NOKTAH hitam itu tidak bergerak di layar komputer. Kursor diarahkan ke titik itu. Dan klik... muncul informasi lengkap. Noktah tadi ternyata menunjukkan posisi sebuah kapal keruk yang tengah menyedot pasir di laut. Nama dan spesifikasi kapal serta nama penyewanya muncul di layar. Sang operator komputer segera tahu bila pelanggaran batas wilayah operasi terjadi.
Layar monitor PT Surveyor Indonesia di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, itu sedang memantau lokasi kapal pengeruk pasir di perairan Bintan, Riau. Dengan memakai seperangkat komputer yang online 24 jam, para staf lembaga ini bisa memantau setiap gerak dengan akurasi tinggi. Lokasi yang ditunjukkan komputer hanya "meleset" satu meter dari lokasi sesungguhnya. Tapi, agar termonitor, kapal pengeruk harus dilengkapi peralatan pemantau Automatic Vehicle Locater (AVL) yang berbasis geographical information system (GIS). Sinyal dari AVL inilah yang ditangkap oleh Surveyor Indonesia, lalu ditampilkan di layar komputer.
Kalau ada pengawasan yang begitu canggih, mengapa pelanggaran bisa merajalela? Yang menjadi soal, tidak semua kapal pengeruk yang beroperasi dilengkapi dengan AVL. Ketika TEMPO mengunjungi kantor Surveyor Indonesia, suatu siang, dua pekan lalu, hanya satu kapal di seputar perairan Bintan dan Karimun yang tampak di layar komputer. Padahal, dari pengecekan wartawan TEMPO yang lain di lokasi, saat itu terdapat sedikitnya 28 kapal pengeruk pasir yang lalu-lalang di sana. Artinya, ada 27 kapal yang tidak memakai AVL dan tentu saja tak bisa dipantau.
Sejauh ini, kata Judianto Hassan, manajer umum divisi survei dan supervisi lembaga tersebut, memang baru 15 kapal yang memasang AVL. Kapal itu disewa atau milik pengusaha pemegang kuasa penambangan lama yang telah disetujui pemerintah. Sampai Agustus lalu, pemerintah telah mengeluarkan sekitar 300 kuasa penambangan. Ini berarti banyak kapal yang tidak dilengkapi AVL. Padahal, satu perusahaan biasanya mempunyai lebih dari satu kapal.
Dalam urusan itu, Indoguna Yudha Perkasa termasuk yang menjadi sorotan. Perusahaan penyedot pasir ini diduga mengoperasikan tiga buah kapal pengeruk tanpa dilengkapi AVL. Dan sejak 1997 lalu, perusahaan ini dituding sering melakukan pelanggaran. Hanya, sinyalemen ini dibantah oleh Kapitra Ampera, pemilik Indoguna. Kepada TEMPO ia menuturkan, pihaknya sudah lima bulan lalu mengajukan permintaan pemakaian AVL, tapi belum dipenuhi oleh Surveyor Indonesia.
Longgarnya aturan wajib memakai AVL membuat pencurian pasir sering terjadi. Di Batam, beberapa waktu lalu, kapal Queen of the Nederland dipergoki oleh para nelayan melakukan pencurian pasir laut. Sebulan lalu, tepatnya pada Selasa, 25 September, kapal keruk Vasco de Gama juga menjarah pasir di perairan Riau. Ketika ditangkap, kapal itu sudah dipenuhi 34 ribu meter kubik pasir laut. Anehnya, Vasco de Gama akhirnya dilepas dengan alasan memiliki dokumen lengkap.
Yang lebih parah, para pejabat yang seharusnya mengawasi pengerukan pasir juga ikut bermain. Seorang bupati dan wakilnya di sebuah kabupaten di Provinsi Riau, menurut sumber TEMPO, mempunyai perusahaan yang bergerak di bidang pengerukan pasir. Dua pejabat ini mengatasnamakan orang lain sebagai pemilik perusahaan. Selain dua perusahaan tersebut, ada empat perusahaan pengeruk pasir yang muncul di kabupaten tersebut tak lama setelah bupati itu terpilih.
Pasir hasil curian memang menggiurkan, meskipun dihargai lebih murah dibandingkan dengan pasir halal atau yang lewat jalur resmi. Di Singapura, "emas putih" yang haram itu dihargai 1 dolar Singapura per meter kubik. Anggap saja tiap kapal pengeruk berukuran sedang mampu memuat 100 ribu meter kubik dan bisa mengangkut lima kali sehari. Itu berarti diperoleh duit S$ 500 ribu atau sekitar Rp 2,8 miliar (pada kurs Rp 5.600) dari satu kapal saja—bebas dari pajak.
Lain kalau kapal itu beroperasi secara legal dan melaporkan seluruh volume ekspornya. Tiap meter kubik akan dikenai pajak, royalti, dan biaya keagenan sebesar S$ 1,09, dan sekitar S$ 0,3 masuk kas negara. Dari harga pasir resmi, yang rata-rata S$ 1,4 per meter kubik, pengusaha pemegang kuasa penambangan cuma mendapat keuntungan S$ 0,3 (lihat Yang Mengail Laba dari Laut).
Pemerintah Singapura sendiri cenderung tutup mata ter-hadap pembelian pasir ilegal. Saat dihubungi TEMPO, Kedutaan Besar Singapura mengaku tidak tahu-menahu bagaimana bisnis untuk mereklamasi pantai di negaranya dijalankan. Yang pasti, "Para pengusaha bebas menentukan dari mana mereka mendapatkan pasir," jawab Laurence Bay, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Singapura di Jakarta.
Sikap pemerintah Singapura yang menyerahkan bulat-bulat cara mendapatkan pasir kepada kontraktor dan pemilik kapal keruk itu tergolong cerdik. Negeri Goh Chok Tong itu menjauhkan diri dari pertanggungjawaban terhadap setiap ton pasir laut yang dicuri dari Kepulauan Riau. Kalau ada kasus pencurian pasir dibawa ke pengadilan, pemerintah Singapura tidak bakal tersentuh.
Tiada jalan lain, untuk mengurangi pencurian pasir, pengawasan mesti diperketat. Proses pengurusan AVL bagi kapal-kapal pengeruk harus dipermudah dan pemakaiannya benar-benar diwajibkan.
Kalau semua kapal memakai AVL, pengawasan akan lebih mudah. Menurut Budi Saptoaji dari Surveyor Indonesia, stasiun pemantau AVL di Tanjung Balai bisa cepat mengontrol pergerakan kapal. Dan di kantor Dinas Pertambangan Umum dan Energi di Riau, seperti halnya di kantor Surveyor, per-gerakan kapal itu bisa dipantau lewat layar komputer. Kalau ada kejanggalan, lembaga-lembaga ini bisa menghubungi TNI AL atau polisi perairan agar bergerak untuk mengeceknya di lokasi.
Tapi ada juga pengusaha pasir yang menyebut AVL bisa diakali. Soalnya, alat seberat 3 kilogram ini bisa dibongkar dengan gampang cuma dalam 15 menit. Lalu, peralatan AVL tersebut bisa dipindahkan saja ke sekoci kecil dan dibiarkan terapung di lokasi pengerukan yang sah, sementara kapal pengeruk perusahaan itu dengan leluasa bisa menjarah ke lokasi lain yang bukan jatahnya. Dan kecurangan semacam ini sulit diawasi kecuali dengan patroli di lapangan.
Hanya, menurut Budi Saptoaji, kecurangan seperti itu cukup susah dilakukan. Bahkan, kalaupun AVL pada kapal rusak atau dimatikan, pergerakan kapal masih bisa dibaca lewat kotak hitam yang melengkapi AVL. Jadi, kata Budi, sistem pengawasan elektronik Surveyor Indonesia secara teori bekerja tanpa celah. "Hampir tidak ada peluang buat kapal keruk itu memperdaya alat kami," katanya kepada TEMPO.
Selain pengawasan elektronik, yang tak kalah pentingnya adalah pengawasan langsung di lapangan. Tapi, dalam prakteknya, sangat jarang diadakan patroli untuk mencegah atau memergoki pencuri pasir. Dari pengamatan TEMPO selama sepekan di akhir September lalu, tidak tampak satu pun aparat keamanan, staf dinas pertambangan setempat, atau staf Departemen Pertambangan dan Energi yang mengawasinya.
Malah, Mahyudin Lubis, Direktur Pengusahaan Tambang dan Mineral Departemen Pertambangan dan Energi di Jakarta, mengaku belum pernah mendapat laporan soal pengerukan pasir ilegal. "Sebetulnya saya mendengar, tapi tidak ada bukti yang kuat," katanya kepada TEMPO. Dan ia mengakui, pengawasan berkala dari departemennya memang belum dijalankan.
Mungkin menunggu sampai lebih banyak pulau yang lenyap disedot kapal keruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini