Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat dari Surabaya baru saja mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Direktur Utama PT Industri Sandang I, M. Ismoedi, turun bersama Direktur Keuangan M. Maksum dan Direktur Litbang M. Imam Saleh. Mereka datang atas perintah Direktur Jenderal Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Bacelius Ruru.
Belum sempat mereka keluar dari bandara, seorang teman mencegat. “Rapat dengan Bacelius cuma kedok. Anda akan dipaksa menandatangani akta ruilslag,” kata sang teman. Ismoedi dan kedua direkturnya kemudian memilih bertahan di bandara. “Kami nongkrong minum kopi, lalu kembali ke Surabaya,” ujar Maksum, yang kini berdiam di Yogyakarta.
Peristiwa itu terjadi awal Januari, 10 tahun silam. Itulah saat paling kritis dalam persoalan ruilslag atau tukar guling tanah yang ditempati pabrik PT Sandang di Jalan Patal (Pabrik Pemintalan) Senayan, Kebayoran Lama, Jakarta. Sudah enam tahun PT Graha Delta Citra milik Anthony Salim, putra konglomerat Liem Sioe Liong, mengincar tanah Patal seluas 17,8 hektare, tetapi direksi perusahaan tekstil milik negara itu enggan melepasnya. Mereka menilai Anthony menukar aset emas kawasan Senayan itu dengan loyang. Maklumlah, tanah pengganti itu ada di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, sekitar 80 kilometer di timur Jakarta.
Toh, tukar guling itu akhirnya terjadi juga.
Badan Pemeriksa Keuangan mencium aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan negara Rp 121,63 miliar tujuh tahun silam, namun kasus ini seolah lenyap tertiup angin. Januari lalu, sekelompok mantan karyawan PT Sandang melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka berharap kasus ini kembali dibongkar.
Kasus ini berawal dari surat Tjokropranolo, Gubernur DKI Jakarta (1977–1982), kepada direksi PT Sandang pada Juni 1980. Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta, kawasan Senayan harus bebas dari industri berpolutan. Gubernur memerintahkan PT Sandang mengungsikan pabriknya keluar wilayah Jakarta paling lambat 1995.
Saat itu PT Sandang sedang menghadapi masa-masa kritis keuangan. Kondisi baru mulai membaik pada akhir 1980-an. Menurut Direktur Utama PT Sandang, Sumedi Wignyosumarto (1987–1995), pada 1988 mereka bisa menangguk untung Rp 3 miliar, tetapi mereka masih punya beban menutup utang pada tahun-tahun sebelumnya.
Batas waktu yang diberikan Gubernur makin dekat, sementara relokasi membutuhkan dana besar. Rapat Umum Pemegang Saham PT Sandang pada 1989 memutuskan melakukan ruilslag atas tanah Patal dan memindahkan pabrik ke Karawang. “Harapannya, tukar guling itu bisa kami manfaatkan untuk mendapat tanah dengan pabrik baru yang modern dengan kapasitas produksi lebih besar,” kata Sumedi.
Kabar rencana ruilslag menyebar cepat. Beberapa perusahaan menyatakan minat dan mulai mendekati direksi PT Sandang. Seingat Sumedi, ada sekitar lima pengusaha yang sempat menanyakan kemungkinan untuk melakukan tukar guling. “Saat itu kita menunggu tender saja,” katanya.
Nyatanya tender tidak pernah terjadi. Pemerintah selaku pemegang saham tunggal PT Sandang melalui Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, tiba-tiba, sudah menunjuk PT Graha Delta Cipta sebagai pihak swasta untuk melakukan tukar guling, November 1990. “Sebagai bawahan, saya harus patuh kepada atasan, kan?” kata Sumedi.
Mengapa Sumarlin memilih Anthony tanpa melalui tender? Kepada Tempo Sumarlin menunjuk Hartarto, Menteri Perindustrian kala itu, sebagai orang yang paling tahu. Dia mengaku penunjukan itu sebagai tanggapan atas usul Hartarto seminggu sebelumnya. “Usul menggolkan perusahaan Anthony itu didukung Pak Hartarto,” katanya.
Hartarto tidak menyangkal. “Ya, nama itulah yang saya usulkan kepada Menteri Keuangan,” katanya. Alasannya, pada saat itu yang datang menawar tanah Patal hanya Anthony sehingga tidak perlu dilakukan tender. Selain itu, Anthony bukan hanya menghubungi dia, tapi juga mengontak Menteri Muda Perindustrian Tunky Ariwibowo dan Sumarlin secara terpisah. “Tapi kewenangan memutuskan tetap pada Pak Sumarlin sebagai pemegang saham tunggal,” katanya.
Lobi tingkat tinggi melalui ketiga menteri ini terbukti memuluskan Anthony untuk mendapatkan aset emas milik PT Sandang. Awalnya, proses tukar guling ini berjalan wajar-wajar saja. Lihat saja isi perjanjian yang dibuat. PT Insan I akan menyerahkan tanah seluas 17,8 hektare di Patal Senayan ke PT Graha Delta.
Sebagai kompensasinya, PT Graha Delta akan membangun pabrik tekstil baru yang modern di Karawang plus saham 10 persen pada perusahaan properti yang akan didirikan PT Graha Delta. Perusahaan patungan di Senayan ini diberi nama PT Indo Sandang City. Perusahaan inilah yang akan mengelola proyek superblok senilai Rp 400 miliar di Patal Senayan.
Pendek kata, aset PT Sandang I sebesar Rp 115,8 miliar diganti dengan barang yang sepadan. Sumedi pun membubuhkan tanda tangannya mewakili PT Sandang I bersama Anthony Salim sebagai wakil PT Graha Delta pada 25 Mei 1991.
Persoalan baru muncul dua tahun kemudian, saat perjanjian itu jatuh tempo. Sumedi menolak menuntaskan ruilslag. “Mereka (PT Graha Delta) wanprestasi, banyak hal melenceng dari perjanjian,” katanya. Di antaranya, jenis dan spesifikasi beberapa mesin di Karawang berbeda dari yang disepakati. Jumlah bangunannya pun kurang. Belum lagi fondasi pabrik yang rapuh menyebabkan lantai bergetar saat mesin beroperasi. Janji Anthony untuk memberi pinjaman modal kerja Rp 83,8 miliar juga urung cair.
Berkali-kali direksi PT Sandang I minta agar kekurangan-kekurangan itu segera dibenahi, namun PT GDC cuek, tak peduli. “Kami sampai mengancam kalau hingga waktu pertukaran belum beres, perjanjian batal,” ujar salah seorang direktur PT Sandang I yang sering ikut rapat koordinasi. Itu terjadi pada akhir 1992. “Herannya, mereka tenang-tenang saja.”
Merasa disepelekan, direksi PT Sandang I meminta pemerintah memperbarui perjanjian atau membatalkan sama sekali. Ternyata surat-surat mereka malah menjadi bumerang. Pabrik di Karawang yang harusnya seratus persen milik PT Sandang I sebagai kompensasi atas tanah di Patal, malah saham terbesarnya dikuasai Anthony.
Peralihan kepemilikan itu berawal dari keputusan Menteri Sumarlin. Utang yang dijanjikan PT Graha Delta Rp 83,8 miliar, yang belum kunjung cair, berubah menjadi penyertaan modal pada pabrik tekstil di Karawang. Hitungannya, aset PT Sandang I di Karawang bernilai Rp 75 miliar sehingga janji utang itu berubah menjadi penyertaan saham 52,16 persen! Perusahaan patungan baru itu diberi cap PT Karawang Indo Sandang.
Setelah PT Karawang Indo Sandang berdiri dan PT Graha Delta menjadi pemegang saham terbesar, mereka meminta kekurangan dalam pembangunan pabrik di Karawang menjadi tanggung jawab bersama. Selain itu, wakil-wakil Anthony dalam perundingan dengan PT Sandang I, antara lain Suryo Pranoto Budhihardjo, Franciscus Welirang, dan Yohanes Jap terus mendesak agar tanah Patal segera diserahkan.
“Kami tetap menolak,” kata sumber Tempo, seorang mantan direktur PT Sandang I. Mereka juga menolak berpartisipasi dalam PT Karawang Indo Sandang sebelum PT Graha Delta menuntaskan kewajibannya sesuai dengan perjanjian 1991.
Belum lagi pabrik di Karawang diserahkan, PT Graha Delta sudah mengoperasikannya awal 1994 tanpa melibatkan PT Sandang I. “Padahal, sesuai dengan perjanjian, pabrik itu harus diserahkan dalam keadaan baru. Setelah itu, baru menjadi aset PT Sandang I dalam joint venture,” kata sumber itu. Padahal, PT Graha Delta belum juga memasukkan modal 52,16 persen.Mengenai ini Franciscus punya alasan. “Kami kan harus membuktikan pabriknya bisa jalan. Mesin-mesinnya performa semua,” ujarnya. Memang, pada naskah perjanjian ruilslag ada klausul mengenai uji coba mesin, tapi itu hanya untuk tiga bulan, sementara PT Graha Delta mengoperasikan mesin secara sepihak selama tiga tahun.
Persoalan belum selesai hingga Mar’ie Muhammad menggantikan Sumarlin sebagai Menteri Keuangan pada 1993. Langkah pertama Mar’ie dalam persoalan ini, memensiunkan Sumedi pada 1995. Banyak karyawan PT Sandang I menduga ini berkaitan dengan proses tukar guling yang berlarut-larut, tapi Sumedi membantah. “Waktu itu usia saya kan 67 tahun, sudah pantaslah untuk pensiun,” katanya.
Mar’ie menunjuk Ismoedi yang ketika itu memimpin PT Sandang II di Surabaya sebagai pengganti Sumedi. Di bawah Ismoedi penyelesaian ruilslag ternyata malah kian seret. Ismoedi lebih keras menolak. Wajar saja. Nilai tanah di Patal Senayan terus melompat tinggi, sementara nilai aset di Karawang tak banyak beranjak. “Waktu itu kami hanya berpikir, ini merugikan pemerintah. Sayang, kan?” ujar Maksum, salah seorang direktur Ismoedi.
Ismoedi kemudian meminta bantuan tim Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, untuk menjadi kuasa hukum PT Sandang I pada Maret 1997. Hasilnya, tim ini menghitung nilai tanah di Patal saat itu telah mencapai Rp 535,5 miliar. Jika tetap mengacu pada perjanjian 1991, yang menghargai aset PT Sandang I hanya Rp 115,8 miliar, itu artinya negara kebobolan Rp 419,7 miliar. “Kami sarankan (kepada PT Sandang I) agar ruilslag dibatalkan saja,” kata Peter Mahmud Marzuki, salah seorang anggota tim.
Usulan memperbarui perjanjian ruilslag atau membatalkan perjanjian kembali muncul. Ismoedi meminta pemerintah menghitung ulang nilai tanah di Patal.
Membatalkan perjanjian 1991 sebenarnya persoalan mudah. Secara hukum, PT Graha Delta sudah wanprestasi, plus perjanjian itu lemah karena tanpa pengesahan notaris. Belum lagi, dalam perjanjian Anthony mengaku sebagai direktur PT Graha Delta. Padahal, dalam lembaran negara pendirian PT Graha Delta pada 1990, tak ada jejak nama Anthony, baik sebagai pemegang saham, komisaris, ataupun anggota direksi. Namanya baru muncul sebagai direktur utama setelah Salim Grup mengakuisisi perusahaan itu tiga tahun kemudian.
Namun, apalah artinya semua dokumen itu jika pemerintah sebagai pemilik tunggal PT Sandang I memutuskan agar perjanjian segera dieksekusi—dan inilah yang terjadi. Saat perundingan penyelesaian ruilslag terancam buntu, “tangan dewa” muncul.
Presiden Soeharto, melalui Menteri Sekretaris Kabinet, Saadillah Mursjid, menulis surat bertanggal 15 Januari 1997. Surat itu ditujukan kepada Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo—Hartarto tak lagi menjadi menteri pada 1993. Isinya tegas: “Perjanjian ruilslag harus segera dilaksanakan secara tuntas.”
Sudah. Tak ada lagi yang bisa menahan.
Bacelius mengutip surat sakti itu dan dikirimkan kepada direksi PT Sandang I. Direksi tahu diri. Jauh sebelum itu memang sudah beredar kabar akan turun titah dari “bos besar”. Rumornya, dalam sebuah pertemuan, Presiden menyentil Menteri Keuangan, “Kok, Senayan belum selesai-selesai?” kata sumber Tempo mengutip rumor yang beredar.
Tekanan Bacelius makin kuat. Awalnya, Ismoedi harus menandatangani akta di hadapan notaris agar perjanjian 1991 memiliki dasar hukum. Nah, saat itulah terjadi insiden “ngopi di bandara”. Tiga bulan kemudian Ismoedi kembali membangkang hingga dua kali dan mengabaikan surat kuasa dari Tunky untuk menandatangani akta.
Bacelius membantah meneror Ismoedi dan berpihak kepada PT Graha Delta. “Saya cuma berusaha agar transaksi berlangsung sesuai ketentuan,” ujarnya. Dia mengaku hanya sebagai pelaksana. Kebijakan tentang soal ini menjadi kewenangan Menteri Keuangan selaku kuasa negara dalam soal kepemilikan aset.
Menteri Mar’ie yang dijuluki Mr. Clean membantah telah memberi jalan tol bagi proses ruilslag yang tersendat-sendat itu. Mengenai hitung-hitungan aset, itu urusan tim teknis dari Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, dan PT Sandang I. Dia tinggal menyetujui. “Masak, menteri ngurusin harga,” dia berkilah. Sementara itu, mengenai benar-tidaknya pertemuan di Cendana, Mar’ie mengaku lupa. “Saya nggak ingat. Ini kasus lama,” katanya.
Apa pun alasannya, lima bulan setelah surat sakti Saadillah turun, Mar’ie mencopot Ismoedi dan menggantikannya dengan Harinto Soebandi. Kini, urusan jadi lancar. Baru empat bulan menjabat, Harinto membereskan tetek-bengek ruilslag yang tersendat-sendat selama enam tahun itu. Dia menandatangani akta perjanjian yang baru bersama Anthony di hadapan notaris Benny Kristianto.
Banyak rekan Harinto yang kaget karena dia sebelumnya menjadi anggota tim task force, sebuah tim bentukan Direktorat Jenderal BUMN pada 1995. Tim ini bertugas mengevaluasi proses ruilslag tanah Patal. Saat itu, Harinto ikut merekomendasikan agar PT Sandang I membatalkan perjanjian ruilslag.
Harinto mengelak. “Saya tidak intensif dalam tim itu, apalagi sampai menyimpulkan menolak tukar guling.” Kalaupun akhirnya dia meneken akta perjanjian, ujarnya, ”Kami berpatokan pada perjanjian 1991.”
Setelah pengesahan perjanjian di hadapan notaris itu, kasak-kusuk soal tukar guling mereda. Hingga tiga tahun kemudian, BPK mengumumkan adanya indikasi KKN dalam ruilslag tersebut. Pejabat yang diduga terlibat: Menteri Sekretaris Kabinet atas nama Presiden, Dirjen Pembinaan BUMN atas nama Menteri Keuangan, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan selaku kuasa pemegang saham.
Badan Pemeriksa Keuangan menyarankan DPR meminta pertanggungjawaban pejabat yang mereka sebut, serta mendesak pemerintah membatalkan ruilslag yang merugikan negara Rp 121,63 miliar itu.
Saran tinggal saran. Proyek Patal terus melaju. Di atas tanah bekas pabrik itu kini berdiri tiga tower megah. Berpatokan pada harga pasar tanah yang mencapai Rp 14 juta per meter pada 2006, nilai proyek tersebut saat ini minimal Rp 2,49 triliun! Artinya, 10 persen saham milik PT Insan I di PT Indo Sandang City mendekati Rp 250 miliar. Lumayan.
Celakanya, saham itu ternyata sudah dijual Kuncoro Hedrartono, Direktur Utama PT Industri Sandang Nusantara—ini adalah gabungan PT Sandang I dan II—kepada PT Graha Delta, 17 Februari 2003. Saham emas itu diobral Rp 40,65 miliar. Jika melihat aset pengganti yang ada di Telukjambe, Karawang, lengkap sudah kesialan perusahaan pemintalan milik pemerintah ini.
Menurut salah seorang mantan karyawan Industri Sandang, Azhar Noor, kasus itu sudah pernah dilaporkan ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Agung, pada Juni 2005. “Tapi tidak ada tindak lanjut,” ujarnya. Ali Mukartono, anggota tim, mengatakan, sepengetahuan dia, tim tersebut memang tidak menangani kasus tersebut. Juru bicara Kejaksaan Agung, Salman Maryadi, malah mengaku belum tahu soal laporan itu.
Menukar Lalu Menggulingkan
Awalnya terlihat seperti tukar guling biasa. PT Graha Delta Citra menukar tanah PT Industri Sandang I di Patal Senayan dengan pabrik baru di Karawang berikut sejumlah uang dan saham. Di separuh jalan, Graha ingkar janji alias wanprestasi sembari ”main atas”. Industri Sandang I pun terguling.
1961 Perusahaan Negara Industri Sandang berdiri di Patal—kependekan dari Pabrik Pemintalan—Senayan.
1977 Industri Sandang menjadi perseroan terbatas dan dipecah menjadi Sandang I dan II. Patal Senayan tergabung dalam manajemen Sandang I.
6 Juni 1980 Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo memutuskan Sandang I harus merelokasi pabriknya di Patal Senayan paling lambat 1995 karena wilayah itu bukan untuk industri.
1985 Direktur Utama Sandang I Atma Surakusumah mengundang swasta melakukan tukar guling (ruilslag) Patal Senayan karena pemerintah tak memiliki dana relokasi. Hingga ia pensiun pada 1986, tak ada keputusan tentang pembiayaan dan siapa mitra swasta dalam ruilslag itu.
2 November 1990 Menteri Keuangan J.B. Sumarlin menyetujui PT Graha Delta Citra sebagai mitra ruilslag Sandang I. Nama Graha diajukan Menteri Perindustrian Hartarto.
25 Mei 1991 Perjanjian ruilslag ditandatangani di bawah tangan, tanpa pengesahan notaris, oleh Direktur Utama Sandang I Sumedi Wigyosumarto dan Anthony Salim—putra taipan terkaya Indonesia, Liem Sioe Liong. Sumedi mewakili Sandang I berdasarkan surat kuasa dari Menteri Perindustrian Hartarto, sementara Anthony mewakili Graha. Namun posisi Anthony di perusahaan ini tak jelas karena dalam akta pendirian perusahaan (Berita Negara Nomor 57/2505 Tahun 1990) tak ada nama Anthony, baik selaku pemegang saham, komisaris, maupun direksi. Inti perjanjian:
- Sandang I menyerahkan tanah 17,8 hektare di Senayan kepada Graha Delta Citra.
- Sebagai kompensasinya, Graha membangunkan pabrik di Karawang dalam dua tahun setelah perjanjian ditandatangani.
- Graha juga menyerahkan saham kepada Sandang I senilai minimal Rp 40 miliar (10 persen) atas proyek superblok di atas lahan Patal Senayan, serta memberikan pinjaman Rp 83,8 miliar kepada Sandang I untuk relokasi pabrik dan modal kerja.
1 Oktober 1992 Graha Delta Citra diakuisisi Grup Salim. Anthony menjadi direktur utama.
1993 Dua tahun setelah perjanjian, Graha Delta Citra belum siap menyerahkan pabrik di Karawang. Sandang juga mencatat sejumlah ingkar: jenis dan kapasitas mesin berbeda, luas tanah kurang, bangunan belum jadi seluruhnya.
9 Januari 1993 Menteri Keuangan menyetujui permintaan Graha Delta Citra untuk mengubah perjanjian dengan mengalihkan pinjaman Rp 83,8 miliar menjadi saham. Karena aset Sandang I di Karawang bernilai Rp 75 miliar, pabrik di Karawang kembali dimiliki Graha, dengan kepemilikan saham 52 persen Graha dan 48 persen Sandang I. Pengalihan pinjaman itu atas rekomendasi Menteri Muda Perindustrian Tunky Ariwibowo.
Februari 1994 Graha Delta Citra secara sepihak mengoperasikan pabrik di Karawang.
9 Januari 1995 Anthony mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian agar tanah Patal Senayan segera diserahkan karena pihaknya telah memenuhi seluruh perjanjian ruilslag. Namun, menurut Direktur Utama PT Sandang, Sumedi, Graha Delta Citra belum memenuhi seluruh isi perjanjian.
Oktober 1995 Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN membentuk tim task force yang dipimpin Kustoyo untuk mengkaji ruilslag.
3 November 1995 Tim task force menyimpulkan perjanjian tukar guling itu cacat hukum, tidak adil, dan merugikan negara (lihat ”Rugi Tak gentar”).
6 Juli 1995 Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad mengganti Direktur Utama Sumedi dengan Ismoedi.
10 Januari 1997 Direktur Jenderal Pembinaan BUMN Bacelius Ruru mempertemukan Sandang, yang diwakili Ismoedi, dengan Graha Delta Citra, yang diwakili direkturnya, Suryo Pranoto. Graha mengklaim ada kelebihan investasi pabrik di Karawang sebesar Rp 43 miliar. Dalam pertemuan itu disepakati: kelebihan investasi Graha diselesaikan dengan usaha patungan, Sandang harus menyerahkan tanah Senayan, dan Graha mengeluarkan jaminan saham Sandang di proyek Senayan.
15 Januari 1997 Presiden melalui Menteri Negara Sekretaris Kabinet Saadillah Mursjid meminta Menteri Mar’ie dan Tunky—saat itu sudah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan —menindaklanjuti kesepakatan 10 Januari.
26 Februari 1997 Ismoedi melapor kepada Menteri Mar’ie dan Menteri Tunky bahwa Sandang dirugikan jika ruilslag dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan 10 Januari 1997. Harga tanah di Senayan Rp 470 miliar, sementara tanah di Karawang cuma Rp 19,8 miliar. Selain itu, kapasitas pabrik di Karawang jauh menurun karena telah dioperasikan secara sepihak selama tiga tahun oleh Graha Delta Citra.
24 Maret 1997 Ismoedi meminta tim Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, menilai kembali perjanjian ruilslag. Tim yang beranggotakan Ismet Baswedan—kini Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga—itu menyimpulkan negara dirugikan Rp 419,6 miliar jika perjanjian dilanjutkan.
22 April 1997 Menteri Tunky berkukuh melanjutkan ruilslag dan menerbitkan surat kuasa untuk melanjutkan ruilslag kepada Ismoedi. Tapi Ismoedi menolak.
20 Juni 1997 Menteri Mar’ie mengganti direksi Sandang dan menunjuk Harinto Soebandi, pensiunan Direktur Pemasaran Sandang I dan mantan anggota tim task force BUMN, sebagai Direktur Utama Sandang I.
26 September 1997 Harinto dan Anthony sepakat melanjutkan proses ruilslag dan meneken perjanjian baru.
1 Oktober 1997 Harinto dan Anthony menandatangani akta perjanjian ruilslag di hadapan notaris Benny Kristianto, tepat pada hari ketika Graha Delta Citra diakuisisi Grup Salim pada 1993.
Mei 2000 Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan ruilslag merugikan negara Rp 121,6 miliar. Badan itu juga menemukan indikasi korupsi-kolusi-nepotisme yang melibatkan mantan Menteri Sekretaris Kabinet atas nama Presiden, Direktur Jenderal Pembinaan BUMN atas nama Menteri Keuangan, serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan selaku kuasa pemegang saham.
2001-2002 PT Industri Sandang Nusantara—gabungan Sandang I dan II—menawarkan 10 persen sahamnya di Indosan Senayan kepada Graha Delta Citra. Direktur Utama M. Maksum menawarkan Rp 60 miliar, tapi Graha minta Rp 40 miliar.
17 Februari 2003 Pengganti Maksum, Kuncoro Hedrartonpo, akhirnya menjual saham di Indosan kepada Graha Delta Citra Rp 40,65 miliar. Padahal nilainya ketika itu diperkirakan sudah ratusan miliar, mengingat saat ini harganya sudah di atas Rp 250 miliar.
26 Juni 2005 Mantan karyawan Patal Senayan melaporkan kasus ini kepada Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo