Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah kota pelabuhan di India, suatu waktu, bencana tikus melanda. Tak ada isi gudang di situ yang tak dirusak tikus. Tak terhitung lagi kerugian yang diakibatkannya.
Pemerintah setempat lantas memutuskan melakukan pemberantasan tikus dengan cara fumigasi (penyemprotan) terhadap semua gudang. Akibat aksi pengemposan itu, tikus pun lenyap. Para pemilik gudang tentu lega.
Bencana pun hilang? Ternyata, urusan jadi panjang. Sebab, tak lama kemudian, timbul petaka lain. Virus-virus yang selama ini hidup di tubuh tikus rupanya tak ikut musnah bersamaan dengan terkuburnya tikus. Sumber penyakit itu mencari induk semang baru dalam siklus rantai makanan di wilayah tersebut.
Jadilah kucing sang hewan pemangsa tikus dipilih virus tadi untuk bermigrasi. Padahal, kucing tergolong binatang yang dekat dengan kehidupan manusia. Alhasil, dari kucing itulah kemudian muncul peningkatan drastis angka manusia yang terinfeksi virus tersebut.
Peristiwa buruk itu, menurut Prof. Syafrida Manuwoto, guru besar di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan IPB, cuma satu contoh dari keseimbangan alam yang terganggu akibat salah satu mata rantai ekosistem dilenyapkan. Padahal, semua organisme punya fungsi masing-masing di ekosistemnya.
Dalam keadaan alami, tanpa tekanan, dan tanpa intervensi, berlangsung sebuah proses keseimbangan alam. Misalnya kondisi ketika populasi tikus tak membeludak sehingga tak mengganggu manusia. Namun, karena manusia merusak ekosistem dengan pelbagai aktivitas, pemangsa alamiah tikus pun seperti kucing atau burung hantu kian sedikit. Sedangkan makanan tersedia di mana-mana. Akibatnya, populasi tikus meningkat pesat dan mengancam manusia.
Program revolusi hijau, yang mengutamakan target swasembada beras dengan program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, secara sistematis ternyata juga berdampak buruk bagi keseimbangan alam. Di daerah sentra produksi padi di jalur pantai utara Jawa, umpamanya, tatkala revolusi hijau dianggap berhasil, hama penggerek batang padi segera lenyap. Namun, hama baru yang lebih berbahaya pun muncul, yaitu hama pemakan daun putih, kepinding air, dan wereng.
Ilustrasi kasus-kasus di atas, yang bermula dari hal sepele, yakni hilangnya satu organisme dari rantai ekosistem, menurut Manuwoto dan koleganya, Dr. Hermanu Triwidodo, cukup menunjukkan betapa pengendalian populasi hama tikus dengan cara bioteknologi seperti birth control dengan virus mc perlu dikaji secara mendalam. "Jangan gegabah menerima teknologi baru hanya dengan melihat hasil jangka pendek," kata Hermanu.
Hermanu mengaku lebih memilih cara pengendalian tikus secara konvensional, sebagaimana selama ini diterapkan, misalnya dengan cara membunuh, gropyokan, pengemposan dengan belerang, pemagaran, serta pemakaian rodentisida. Menurut dia, cara-cara itu telah cukup berhasil menekan laju populasi tikus hingga tingkat tak membahayakan lingkungan. Dengan catatan, rodentisida pun harus digunakan secara bijak sehingga tak mengganggu lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo