Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Recapital Lempar Handuk

Kreditor Dipasena menyerah, nasib ribuan petambak tak menentu. Jual segera tambak itu sekarang.

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMBAK Dipasena di Lampung sudah lama menjadi masalah. Tepatnya sejak 1999, ketika tambak 16.250 hektare—seperempat luas Jakarta—itu diserahkan Sjamsul Nursalim, pemiliknya, kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membayar utang. BPPN rupanya sangat ”murah hati”. Aset milik bos grup usaha Gadjah Tunggal itu dihargai sangat tinggi, yaitu Rp 20 triliun. Harga spesial itu dikecam Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (saat itu) Kwik Kian Gie, yang menganggap Dipasena tak lebih dari ”kolam air” senilai Rp 2 triliun.

Di tangan BPPN, lembaga yang sama sekali tidak mengerti tambak dan udang, bisa dibayangkan kendali atas operasi Dipasena sangat minim. Dana pengelolaan tambak juga terbatas. Alat dan sarana kerja banyak yang rusak. Yang paling runyam, konflik antara pengurus inti alias induk perusahaan dan hampir 8.000 petani sebagai plasma terus berkecamuk. Nilai Dipasena semakin turun.

Untuk ”menyelamatkan” aset seharga Rp 20 triliun itu, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), yang bekerja setelah BPPN dibubarkan, menawarkan Dipasena kepada beberapa pemodal. Menurut jalan pikiran PPA, Dipasena hanya akan mendapat harga jual yang bagus jika tambak itu beroperasi dengan baik.

Pada September 2005, PPA menerima tawaran PT Recapital Advisors untuk mengelola Dipasena. Alhasil, Recapital diharuskan membiayai program revitalisasi tambak senilai Rp 1,5 triliun dan ongkos operasional sebesar Rp 1,1 triliun. Sebagai imbalan, kalau program revitalisasi berjalan baik dan Rp 1,5 triliun bisa disiapkan, Recapital akan diberi 75 persen saham Dipasena. Ternyata, sampai pekan lalu, ketika tenggat yang ditetapkan PPA terlampaui, Recapital baru menyetor sekitar Rp 820 miliar dan menyatakan tak sanggup melunasi sisanya. Artinya, Recapital sudah melempar handuk.

Patut disayangkan keputusan PPA dalam memilih Re-capital itu. Recapital terbukti tidak bonafide. Artinya, kekuatannya membiayai tambak itu tidak diteliti secara cermat oleh PPA sebelum perjanjian dibuat. Recapital perlu diberi sanksi sesuai dengan perjanjian utama (master of agreement) karena tidak menepati kewajiban.

Setelah ini, pemerintah perlu memikirkan langkah baru. Barangkali lebih baik Tambak Dipasena dijual saja dengan kondisi seperti apa adanya sekarang ketimbang terus menjadi beban. Sebab, seandainya pun perjanjian utama dengan Recapital berhasil, nilai tambak itu hanya sekitar Rp 2 triliun. Angka ini adalah hitung-hitungan kalau benar dana program revitalisasi sebesar Rp 1,5 triliun akan ditukar dengan 75 persen saham Dipasena. Angka itu tentu masih terlalu jauh dibanding Rp 20 triliun yang sudah ”dibayarkan” oleh BPPN kepada Sjamsul Nursalim.

Dengan menjualnya sekarang dan memilih perusahaan yang berpengalaman di bidang tambak dan udang, sangat mungkin operasi tambak itu bisa pulih kembali dan kesejahteraan petani tambak akan meningkat.

Selanjutnya, perlu dikaji untuk mengejar secara hukum pejabat BPPN yang membuat perjanjian (”MSAA”) dengan Sjamsul Nursalim. Kantor pengacara Kartini Muljadi dan Fred Tumbuan, atas pesanan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, antara lain pernah menyimpulkan bahwa sejumlah pasal perjanjian bisa dianggap cacat. Pasal tentang release and discharge (surat bebas tuntutan) juga harus dinyatakan batal demi hukum.

Mereka yang membuat masalah dalam urusan Dipasena harus diusut. Mereka, yang telah membuat negara rugi triliunan rupiah, tak bisa dibiarkan ongkang-ongkang kaki menikmati masa pensiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus