Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBELI adalah raja buat para pedagang kelontong. Dan dokter adalah dewa bagi perusahaan obat. Dewa yang mesti senantiasa disembah, bukan saja dengan penuh takzim, tapi juga disuguh dengan segala sesajinya. Menurut banyak kalangan farmasi, pemberian uang komisi, servis pelesir ke luar negeri, sampai mobil mewah buat para tabib modern itu adalah praktek yang sangat biasa dalam bisnis obat di negeri ini. Tanpa itu, jangan harap obat kita bisa masuk resep mereka, katanya.
Nada sengit itu juga yang disuarakan dr. Iwan Darmansjah, guru besar farmakologi Universitas Indonesia yang amat disegani. Saya sampai tak lagi bisa memberi contoh dokter mana yang masih jujur di negeri ini. Hampir semuanya penipu, katanya. Menurut dia, praktek tercela ini sudah mewabah dan sedemikian terang-terangan. Hampir setiap perusahaan farmasi terlibat. Yang berkubang di dalamnya bukan cuma dokter, tapi juga perawat, apoteker, dan pemimpin rumah sakit. Terjadi bukan cuma di kota besar, tapi juga sampai di pelosok kabupaten.
Mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia, Kartono Mohamad, bahkan mengatakan, 50 persen dokter menerima suap dari perusahaan farmasi. Itu artinya separuh dari 20 ribuan dokter yang tersebar di seantero Tanah Air.
Kondisi parah ini, kata Iwan, berawal kira-kira pada 1969, ketika pemerintah mengizinkan beroperasinya perusahaan farmasi asing yang memiliki divisi pemasaran berkualitas. Adapun pemain lokal makin menjamur. Tak pelak, kompetisi makin ketat (lihat Rimba Liar Bisnis Obat). Maka, segala cara pun dihalalkan untuk menggaet pasar.
Dan itu berkaitan dengan sebuah modus penyuapan berskala raksasa. Seorang mantan manajer perusahaan farmasi terkenal memberikan hitung-hitungannya. Sepanjang tahun 2000, total penjualan obat mencapai angka Rp 9,6 triliun. Dari jumlah itu, 65 persennya adalah jenis ethical (obat resep, bukan yang bisa bebas dibeli). Pada tipe inilah permainan banyak terjadi.
Dilihat dari komponen harga obat jenis itu, rata-rata 30 persen merupakan komponen biaya promosi dan pemasaran. Karena tak bebas dipasarkan, biaya iklan atau promosi sangat kecil. Paling buat mencetak brosur dan sebangsanya. Bagian terbanyak pos ini dilahap untuk menutup biaya siluman buat para dokter. Jumlahnya niscaya mencapai angka ratusan miliar rupiah.
Kompetisi yang sehat, menurut para pendukung kapitalisme, akan membuat harga produk menjadi lebih murah. Namun, dalam kasus obat, yang terjadi memang sebaliknya. Obat adalah jenis komoditi yang tidak sensitif terhadap daya beliartinya, ketika sakit datang menyerang, seseorang akan membayar berapa pun obat yang bisa mengembalikan kesehatannya, bahkan jika harus berutang.
Ujung-ujungnya, memang konsumen juga yang paling dirugikan. Mereka harus membayar lebih mahal tiap kali menebus obat. Dokter Iwan memberi contoh. Di pasaran, obat antibiotik amoxan, misalnya, dijual seharga Rp 2.000 per butir. Padahal, dengan mutu yang sama, jenis itu bisa didapat cuma dengan 200-400 perak. Lalu ke mana selebihnya? Sebagian besar ya untuk menyogok para dokter itu, kata Iwan. Menurut perhitungan Kartono, jika patgulipat itu diberantas, harga obat bisa lebih murah sampai separuhnya.
Tidak sekadar mahal. Para dokter sering memberikan resep yang tidak diperlukan pasien, termasuk secara serampangan memberikan antibiotik, semata untuk mengejar setoran. Padahal, pasiennya cuma pilek, atau bahkan anak balita. Ini kan namanya peracunan pasien, kata Iwan. Contoh lain diungkap seorang ahli kanker di Jakarta. Ia pernah memergoki seorang dokter meresepkan obat antikanker payudara supermahal. Sekali suntik Rp 7 juta. Padahal, kondisi si pasien belum parah amat dan tak membutuhkan obat sekaliber itu. Setelah ditegur, barulah resep diubah, cukup Rp 1 juta saja.
Soal ini pernah dibuktikan penelitian Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lima tahun lalu. Riset yang melibatkan 1.000 responden dokter di kota itu menyimpulkan, hampir 40 persen resep digolongkan irasional. Salah satu penyebabnya adalah kolusi dokter-perusahaan obat.
Adanya pelanggaran itu diakui Anthony Sunarjo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Pelanggaran memang ada, meski berapa banyak dan siapa pelakunya saya tidak tahu, katanya berkilah. Kode Etik Pemasaran Usaha Farmasi Indonesia jelas-jelas menyebutkan, perusahaan obat diharamkam memberikan uangdalam bentuk apa punkepada kalangan profesional kesehatan. Hadiah barang juga dibatasi cuma US$ 50 (sekitar Rp 500 ribu dengan kurs sekarang). Pelanggaran terhadapnya bisa diganjar sejumlah sanksi, mulai dari denda sampai pencabutan izin.
Toh pemerintah seperti tak berdaya. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, cuma pasrah mengatakan telah lama mengendus bau kolusi itu, Tapi kami belum menemukan bukti.
Bukti? Investigasi mingguan ini mendapatkannya segepok. Semuanya autentik. Sebagian besar dokumen asli, sebagian lain berupa fotokopi. Bentuknya, puluhan nota transfer bank bulanan PT Kalbe Farma, perusahaan farmasi terbesar di negeri ini. Yang dituju adalah ratusan nomor rekening dokter, pemimpin rumah sakit, dan apoteker di banyak daerah pada 1996-1997. Yang disetor tak lain uang komisi atas jasa mereka meresepkan produk Kalbe. Soal itu diperkuat dengan berlembar-lembar formulir divisi pemasaran Kalbe, juga sejumlah tanda terima pemberian hadiah (lihat Komisi di Balik Resep).
Juga ada setumpuk formulir PT Pratapa Nirmala, perusahaan farmasi lain yang membawa bendera Fahrenheit. Isinya berupa data serupa. TEMPO juga berhasil memperoleh bocoran formulir perjanjian discount yang dikeluarkan Pyridam. Di dalamnya ada banyak kolom menyangkut nama dokter plus keahliannya, jumlah pasien per hari, rencana penggunaan produk, perkiraan jumlah dana promosi, sampai nama apotek yang mesti dimonitor.
Investigasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap banyak kalangan dalam farmasi membuktikan kesahihannya. Dan tentu saja, tidak cuma dilakukan oleh ketiga perusahaan itu. Praktek ini hampir dilakukan oleh semua pabrik obat, terutama pemain lokal. Nama PT Sanbe Farma, salah satu pemain besar, disebut-sebut yang paling agresif dalam urusan satu ini.
Ujung tombak dari sogok-menyogok ini adalah mereka yang sering secara keren disebut sebagai MR (medical representative) atau detailer. Tak sulit mengenalinya. Antrean Vespa di pelataran parkir rumah sakit menjadi salah satu ciri khas kehadiran mereka. Tiap jam istirahat atau lepas malam setelah semua pasien ditangani, satu per satu mereka akan menyelinap ke kamar praktek dokter. Kelebihan produknya diumbar, sambil mencari celah yang bisa dimasuki.
Selain menyerahkan brosur, mereka memberikan sejumlah pemanisbolpoin, cangkir, dan sebangsanya. Kalau ada waktu luang dan hubungan sudah rapat, mereka pun mengajak sang dokter bermain kartu. Tentu bukan sembarang kartu. Di atasnya tertera rupa-rupa gambar, mulai dari logo perusahaan, merek obat, plus kelebihannya. Cara yang sepintas terdengar agak konyol ini dipercaya cukup efektif mengingatkan dokter terhadap sebuah produk.
Mereka mesti jeli melihat dokter mana yang potensial, yang paling ramai dikunjungi pasien. Yang paling penting, kata seorang manajer perusahaan asing, adalah menjaring mereka yang masuk kategori dokter dewa. Yang dimaksud adalah para spesialis laris bergelar profesor. Soalnya, dokter kelas ini sangat berpengaruh. Jenis obat yang mereka resepkan akan otomatis diikuti para yuniornya. Mereka lantas dimasukkan sebagai anggota dewan penasihat di perusahaan farmasi yang bersangkutan. Jika ada konferensi ke luar negeri, merekalah yang berada di prioritas pertama diterbangkan. Sambil tentu saja diservis dengan layanan kelas satu, plus sejumlah uang saku dan tiket berikut akomodasi tambahan untuk istri dan sanak keluarganya.
Sandi (bukan nama sebenarnya), seorang mantan detailer senior Sanbe, mengaku memang untuk itulah mereka dilatih. Begitu masuk pusat pelatihan Sanbe di Bandung, kurikulum utama yang diajarkan ke mereka adalah berbagai teknik merayu dokter dan rumus perhitungan komisi. Soal kegunaan obat, kita cuma disuruh baca-baca sendiri, katanya. Pengetahuan obat memang tak terlalu penting. Peranti kerja utama adalah kalkulator dan daftar obat. Dokter cuma perlu menunjuk produk yang bakal getol diresepkan. Selebihnya, tinggal urusan tawar-menawar ala Glodok.
Ada beberapa cara pengaturan uang semir. Salah satunya dikenal dengan kontrak di depan. Dengan model ini, dokter akan menerima uang tunai, barang, atau servis lebih dulu, sebelum obat laku. Yang lain adalah kontrak bulanan: dokter mendapat komisi tergantung jumlah obat yang diresepkan. Ada juga istilah outlet deposit. Perusahaan farmasi tidak menyetor secara rutin, tapi jumlah komisi dicatat rapi. Suatu hari kelak, jika si dokter lagi butuh, dia tinggal minta dan barulah uang digelontorkan menurut kebutuhan. Yang lebih gila, bahkan ada dokter yang berani meneken kontrak hitam di atas putih untuk menegaskan komitmennya dan memastikan persentase bagiannya.
Mereka juga diajari teknik pengelabuan. Agar tak mudah terlacak, formulir pemasaran bahkan mesti ditulis dengan sandi. Jenis komisi untuk dokter, misalnya, cuma diisi dengan berbagai huruf. OD adalah kode untuk outlet deposit, sedangkan G berarti bonus tiap bulan atau per tahun. Ada juga K2 yang artinya bonus dua bulanan, atau GI untuk cuma-cuma alias sudah dibayar di muka. Di bawahnya ada dua kolom. Yang kanan sudah tercetak nama-nama buku ilmiah kedokteran. Ini cuma untuk kamuflase. Yang mesti diteliti adalah kolom sebelah kiri.
Di situlah para detailer mencantumkan besarnya nilai komisi. Tapi penulisannya juga disamarkan. Misalnya 328XXXX, ditulis vertikal dari atas ke bawah: X adalah simbol pengganti untuk angka nol. Jadi, itu mesti dibaca: Rp 3.280.000. Selain oleh penyelia dan si detailer, para dokter akan membubuhkan tanda tangannya di atas judul buku tadi. Jika dokumen ini sampai bocor, pihak Sanbe akan dengan mudah berkelit sebagai pembelian buku ilmiah belaka, yang diperbolehkan menurut kode etik.
Besar komisi bisa 10 sampai 40 persen. Kondisi atau CN adalah istilah yang populer untuk uang pelicin ini. Penentuan jumlahnya tak ada patokan pasti. Semua tergantung kesepakatan. Biasanya, jatah di atas 30 persen diberikan untuk tingkat laku obat mencapai Rp 50 juta sebulan.
Rupa-rupa upeti yang disediakan perusahaan obat buat para dokter haus rupiah ini. Sejumlah sumber menunjukkan contoh. Seorang dokter kandungan kondang di Surabaya punya reputasi sangat terkenal dalam hal ini. Rumah dan mobilnya dibelikan sebuah perusahaan obat besar. Jika tak cukup mengantongi sogokan, jangan harap bisa ngobrol lebih dari sepuluh menit dengannya.
Sandi mengaku pernah menggarap seorang dokter umum dengan pasien membludak di kawasan Bintaro, Jakarta. Pada 1998, sang dokter minta dibelikan rumah oleh Sanbe untuk dijadikan tempat prakteknya yang baru. Lokasinya mesti di Bintaro juga. Melihat potensinya, akhirnya Sanbe membelikan sebuah rumah seharga Rp 200 juta. Sebagai imbalan, si dokter sepakat untuk terus meresepkan produk Sanbe penuh selama tiga tahun.
Seorang detailer kawakan lain mengungkap kasus serupa. Ia pernah bernegosiasi dengan seorang dokter yang berpraktek di Jalan Kalipah Apo, Bandung. Karena prestasinya yang luar biasa, mencapai target penjualan sebelum tiga tahun, si dokter diberi insentif sebuah mobil luks.
Layanan di atas ranjang bahkan juga termasuk yang kerap diminta. Ini kesaksian tentang kelakuan seorang dokter di Semarang. Juni tahun lalu, ia diundang menghadiri sebuah seminar di Surabaya. Si dokter tak hanya minta dibayari ongkos seminar, hotel, tiket pesawat, dan antar-jemput lokal. Dia rupanya minta diservis luar-dalam. Usai seminar, ia diantar ke panti pijat. Tentu bukan pijat tunanetra, tapi jenis plus.
Bahkan, kata seorang pakar kedokteran, kini ada cara canggih yang dipelopori Fahrenheit. Komisi diberikan dalam bentuk jatah kepemilikan saham. Metode ini sangat efektif untuk mengikat kesetiaan dokter dalam jangka panjang.
Permintaan para dokter bahkan juga menyangkut hal remeh-temeh yang harganya tak seberapa, misalnya urusan penyediaan air mineral di ruang praktek, buku resep, sampai papan nama. Seorang mantan manajer perusahaan farmasi asing gemas bercerita. Tahun lalu, ia mengundang seorang dokter ternama mengikuti seminar. Di suatu pagi ia kena semprot. Apa pasal? Sang dokter murka cuma gara-gara ongkos sarapannya senilai Rp 65 ribu perak tak masuk bujet.
Uang pelicin juga bergentayangan di apotek. Para apoteker biasanya disuap sekitar 10 persen untuk membocorkan resep dokter. Ini untuk mengecek apakah dokter yang telah dijaring telah meresepkan obat sesuai dengan pesanan. Bahkan, dengan lobi tertentu, banyak apotek bisa diajak kongkalikong lebih jauh untuk menukar setiap obat yang telah diresepkan dengan produk sejenis dari perusahaan mereka. Khusus untuk ini, uang semir mesti lebih besar: 20 persen.
Manipulasi di apotek bukan cuma monopoli perusahaan farmasi. Para dokter juga ikut terlibat langsung. Ada, misalnya, istilah dokter dispensingsebutan buat para dokter yang menjual obat di tempat prakteknya sendiri. Tentu saja, mereka jadi menangguk keuntungan berlipat. Yang diterima bukan cuma komisi dokter, tapi juga jatah apotek, selain tentu saja laba penjualan.
Praktek ini sebenarnya dilarang keras, kecuali untuk dokter di daerah terpencil. Ketentuan memagari pabrik agar tidak berhubungan langsung dengan dokter. Tapi dokter dan kalangan farmasi adalah jenis manusia yang rupanya diberkahi seribu satu macam akal. Muncullah jurus apotek panel untuk menyiasatinya. Begini caranya. Disributor dibikin seolah-olah menyalurkan obat ke apotek. Tapi itu cuma datanya. Adapun obat dikirim detailer ke dokter dispensing. Nama apotek cuma dipinjam alias sekadar numpang lewat. Pihak apotek tak keberatan, selama ada sejumlah komisi yang dibayarkan untuk servis ini.
Permainan di rumah sakit tak kalah kotornya. Ada tiga simpul penting yang selalu dijaringpara pengambil keputusan yang menentukan perusahaan farmasi mana yang bakal diberi jalan masuk. Mereka adalah pemimpin rumah sakit (jatah komisi: 10-15 persen), kepala poliklinik (5-10 persen), dan bagian pembelian obat (2,5 persen). Pokoknya, minimal 25 persen harga obat hilang untuk menyuap orang-orang rumah sakit, kata Sandi. Bahkan, menurut seorang manajer farmasi asing, jumlahnya bisa mencapai 50 persen dari harga dasar pabrik. Maka, tak aneh jika harga obat di rumah sakit bisa 20-30 persen lebih mahal ketimbang di apotek biasa.
Bukan cuma sekadar komisi, pembangunan gedung pun jadi modus biasa di area ini. Sang manajer, misalnya, menunjuk contoh sebuah fasilitas bangunan mentereng di rumah sakit swasta di pusat Kota Yogyakarta. Indikasinya jelas. Coba periksa setiap resep yang dikeluarkan. Pasti dari perusahaan itu-itu saja. Contoh lain adalah pembangunan sebuah rumah sakit haji di Jawa Timur oleh sebuah perusahaan farmasi besar. Alhasil, sekian ribu jemaah haji yang rutin dilayani tiap tahun di sana pasti dibekali obat dan vitamin produknya.
Meski tak terlalu menguntungkan, kantor wilayah Departemen Kesehatan juga jadi rebutan. Di sinilah jatah pengadaan obat ke daerah dalam skala ratusan juta tiap tahun ditentukan.
Toh semua pihak yang tertuduhmanajemen Kalbe, Sanbe, Fahrenheit, dan Pyridamsatu suara membantah. Mereka bilang tak sedikit pun terlibat dalam urusan tercela itu. Promosi dilakukan di jalur semestinya. Kalaupun ada bukti transfer, itu cuma menyangkut urusan pembiayaan seminar, yang tak melanggar aturan.
Di negeri ini, bukti memang selalu tinggal bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo