HARIAN Rakyat Peking edisi 6 Pebruari yang lalu terbit dengan
serangan hebat terhadap mereka yang "mengikuti garis kapitalis
burjuis". Ketika itu di Peking sedang berlangsung sidang penting
pemimpin-pemimpin RRT untuk menentukan pengganti sementara
almarhum Chou En-lai yang wafat 8 Januari bulan silam. Meski
tidak menyebutkan satu nama pun dari tokoh tokoh Cina yang
dituduh "mengikuti garis Liau dan Lin Piao", para pengamat Cina
di Peking maupun Hongkong toh dengan segan mencium terjadinya
sesuatu yang penting. Keesokan harinya, koran yang sama muncul
dengan berita mengejutkan: Hua Kuo-Feng yang menjadi pejabat
sementara jabatan yang ditinggalkan Chou
Dalam berita yang sama secara terang-terangan disebutkan bahwa
penunjukan Wakil Perdana Menteri Vl dan Menteri Keamanan Cina
itu sebagai pejabat perdana menteri adalah atas petunjuk pribadi
Mao Tse-tung. Turun tangannya Mao dan tersisihnya Teng Hsio-Ping
itulah yang menjadi sumber spekulasi mengenai terjadinya
pergolakan politik di sana. Maka berbagai analisa dari para
pengamat Cina pun bermunculan.
Analisa pertama: terjadi pergolakan antara kaum radikal pimpinan
nyonya Mao, Ciang Cin, dengan kaum pragmatis yang kini praktis
dipimpin oleh Teng. Dan Mao memilih jalan tengah, dengan
menunjuk Hua yang tidak bisa digolongkan radikal atau pun
moderat.
Analisa kedua: Adalah Teng sendiri yang rela memberikan
kedudukan yang harusnya menjadi bagiannya. Soalnya lantaran ia
sudah terlalu tua (71 tahun) sedang Hua baru berkisar antara 56
ke 60 tahun.
Analisa ketiga: Mao sejak lama memang tidak senang pada Teng.
Cuma karena tidak ada pilihan lain, dan karena penunjukan Chou,
maka Teng yang pernah disingkirkan dalam Revolusi Kebudayaan
itu akhirnya diterima juga oleh Mao. Ketika Chou telah tiada,
Mao main kembali: menyingkirkan musuh-musuh lamanya. Menurut
catatan yang ada, permusuhan antara Mao dan Teng bermula di
tahun 1953. Bersama Liau Shao-chi, Teng waktu itu melakukan
perubahan konstitusi Cina dengan meninggalkan sama sekali
fikiran-fikiran Mao. Dan orang tua ini amatlah marahnya. Di
tahun 1958, Liau menggantikan Mao sebagai kepala negara, dan
mengangkat Teng sebagai pembantu pentingnya. Dari saat itu
hingga tahun 1965. Teng dikabarkan sangat menyepelekan Mao
sebagai pemimpin partai. Menurut Edgar Snow, Mao pernah berkata:
"Dalam rapat Teng selalu duduk menjauhi saya, padahal dia itu
tuli". Karena itulah maka Mao merestui suatu Revolusi
Kebudayaan, yang bukan saja menyingkirkan Liau, tapi juga Teng:
Di awal Revolusi Kebudayaan pimpinan nyonya Moyang radikal itu,
Teng mengalami penghinaan yang begitu hebat hingga ia pernah
dikabarkan mencoba untuk bunuh diri.
Analisa keempat (masih berhubungan erat dengan analisa
ketiga): Mao yang telah berpengalaman pahit dengan calon
penggantinya -- pengkhianatan Liau Shao-chi dan Lin Piao -- kini
tidak sudi terperosok kembali pada lubang sama. Teng yang sejak
mengalami rehabilitasi di tahun 1973 nampaknya memang yakin akan
dirinya, sebagai calon pengganti Chou -- untuk kemudian Mao.
Keyakinan ini nampak sekali pada tindakan-tindakan politik Teng
makin lama makin menjengkelkan orang-orang radikal yang
bermarkas di Syanghai. Adalah Teng yang dengan berani berbicara
mengenai perlunya tentara professionil di atas tentara yang
indoktriner. Tanda-tanda keberanian ini amat mengingatkan Mao
pada Liau dan in. Maka sebelum terlambat, cari saja orang yang
kurang populer, yang karena dikatrol, diharapkan agak tahu diri
untuk tidak bertingkah macam-macam.
Tentu saja sulit menunjukkan mana di antara analisa-analisa itu
yang lebih mendekati kebenaran. Tapi Kamis pekan lalu
poster-poster muncul di Universitas Peking. Isinya menyerang
"pengambil jalan kapitalis". Nama Teng tak disebut-sebut, tapi
kata-katanya dikutip (untuk diganyang): "Saya tak peduli apakah
seekor kucing hitam atau putih, pokoknya menangkap tikus". Tak
pelak lagi, Teng lagi dipojokkan. Tapi masih harus ditunggu
sidang Kongres Nasional Cina (semacam parlemen) yang bakal
menntukan pengganti permanen bagi jabatan yang ditinggalkan
Chou. Sebelum sidang penting itu, bisa saja terjadi banyak hal
yang juga mengejutkan, sebagai yang terjadi dengan pengangkatan
mendadak Hua itu. Tokoh kelahiran Hunan (juga tempat kelahiran
Mao) ini mengejutkan bukan saja lantaran catatan tentang dirinya
hampir tidak ada pada para pengamat Cina ("Dia hampir tidak
pernah berhubungan dengan Barat"), tapi juga karena keahliannya
terutama di bidang pertanian. Pengangkatannya sebagai wakil
perdana menteri sekaligus menteri keamanan nasional (dengan
tugas mata-mata terhadap politisi dan militer) tahun silam,
barangkali saja merupakan bagian dari strategi penting Mao yang
juga berterima kasih pada Hua lantaran ikut membongkar rahasia
makar Lin Piao di tahun 1971. Kini, meskipun Teng Hsio Peng --
sebagai pemimpin Angkatan Bersenjata Cina -- berniat menggunakan
kekuasaannya, Hua sudah pasti tidak akan kecolongan. Anak buah
Hua kabarnya tersebar di hampir seluruh tubuh pasukan bersenjata
Cina itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini