Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Ketika Para Mantan Berebut Volvo

Penyimpangan bisa muncul karena pencatatan inventaris negara yang amburadul. Bukan cuma sedan Volvo, rumah dinas pun bisa jatuh ke tangan pribadi.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULANG dari Kantor Sekretariat Negara, Juni tahun lalu, Bondan Gunawan hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin mobil dinas bermerek Daihatsu Hiline yang biasa dipakainya ternyata tak tercatat dalam daftar inventaris negara. Coba kalau mantan penjabat sementara Sekretaris Negara itu mau nakal. Dalam sekejap, mobil tersebut sudah bisa menjadi miliknya. Dan negara pun bakal dirugikan ratusan juta rupiah. Kecerobohan itu, kata Bondan kepada TEMPO, diketahui setelah ia tak lagi memimpin Sekretariat Negara. Ia mau mengembalikan mobil Daihatsu tersebut ke kantornya. Tapi, tak disangka-sangka, Bondan mendapat jawaban yang mengherankan. "Pak, barang ini tak ada dalam daftar inventaris," kata seorang bekas stafnya. Kejadian tersebut bisa merupakan kelalaian, bisa pula kesengajaan. Para staf Sekretariat Negara mungkin sengaja memberikan peluang korupsi. Dan kalau kebiasaan buruk itu telah berlangsung lama, tentu akan banyak barang negara yang jatuh ke tangan pejabat atau mantan pejabat. Apa pun motifnya, kesimpulan Bondan cuma satu: "Inventarisasi barang-barang di Sekretariat Negara memang amburadul." Itu bukan satu-satunya modus. Ada banyak cara untuk mendapatkan barang milik negara dengan mudah dan murah. Menurut Djoko Setiono, bekas Deputi Administrasi Sekretaris Presiden, pada zaman pemerintahan Habibie, ada juga pejabat tinggi yang suka mengangkangi mobil inventaris. Yang diincar biasanya mobil Volvo yang biasa dipakai sebagai kendaraan dinas. Karena telanjur sayang, ketika sudah tidak menjabat, mereka tak rela melepas Volvonya. Caranya, mereka mengajukan surat permohonan kepada Presiden Habibie agar mobil tersebut bisa dibeli. Hebatnya, Habibie menyetujui permintaan itu. Dan harganya yang ditetapkan pun supermurah: hanya Rp 20 juta per mobil. Untunglah, sebelum mobil-mobil sedan Volvo itu benar-benar berpindah tangan, akhir 1999 lalu pemerintahan berganti. Abdurrahman Wahid tampil menjadi presiden menggantikan Habibie. Bersamaan dengan itu, Ratih Hardjono diangkat menjadi Sekretaris Presiden. Di sinilah para mantan petinggi "pencinta Volvo" itu kena batunya. Upaya mereka untuk memiliki mobil barang negara itu kandas. Semula mereka memang sempat ngotot. Berbekal persetujuan yang diberikan Habibie, para mantan pejabat itu meminta agar mobil-mobil tersebut segera dilepas. Akhirnya, Ratih, yang tidak bisa memutuskan sendiri, meminta pertimbangan Djoko Setiono. Lalu, apa kata Djoko? Saat itu, ia terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya kalau mobil-mobil tersebut dijual dengan harga murah. Sebab, selain untuk kendaraan dinas para menteri, mobil itu sering dipakai untuk kendaraan tamu negara yang datang. Sedangkan negara tidak punya anggaran untuk membeli mobil baru. Dan saran itu dituruti Ratih. Bukan cuma harus menghadapi para "kolektor Volvo", pemerintahan Abdurrahman Wahid harus melayani "penggemar" rumah dinas. Yang diincar adalah rumah dinas milik Sekretariat Negara yang berada di Kemang, Jakarta Selatan. Sewaktu Habibie berkuasa, salah satu rumah di sana ditempati oleh Widodo Gondowardoyo, Sekretaris Menteri-Sekretaris Negara. Rupanya, sebelum berhenti dari jabatannya, Widodo sempat melayangkan permohonan kepada Presiden Habibie untuk memiliki rumah tersebut. Yang menerima getahnya pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebab, proses pengalihan hak milik rumah itu, kata Djoko Setiono, baru terjadi di era Abdurrahman. Mungkin karena mempertimbangkan jasa-jasanya yang besar, Presiden Abdurrahman sempat menyetujuinya. Cuma, Widodo gagal memiliki rumah dinas itu setelah kalangan DPR mempersoalkannya. Buntutnya, persetujuan itu dibatalkan Bondan Gunawan, yang juga Sekretaris Pengendalian Pemerintahan. Carut-marut pengelolaan kekayaan Sekretariat Negara tak hanya berhenti dalam urusan inventaris. Soal pengelolaan dana lebih gawat lagi. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut adanya sejumlah dana yang digunakan di luar tujuan. Salah satu alokasi dana yang dinilai menyimpang adalah pemanfaatan dana bantuan presiden yang dipinjamkan ke perorangan. Contohnya terungkap dalam hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2000. Dana bantuan presiden sebesar Rp 550 juta dipinjamkan kepada Toni Hartono, Wakil Sekretaris Negara. Pinjaman tanpa bunga itu diberikan berdasarkan surat permohonan yang diajukan Toni kepada Asisten Menteri-Sekretaris Negara Urusan Umum Sekretariat Negara, Bambang Sutanto. Rupanya, surat tertanggal 21 September 1999 tersebut sudah mendapat persetujuan dari Menteri-Sekretaris Negara Muladi. Oleh Toni, duit itu dipakai untuk membeli tanah dan membangun rumah di kawasan Bintaro. Di mata BPK, jelas penggunaan dana itu merupakan penyimpangan. Kata Djoko Setiono pun, Toni telah melanggar aturan. Sebab, dana bantuan presiden mestinya digunakan untuk membantu rakyat kecil. Tapi tudingan ini dibantah oleh Toni Hartono. Kepada TEMPO, ia menyatakan bahwa kewenangan mengeluarkan dana bantuan presiden sepenuhnya berada di tangan presiden. Dan ia mengaku telah disetujui oleh presiden untuk memperoleh dana itu. Jadi, kata Toni, "Semua prosedur saya penuhi." Toni pun mempunyai dalih mengapa ia harus meminjam duit. Langkah itu terpaksa ia lakukan setelah dua kali mengajukan permohonan rumah dinas ke Sekretariat Negara tapi gagal terus. Padahal, ia merasa berhak atas jatah rumah dinas. Sedangkan keamanan rumah Toni di kawasan Cipinang Baru Raya, Jakarta Timur, tidak terjamin. Mantan Wakil Sekretaris Negara itu juga menunjukkan bukti-bukti peminjaman, di antaranya sebuah surat perjanjian. Dalam surat itu diatur lamanya angsuran, besarnya angsuran, dan kapan angsuran dimulai. Disebutkan pula di situ siapa ahli waris yang mesti meneruskan jika Toni tak mampu membayar. Tak lupa kepada TEMPO Toni menyodorkan se-gepok bukti angsuran bulanannya. Menurut data itu, selain tak pernah menunggak, ternyata ia sudah melunasi semua pinjamannya. Ini juga ditegaskan dalam surat yang diteken oleh Edison Siahaan, Kepala Bagian Pembayaran dan Pembukuan Biro Pengelolaan Bantuan Presiden, pada Mei 2001. Di situ dinyatakan sisa pinjaman Toni: nihil. Pengakuan Toni diperkuat oleh Maftuh Basyuni, Sekretaris Negara saat ini. Ia menyebut dana bantuan presiden se-penuhnya memang wewenang presiden, sehingga pengucuran dana kepada Toni itu dinilainya wajar saja. Apalagi Maftuh juga mengaku menyimpan semua berkas yang berkaitan dengan pinjaman Toni. "Semuanya beres, tak ada masalah," ujarnya. Untuk sementara, urusan Toni mungkin bisa dianggap selesai. Tapi penggunaan dana bantuan presiden di masa depan harus jelas peruntukannya. Dalam hal ini, BPK menyebutkan keppres tentang pembentukan dana bantuan presiden sebagai pangkal soalnya. Di situ memang tak terlalu jelas pagar-pagarnya. Karena itu, lembaga ini mengusulkan agar presiden tidak mengeluarkan bantuan presiden sebelumnya aturannya dibenahi. Dan bukan cuma aturannya. Administrasi di Sekretariat Negara perlu diberesi. Jika tidak, akan banyak rumah atau mobil dinas yang tiba-tiba saja telah berpindah ke tangan seorang mantan pejabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus