dalam bentuk rupiah, dolar Amerika, Singapura, dan Australia. Dana ini bertambah setiap bulan dari bunga simpanan. Karena itu, dana hanya bisa diambil dari hasil bunga deposito yang disimpan dalam rekening giro terpisah.
Jumlah dana banpres tak pernah jelas diungkap. Ada yang bilang mencapai bilangan triliun. Dari catatan Badan Peng-awasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dana nonbujeter begini kurang lebih ada Rp 2,7 triliun di masa Soeharto. Ada yang bilang sekarang tersisa sekitar Rp 250 miliar.
Pada zaman Soeharto, urusan duit itu tak ada yang berani mengusik. Uang yang masuk atau keluar nyaris tanpa kontrol. "Dulu mana berani BPK maupun BPKP masuk ke Setneg," kata sumber TEMPO. BPKP baru mengaudit Setneg ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden dan Bondan Gunawan menjabat sekretaris pengendalian pemerintahan.
Praktek semacam ini jelas menyalahi prinsip transparansi. Keberadaan dana yang tidak masuk dalam pembukuan negara dan hanya diketahui pejabat terkait serta presiden rawan korupsi. Karena tidak ada kontrol dan pertanggungjawaban, penggunaan dana itu pun rawan penyimpangan.
Penelusuran TEMPO membuktikan bahwa ruwetnya administrasi surat, buruknya inventarisasi, longgarnya mekanisme kontrol, dan mental korup sebagian orang Sekretariat Negara juga menjadi titik rawan terjadinya penyimpangan.
Ruwetnya administrasi ini bisa dilihat dari pengelolaan surat keluar dan masuk yang masih menggunakan sistem manual alias tak memanfaatkan komputer. "Surat yang masuk hari ini, seminggu lagi sudah susah dicari," kata sumber TEMPO di Jalan Veteran. Dengan sistem semacam ini, masih menurut sumber itu, pejabat yang bertanggung jawab dalam urusan surat-menyurat gampang tergoda melakukan penyalahgunaan wewenang. Misalnya, berjanji kepada pihak tertentu untuk memuluskan keluarnya sebuah surat keputusan dengan syarat imbalan tertentu (uang).
Adakah persoalan administrasi itu karena semata-mata Sekretariat Negara tak punya komputer? Tidak juga. Buktinya, BPK menemukan ada peralatan komputer senilai Rp 418,14 juta yang belum dimanfaatkan oleh proyek prasarana fisik Sekretariat Negara.
Ada contoh lain, diceritakan oleh Bondan Gunawan. Ketika mundur dari jabatannya, ia bermaksud mengembalikan sebuah mobil dinas jenis Daihatsu Hiline. Tapi dengar apa jawaban yang diperoleh Bondan, "Pak, mobil itu tak ada dalam daftar inventaris, jadi kalau mau dibawa ya silakan." Mendapat jawaban seperti ini, Bondan hanya bisa geleng-geleng kepala. Sayang, dia enggan menyebut nama dan jabatan orang yang bersangkutan.
Bondan juga punya kisah tentang bagaimana mental orang Setneg dalam urusan sogok-menyogok. Suatu hari di awal masa jabatannya, sekitar Februari 2000, ada seorang staf yang meminta dirinya untuk segera memproses Keputusan Presiden tentang Warakawuri (paguyuban janda tentara). Berkas yang telah menumpuk selama enam bulan itu oleh Bondan diselesaikan singkat. Datang pagi, sore kelar. Tiba-tiba datang salah seorang staf dengan membawa amplop berisi segepok uang sebagai tanda terima kasih. "Tentu saja saya tolak," kata Bondan. Menurut dia, mengurus surat keputusan itu sudah menjadi tugasnya. Tanpa diberi imbalan pun, kalau memang sudah menjadi tugas, ya pasti akan dikerjakannya.
Bagaimana mengurai keruwetan masalah di Setneg? Tampaknya Setneg perlu menuntaskan dua soal anggaran yang rumit: bantuan presiden dan aset-aset. Pemakaian dana banpres perlu dibuat transparan. Setneg juga harus mengelola data asetnya dengan baik. Saat ini, sungguh ironis, banyak aset Setneg yang "disita" Badan Penyehatan Perbankan Nasional karena ikut diagunkan ke bank yang kemudian dilikuidasi.
Kejaksaan Agung juga perlu bertindak serius memeriksa dugaan penyimpangan dan penyelewengan di Setneg. Tanpa campur tangan aparat hukum, Setneg tetap akan menjadi lembaga tak tersentuh.
Dan Bambang Kesowo, salah satu kandidat potensial untuk menduduki jabatan Menteri Sekretaris Negara dalam kabinet Megawati, punya tugas yang berat. Dia pernah dibesarkan dalam Sekretariat Negara era Soeharto. Salah satu ukuran sukses buatnya, jika dia menduduki jabatan itu, adalah kemampuannya untuk mengubah apa yang gelap menjadi terang.
Beberapa Penyimpangan di Sekretariat Negara
Belanja Rutin
Penyimpangan: *39.411,12
Ada 8 temuan, antara lain pemeliharaan kendaraan, carter pesawat, barang inventaris setwapres yang tak dilaporkan.
Belanja Pembangunan
Penyimpangan: *6.161,09 dan US$ 14,96 ribu
Ada 10 temuan, antara lain renovasi toilet, pengadaan komputer, dan pendidikan ADUM dan SPAMA.
Anggaran XVI
Penyimpangan: *11.422,03 dan DM 7.355,86 ribu
Ada 7 temuan, antara lain pembelian kendaraan dari Jerman, renovasi ruang kerja wapres.
Dana Banpres
Penyimpangan: *781.213,34 dan US$ 23,565.02 ribu
Ada 14 temuan, antara lain dana banpres dimasukkan ke rekening pribadi, dana kesehatan presiden dan pinjaman ke wakil sesneg senilai Rp 550 juta tanpa bunga.
Sekretariat Presiden
Penyimpangan: *1.555,13
Merupakan bagian dari biaya perjalanan presiden yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
*) Nilai dalam jutaan rupiah, kecuali mata uang asing.
Sumber: Hasil pemeriksaan BPK tahun anggaran 1999-2000
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini