Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tak Satu Kapal Pencuri Pun Dikenai Sanksi

Dalam bulan Agustus-September, 4 kapal pencuri pasir ditangkap TNI AL dan nelayan di perairan Riau. Namun, tak satu pun sampai ke meja hijau.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENEGAKAN hukum yang mandul, pengawasan yang lemah, dan perizinan antarinstansi yang tidak terkoordinasi adalah hal yang membuat pencurian pasir merajalela. Berkali-kali kapal pencuri ditangkap, tapi belum ada satu pun yang dibawa ke pengadilan—kecuali perkara awak kapal keruk pasir MV Amsterdam Zeist, pada awal 2001. Mengadili pencuri gede di negeri ini memang tak mudah. Ambil contoh tindak pencurian pasir oleh Khersones 170. Kapal pengeruk pasir berasal dari Odessa, pelabuhan kecil di Ukraina Selatan ini, pada Jumat malam, 11 September lalu, dipergoki oleh kapal perang KRI Silia milik TNI Angkatan Laut, ketika sedang mengeduk pasir di dekat Pulau Rangsang, Karimun, Kepulauan Riau. Sambil bergerak perlahan-lahan, corong-corong penyedot berdiameter lebih dari satu meter mengisap pasir dengan rakusnya di dasar laut, sampai perut kapal itu "kenyang" oleh pasir. KRI Silia pun mendekat. Sesudah memastikan bahwa Khersones tidak termasuk dalam daftar kapal yang beroperasi di perairan Karimun, kendaraan laut dari negeri bekas anggota blok Soviet itu pun dicokok. Khersones kemudian ditarik ke Pulau Pandan, dan ditahan oleh TNI AL. Terbuktikah Khersones mencuri? Belum. Walaupun kapal ini disinyalir sering mengeruk pasir pada malam hari di perairan Indonesia dan menjualnya ke Singapura, belum tentu ia bisa dituding mencuri. Setelah tiga hari menjalani pemeriksaan, Khersones dinyatakan memiliki dokumen yang lengkap dan sah. Ia pun dilepas dan dapat kembali beroperasi. Lo, kok? Ternyata, Khersones sudah terdaftar di Kantor Wilayah Bea Cukai II Tanjung Balai Karimun. Menurut Kepala Bea Cukai Sofyan Permana, "Khersones terdaftar dan sudah memiliki surat pendaftaran ekspor barang. Ini berarti sudah membayar pajak ekspor." Jika saja kapal tersebut terbukti mencuri, nakhodanya terancam pidana kurungan dan denda Rp 5 miliar. Hanya berselang 11 hari setelah pelepasan Khersones, kapal Vasco da Gama terjerat pula dengan alasan yang sama. Kali ini, yang mencokoknya bukan kapal perang, tapi para nelayan di sekitar perairan Pulau Bintan sendiri. Sama dengan kapal sebelumnya, Vasco juga ditengarai tidak memiliki surat pemberitahuan daftar kapal, yang menjadi keharusan. Dalam masalah perizinan menangguk pasir, menurut Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Kepuluan Riau, Ir. Karya Hermawan, "Vasco da Gama sampai saat ini belum ada izin penambangan di perairan Bintan." Jika tidak ada izin penambangan, pastilah sudah bahwa kapal itu secara ilegal mengeruk pasir. Sebagai barang bukti, di dalam kapal dipergoki 34 ribu meter kubik pasir laut. Jadi, Vasco tinggal diseret ke pengadilan. Ternyata, tidak juga. Dengan teknik patgulipat di antara aparat keamanan, kapal berbendara Belanda itu pun dilepas bebas. Saat ditelikung, Vasco membawa-bawa nama PT Nalendra Bhakti Persada, dan mengaku beroperasi dengan kuasa penambangan dari PT Sumber Sarana Bintan Jaya (SSBJ). Dua perusahaan tersebut merupakan "kloning" dari pemain lama bisnis pasir laut, PT Equator Reka Citra, milik pengusaha asal Bandung, Jhony Rosadi. Jhony sendiri tidak bisa dikonfirmasi tentang hal itu karena sedang umroh ke Tanah Suci. Sedangkan petinggi Equator yang lain, Imam Suyadi, sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Ida, sekretaris Jhony, tidak mau mengungkap keberadaan Imam. "Beliau ada di Singapura," katanya. Cerita kapal yang ditangkap lalu dilepas itu juga terjadi di perairan Batam, pada Agustus lalu. Dua kapal berbendera Belanda, Queen of the Nederland dan Geopotek, ditangkap di perairan Nongsa, Batam, oleh para nelayan. Kapal-kapal itu bekerja berdasarkan kuasa penambangan dari PT SSBJ. Para nelayan menangkapnya karena dianggap mencemari lahan pencarian ikan mereka. Selain mencemari laut, Queen dan Geopotek disinyalir tidak memiliki izin penambangan pasir di perairan Nongsa, Batam, menurut Zulkarnaen. "Izin yang dimiliki dua kapal itu untuk menambang di perairan Karimun, bukan di Batam," kata pengurus Rukun Nelayan Batuampar, Batam itu. Tudingan bahwa kedua kapal tidak memiliki izin penambangan dibantah oleh pihak SSBJ lewat salah seorang stafnya, Soni. "Kegiatan penambangan kami sesuai dengan izin yang dikantongi," katanya tanpa memerinci. Memang banyak kelemahan peraturan penambangan yang dapat disiasati para pencoleng pasir. Kelemahan itu, misalnya, ada pada Bea Cukai, yang mengumpulkan pajak ekspor. Bea Cukai percaya mentah-mentah pada laporan perusahaan pemilik kuasa penambangan. Apalagi, laporan yang disampaikan berkala sebulan sekali membuka celah bagi pengusaha untuk memperkecil jumlah pajak ekspor yang harus disetor ke negara. Untuk urusan ini, Sofyan membantah pihaknya bisa dikadalin. Menurut dia, sebelum masuk, kapal sudah dilaporkan lebih dahulu kepada Dinas Perhubungan Laut. "Daya angkut kapal sudah dihitung. Ini seperti uji kendaraan bermotor atau kir pada mobil," katanya. Namun, sumber di bidang pengawasan mengatakan bahwa cara konvensional dengan menempatkan orang di atas kapal saja masih tetap bisa disiasati, apalagi jika hanya menunggu laporan. Dalam prakteknya, Bea Cukai kesulitan melakukan tugasnya. Hal ini diakui sendiri oleh Sofyan. Salah satunya karena sudah sebulan mereka tidak dapat beroperasi karena Bea Cukai kehabisan anggaran untuk membeli solar. "Kami sudah terlalu banyak utang ke Pertamina," katanya. Jadinya, runyam. Ironis, memang, mengingat ekspor pasir adalah bisnis bernilai triliunan rupiah—yang terbukti mengundang banyak kepentingan tingkat tinggi bermain di sini. Pada masa Orde Baru, para pemain pasir laut hanyalah mereka yang dekat, atau mendekatkan diri, dengan kekuasaan pusat di Jakarta. Sebut saja Mandala Enterprises milik Hutomo (Tommy) Mandala Putra, Bob Hasan, dan Sigit Hardjojudanto, yang memanfaatkan kekuasaan Suharto, yang ayah Tommy dan Sigit. Posisi itu kini bisa diganti, pada porsi tertentu, oleh bupati. Selain keluarga Soeharto, famili Habibie juga menjadi pemain besar di bisnis ini, lewat dua adik kandung sang mantan presiden, Sri Rahayu Habibie dan J.E. Habibie. Anak Habibie, Thareq Kemal, juga berkiprah di bawah bendera PT Barelang Sugi Bulan. Yang bukan berasal dari keluarga Presiden, seperti Jhony Rosadi dengan PT Equator Reka Citra, mendekati bekas Gubernur Riau Soeripto. Demikian pula Gunawan Makmur dari PT Indoguna Yudha Perkasa, yang menggaet langsung anak gubernur, Bambang Ari Priambodo. Pernah ikut pula berkiprah putra-putri mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara T.B. Silalahi, Wesli dan Paul Bana. Pada masa Orde Baru, Badan Otorita Batam, yang dikuasai keluarga Habibie, memetik sejumlah fee untuk setiap kegiatan ekspor pasir. Maka, ketika Indoguna bersitegang dengan Otorita, Gunawan Makmur pun menggandeng keluarga Soeharto lewat menantunya, Elsye Ratnawati Hardjojudanto alias Elsye Sigit. Namun, setelah reformasi, "cantelan" mereka ke pusat-pusat kekuasaan mulai bertanggalan—dan Gunawan memutus kongsi dengan anak-anak Soeripto dan T.B. Silalahi. Apalagi setelah Soeripto lengser dari kursi gubernur—dan diseret ke pengadilan atas tuduhan penggelapan dana reklamasi penambangan pasir darat sebesar Rp 13 miliar. Ia menang dalam putusan sela di Pengadilan Negeri Pakanbaru. Namun, jaksa masih memiliki kesempatan menjerat mantan Panglima Komandan Cadangan Strategis itu setelah memperbaiki dakwaan. Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Zaenal Arifin Rifaldin, dalam waktu dekat berkas perkara Soeripto sudah bisa diperbaiki dan diserahkan ke pengadilan. Dari sekian pelanggaran hukum atas penambangan pasir laut, memang baru kasus MV Amsterdam Zeist yang sampai ke pengadilan. Namun, yang satu-satunya ini pun sarat "permainan" antar-aparat hukum. Kapal sewaan PT Barelang Sugi Bulan milik Thareq Habibie itu jelas-melas kedapatan mencuri pasir di perairan Jodoh Bay, Batam, dan ditangkap oleh KRI Srikuda, lalu digeret ke Pelabuhan Batuampar. Kemudian oleh Kejaksaan Negeri Batam, dengan alasan untuk mempersulit kemungkinan melarikan diri, kapal itu ditahan di Tandjunguncan, Batam, di bawah penjagaan TNI AL. Berikutnya, giliran hakim mengabulkan permintaan perbaikan kapal Amsterdam itu ke Singapura—yang ditentang oleh jaksa. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Batam Sulatra itu lalu melakukan perlawanan atas keputusan hakim Pengadilan Negeri Batam, dengan mengajukan kasasi. Pada saat kasasi berjalan, kapal tersebut raib. Lantas, mulailah pihak aparat saling menuding. TNI AL menyalahkan kejaksaan, sedangkan kejaksaan menuding TNI AL. "Mana bisa kapal diparkir di depan kantor kejaksaan," kata Sulatra. Sekarang, di era otonomi, para bupati dan gubernurlah yang mengoordinasi pengawasan panambangan pasir laut. Namun, bagaimana bupati dan gubernur bisa adil sebagai wasit jika mereka juga ikut terlibat—langsung atau tak langsung—dalam bisnis menggiurkan ini? Misalnya, Bupati Karimun, Muhammad Sani, menurut sumber-sumber TEMPO, memiliki kuasa penambangan lewat perusahaan PT Karimun Lautan Sakti. Sedangkan wakilnya, Nurdin Basirun, ikut berbisnis di bawah bendera PT Widi Agung. Apalagi, dengan peraturan daerah yang baru, yang berhak menyidik pelanggaran hukum pada usaha pengerukan pasir adalah polisi—dan pegawai pemda, yang nota bene bawahan bupati. Dalam keadaan demikian, bagaimana penegakan hukum bisa berjalan? Padahal, hanya mengandalkan polisi tentu saja tidak cukup! Buktinya, belum pernah ada pencuri pasir laut yang ditangkap aparat kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus