Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jual Pasir, Jual Tanah Air

Pasir laut adalah berkah sekaligus tragedi terbesar bagi Kepulauan Riau. Setengah tahun ini saja nilai pasir yang dikirim ke Singapura mencapai sekitar Rp 47 triliun—hampir 19 kali lipat anggaran belanja daerah itu. Padahal, bisnis ini sudah berlangsung sejak pertengahan 1970-an. Sebagai bidang usaha "basah", bisnis pasir melahirkan birokrat korup dan praktek pencurian yang berlangsung dalam skala raksasa. Negara dirugikan Rp 2 triliun per tahun. Untuk pertama kalinya, Indonesia harus merelakan setidaknya lima pulaunya lenyap akibat pasirnya disedot. Ini benar-benar usaha menjual tanah air dengan sistematis.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON itu tegak sendirian di tengah laut. Tanah tempat tumbuhnya tak tampak, terendam air laut. Tak ada pohon lain di "bekas" pulau itu. Tak ada tanda-tanda bekas kehidupan di sana. Padahal, "Dulu, itu pulau tempat kami menyandarkan perahu ketika angin besar menerpa. Kami menamakannya Pulau Karang," kata Ali, seorang nelayan Pulau Moro, Kabupaten Kepulauan Riau. "Pohonnya pun tak cuma satu seperti sekarang," ujarnya. Pulau Karang adalah satu dari lima pulau di Kepulauan Riau yang lenyap akibat penambangan pasir laut besar-besaran sejak pertengahan 1970-an. Dari pemantauan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, belum pernah Republik Indonesia kehilangan pulau akibat kegiatan bisnis pasir dan pencurian massal ini. Dan kegiatan menjual "tanah air" ini masih terus berlangsung dengan suburnya sampai sekarang. Angka-angka pencurian pun membelalakkan mata. Menurut sumber TEMPO di Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Riau, tiap bulan volume pasir yang dicuri dan diekspor secara ilegal sekitar 35 juta meter kubik. Itu berarti 400 juta meter kubik per tahun. Bila pajak ekspor dan royalti yang harus dibayarkan per meter kubik S$ 1 (Rp 5.600), dalam sepuluh tahun saja negara dirugikan lebih dari Rp 20 triliun, atau Rp 2 triliun lebih per tahun. Bilangan kerugian negara itu sedikit saja lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja Provinsi Riau yang Rp 2,5 triliun tahun ini! Pasir itu, baik yang ditambang secara legal maupun "gelap", dikirim ke Singapura untuk proyek reklamasi. Maklum, negara Goh Chok Tong itu miskin lahan, sementara penduduknya bertambah terus. Itu artinya Singapura perlu menguruk pantainya supaya ada tambahan daratan. Kegiatan reklamasi membutuhkan minimal 1,4 juta meter kubik pasir per hari. Dengan harga jual terendah saat ini S$ 1 (Rp 5.600) per meter kubik, itu berarti nilai ekspor barang tambang kelas C ini mencapai lebih dari Rp 8 miliar per hari. Angka ini merupakan perkiraan minimal. Kenyataannya sangat mungkin jauh di atas angka tadi. Seandainya satu kapal punya daya sedot sekitar 100 ribu meter kubik, dan dalam sehari bisa pulang-balik delapan kali dari kawasan penambangan ke tempat penampungan, artinya sudah dikeduk 800 ribu meter kubik. Nilainya Rp 5 miliar. Itu baru satu kapal. TEMPO menyaksikan dalam sehari setidaknya ada lebih dari 20 kapal keruk yang beroperasi di perairan Kepulauan Riau. Sedikitnya dari sana ditambang pasir senilai Rp 100 miliar sehari. Setahun Rp 36,5 triliun! Singapura begitu rakus pasir karena saat ini ada delapan lokasi yang tengah direklamasi—untuk kawasan wisata, lahan pertanian, atau pusat penelitian perikanan. Proyek tersebut tersebar di Pasir Panjang Phase 2, Changi Bay, Western Island, Jurong Islands, North Eastern Islands, Tuas Reclamation, Punggol Reclamation, dan Sentosa Island. Menurut data PT Surveyor Indonesia, potensi kebutuhan pasir laut untuk setiap proyek itu bervariasi, dari 10 juta meter kubik (Sentosa Island) sampai 900 juta meter kubik (Western Island). Perkiraan total kebutuhan pasir untuk semua proyek tersebut mencapai 1,8 miliar meter kubik dan baru akan selesai pada 2010. Jika dalam setahun diasumsikan jumlah pasir yang disedot mencapai 400 juta meter kubik, sampai sekarang sudah lebih dari 8 miliar meter kubik pasir yang pindah ke Singapura. Kalau bibir pantai Jakarta diuruk selebar 1 kilometer dengan ketebalan 10 meter, pasir urukan sebanyak itu bisa dipakai untuk menutup pantai dari Jakarta sampai Surabaya! Dengan kiriman luar biasa besar itu, Negeri Singa bertambah luas. Pada 1991, luas daratan Singapura cuma 633 kilometer persegi. Sepuluh tahun kemudian, luasnya sudah menjadi 760 kilometer persegi, bertambah 20 persen. Itu baru angka kasar. Sumber TEMPO di Kedutaan RI di Singapura memastikan luas daratan Singapura bertambah lebih dari angka itu. Dan penambahan ini berkat pasir kawasan Kabupaten Kepulauan Riau. Riau memang kawasan kaya pasir yang paling dekat dengan Singapura. Deposit di sana hampir tak terbatas. Hasil tambang ini menduduki urutan pertama dalam urutan komoditi yang diekspor oleh Riau. Ekspor pasir laut mencapai 84 persen. Dua persen lainnya adalah pasir darat, sedangkan 14 persen komoditi lain. Kegiatan penambangan dilakukan dengan sangat intens. Saat ini, hampir seluruh lautan yang masuk wilayah enam kabupaten di Riau sudah dikapling-kapling pengusaha. Peta perairan laut Kabupaten Karimun yang dikeluarkan oleh Unit Informasi dan Wilayah Pertambangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, umpamanya, menunjukkan tidak sejengkal pun laut yang bebas dari kepemilikan kuasa penambangan pasir (lihat peta). Ada lebih dari 300 perusahaan yang mengantongi izin, menurut data sampai Agustus 2001. Padahal, menurut data Bea dan Cukai Riau, baru enam perusahaan yang menyetorkan pajak ekspornya. Nilai ekspor dan pajaknya pun sangat tidak seimbang. Pada periode April-Desember 2000, ekspor pasir ini bernilai US$ 14 juta atau Rp 14 triliun, tapi pajak ekspor yang diterima kas pemerintah daerah cuma Rp 18,2 miliar. Pada semester pertama 2001, nilai ekspor pasir melonjak menjadi sekitar Rp 47 triliun, tapi pajaknya cuma Rp 73,4 miliar. Jelas banyak pengusaha yang tidak membayar pajak ekspor. Mereka yang curang mengambil jalan pintas: mencuri (lihat Tak Satu Kapal Pencuri pun Dikenai Sanksi). Menurut guru besar Fakultas Perikanan Universitas Riau, Adnan Kasry, praktek pencurian pasir bisa dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin konsesi untuk eksplorasi tapi belum memiliki izin eksplorasi dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pencurian juga bisa terjadi dengan cara mengambil alih pasir di wilayah konsesi perusahaan lain, seperti yang diceritakan oleh Kapitra Ampera, pengusaha pasir yang juga bos PT Indoguna Yudha Perkasa. Salah satu kapal miliknya pernah tertangkap dalam operasi mendadak Gubernur Riau Saleh Djasit dan aparatnya, April silam. Kapal itu dipersalahkan beroperasi terlalu jauh dari wilayah konsesinya. Kapitra berkilah dengan mengatakan bahwa ia tak tahu batas wilayah konsesi milik perusahaan lain itu. Tak ada pengusaha yang tahu pasti koordinat wilayah konsesi masing-masing. "Gubernur pun pasti tak tahu koordinat. Sebab, di laut tidak ada patok pembatas. Yang tahu paling ya TNI AL," kata Kapitra. Caplok-mencaplok daerah konsesi itu juga diakibatkan oleh kacaunya perizinan. Menurut Kapitra, perusahaannya sudah mengantongi izin yang dikeluarkan oleh Departemen Pertambangan dan Energi Pusat di Jakarta. Sewaktu izin tersebut masih berlaku, Gubernur Riau Saleh Djasit dan para bupatinya mengeluarkan izin baru untuk 300 perusahaan sejak 1 Januari 2001. Akibatnya, ada satu wilayah konsesi yang bertumpuk di wilayah konsesi perusahaan lain. Ini sebuah bom waktu. "Konflik pengusaha dengan pemerintah daerah, pengusaha dengan pengusaha, dan pengusaha dengan rakyat sewaktu-waktu bisa meletus," kata Kapitra. Era otonomi daerah membuat daerah boleh mengeluarkan izin kuasa penambangan. Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Otonomi Daerah adalah sandaran hukumnya. Berdasarkan aturan ini, mulai 1 Januari 2001, izin tak lagi dikeluarkan oleh pusat, tapi oleh provinsi dan kabupaten. Izin eksploitasi pasir pada zona 0-4 mil dari pantai menjadi tanggung jawab bupati, sementara zona 4-12 mil tanggung jawab gubernur. Sedangkan untuk zona di atas 12 mil sampai batas zona ekonomi eksklusif (200 mil), izin tetap di tangan pemerintah pusat. Aturan di atas kertas ini di lapangan ternyata tak mampu mencegah pencaplokan dan pencurian di konsesi milik sebuah perusahaan. Upaya mengurangi pencurian sebetulnya bisa dilakukan dengan memasang alat pemantau, yang lazim disebut automatic vehicle locater (AVL), di setiap kapal pengeruk. Alat yang berfungsi mirip black box di pesawat terbang itu mampu mengetahui waktu pengisian, lokasi kapal keruk, dan volume pasir yang diambil dari dasar laut. Pendeknya, semua aktivitas kapal dapat terpantau. "Alat itu bekerja dengan sistem online 24 jam terus-menerus," kata Agus Hidayat, Manajer Umum PT Surveyor Indonesia. Sayang, belum semua kapal dipasangi AVL. Dari sekitar 28 kapal keruk yang sehari-hari beroperasi di perairan Tanjung Balai Karimun, Batam, dan sekitarnya, baru sekitar 20 kapal yang dilengkapi alat seharga Rp 75 juta itu. Menurut Agus, perusahaannya tidak bisa memaksa agen atau pemilik kapal memasang alat tersebut karena hal itu menjadi wewenang pemerintah. "Kami hanya tukang pasang. Bila ada perintah, baru kami pasang," kata Agus. Selain itu, kata Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Karimun, Rina Dwi Lestari, keefektifan pemakaian alat monitor kapal keruk pasir laut itu dalam mencegah pencurian pasir masih disangsikan. Alasannya, AVL mudah saja dipindah-pindahkan dari satu kapal ke kapal lain. Ia mencontohkan, bila AVL dipindahkan ke satu perahu kecil yang sengaja diperintahkan agar diam di tempat, tim pemantau di PT Surveyor Indonesia Batam akan menganggap kapal pengeruk masih di posisi semula. Padahal, sesungguhnya kapal itu telah pindah lokasi dan beberapa kali mengangkut pasir ke Singapura. "Siapa yang mengawasi alat ter-sebut dan siapa pula yang mencatat jumlah volume, trip, dan waktu bongkar-muat pasir laut itu?" tanya Rina. Sulitnya pengawasan membuat pencurian jalan terus. Dan ini bukan lagi soal kriminal atau korupsi, tapi juga urusan harga diri. "Kedaulatan negara juga menjadi taruhan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri. Maksudnya, aksi ini sudah mengakibatkan sepenggal tanah air kita seperti "disetorkan" untuk menambah luas wilayah negeri tetangga. Dalam konvensi hukum laut disebutkan bahwa batas wilayah laut dihitung berdasarkan coastal base line atau titik-titik terluar dari suatu wilayah. Bila pasir terus diekspor dan daratan Singapura bertambah, otomatis batas teritorialnya pun meluas. Ini bisa menjadi masalah. "Singapura bisa saja mengklaim pulau yang semula milik kita sebagai miliknya. Kalau itu terjadi, Selat Malaka yang masuk wilayah kita akan semakin sempit," ujar Rokhmin. Dampak lingkungan pengerukan pasir itu juga tak kalah hebat. Pantai-pantai di kawasan Pulau Kondur dan Moro mengalami abrasi air laut dua tahun terakhir ini. Akibatnya, pantai tergerus sepanjang 35 meter, dihitung dari bibir pantai ke daratan. Banyak pohon kelapa yang tumbang, seperti yang terjadi di Pulau Parit, Kampung Tanjungsialang, dan Pantai Lubukpuding, di dekat Pulau Karimun Besar, ibu kota Tanjung Balai Karimun. Kalau terus dibiarkan, permukiman nelayan di pinggir pantai terancam banjir. Abdul Kadir, seorang nelayan yang tinggal di Pulau Parit, bercerita bahwa air laut yang pasang bisa menggenangi pekarangan rumahnya sampai setinggi 30 sentimeter. Sayang, belum ada satu pun lembaga yang melakukan audit lingkungan untuk menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tak jelas juga berapa yang harus dibayarkan untuk ongkos penyelamatannya. Idealnya, di setiap pulau yang tergerus abrasi itu dipasangi pemecah ombak. Tapi siapa yang sanggup membayar harga pembangunan pemecah ombak yang sekitar Rp 150 miliar per kilometer itu? Para pejabat, pengusaha, dan juga mereka yang menampung hasil ekspor itu mungkin lebih tertarik memikirkan keuntungan ketimbang ongkos penyelamatan lingkungan. Di pelabuhan Karimun, kini, sudah tidak ada lagi ikan-ikan kecil berenang-renang, memakan plankton yang banyak tumbuh di sekitar tiang-tiang panjang pelabuhan. "Mereka telah mengambil semuanya. Tidak ada besi, pasir pun jadi," kata Zaenudin, seorang nelayan yang biasa mangkal di samping hotel Karimun. Telunjuknya menuding sesosok kapal tunda yang berlayar menyeret tongkang penuh pasir menuju utara: ke Singapura. Nelayan itu—seperti kita semua—pasti tak tahu kapan bisnis menjual "tanah air" ini akan berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus