Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Di Pojok Kafe Dangdut Kokobana

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN perbelanjaan Orchard padat dan hiruk-pikuk. Sabtu siang, 9 Agustus lalu, manusia menyemut di berbagai plaza dan supermarket. Maklum, hari itu Singapura tengahmerayakan hari kemerdekaannya.

Tapi tunggu dulu.... Di antara lautan orang itu terselip muka-muka khas Cilacap, Purwakarta,Tegal, Bandung, juga Kediri. Tak sulit mengenali "anak-anak Indon" itu, begitu para agenpembantu rumah tangga di Negeri Singa menyebut mereka.

"Saya lagi refreshing jalan-jalan, eh, malahtergoda beli baju ini," kata Tuti Khusniah, 36tahun, pembantu rumah tangga asal Cilacap, JawaTengah, yang sudah lima tahun lebih bekerja di Singapura.

Tak lama kemudian, di teras depan Lucky Plaza muncul seorang kawan Tuti. Anna, begituia mengenalkan namanya. Gadis berjilbab kelahiran Purwodadi ini menggandeng seorangpemuda Melayu warga Singapura. Di balik jemarinyamengintip seperangkat handphone Nokia seriterbaru, yang langsung membuat telepon selulerwartawan mingguan ini jadi tampak begitu kuno. "Kamiboleh libur sampai sore, tapi malam harus sudah balik," ujarnya.

Pada hari libur yang riang itu, ratusan bedinde Indonesia tampak sedang cekakak-cekikik ditempat nongkrong favorit mereka: kafe-kafe danpub dangdut Green Mango and Fire, Kokobana, atawa Pub Mawar City Plaza. Sebagian lain yangsudah bosan memilih bersantai ke pantai Marina Square.

Di sana mereka melupakan urusan dapur dan cucian kotor barang sejenak. Ada yang sekadarcuci mata, bercanda dengan kawan, ada juga yang berasyik-masyukdengan pacar. Penampilan mereka laiknya anak remajazaman sekarang, dengan telepon genggam yang takhenti berdering, plus peranti handsfree menancap dikuping. Pokoknya serba gayalah.

"Sekali waktu boleh kan joget dangdut. Masa, didapur terus," ujar Weni sambil tertawa genit. Wenibukan nama sebenarnya. Ia minta nama aslinya takdisebut, Mojang Priangan yang mengenakan jins dankaus ketat itu mengaku ketagihan dugem (duniagemerlap). Malah, kata seorang kawannya, Weni kini hidup seatap denganseorang lelaki bule Amerika.

Singapura memang penuh daya tarik buat perempuan miskin asalIndonesia yang mencoba mengubah jalan nasib. "Jelaskarena dolarlah," Nurifah, pembantu asal Medan,menjelaskan motivasinya merantau ke Negeri Singa.

Jadi bedinde di sini sejak 1997, ketika itu iadiupah Sin$ 230 sebulan. Kini, setelah enam tahun iabekerja, gajinya telah mencapai Sin$ 430 atausekitar Rp 2 juta. "Kalau dibanding kerja di kampung,ya, jauh sekali," kata janda beranak tiga yang baruberusia 35 tahun itu sembari tertawa lebar. Darihasil membanting tulang di negeri orang, Nurifahbisa membangunkan rumah untuk kedua orang tuanya di Nganjuk, Jawa Timur, dan membiayaisekolah anak-anaknya.

Nurifah, jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan, mengaku kini hidupsenang dan berkecukupan. Jadi pembantu di kediaman seorang ekspatriat Prancis yang kayaraya, ia bak nyonya besar. Ke mana-mana ia pergidiantar sopir dengan mobil Mercedes majikannya. Dirumah induk semangnya, yang luas, ia tinggal di sebuah paviliun tersendiri. "Saya enggaknyombong, mungkin saya pembantu paling kaya di sini,"katanya bungah.

Meski tak seberuntung Nurifah, Anna merasakan kenikmatan serupa. Bedinde yang baruberusia 29 tahun ini bekerja di Singapura sejak 1995.Ia tak menyerah kendati berkali-kali kabur setelah dikasari majikan. Gajinya kini mencapai Sin$400. Dari hasil jerih payahnya, ia bisa membelirumah tipe 36 di Batam.

"Saya ini orang miskin. SD saja tidak tamat. Alhamdulillah, sekarang bisa mendapat duit dan berbahasa Inggris dengan baik," ujarnya. Di Kedutaan Besar RI di Singapura, Anna baru saja menjadi juara lomba casciscus berbahasa Inggris antarpembantu rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus