ADIL dan makmur. Adil dulu atau makmur dulu? Masalah besar
pembangunan ini nampaknya masih tetap jadi perhatian Majalah
ilmiah lndonesia yang terkemuka di bidang ekonomi dan sosial,
Prisma, dalam nomor bulan ini sebagai thema utamanya
menampilkan soal "perataan pendapatan masyarakat". Dalam rubrik
baru yang disebut "Dialog jurnal yang kini memasuki tahun ke-V
sebagai bulanan itu mewawancarai beberapa tokoh tentang masalah
tersebut.
Di bawah ini adalah kutipan dari wawancara itu. Khususnya yang
bekisar pada masalah haruskah "ku pembangunan" dibikin besar
dulu untuk kemudian dibagi atau dibagi rata dulu, biarpun
kecil. Dengan kata lain apakah Indonesia harus makmur dulu baru
kemudian adil, atau adil dulu untuk kemudian sama-sama makmur.
Di antara mereka yang mebgemukakan pendapatnya adalah Dr. Moh
Hatta, proklamator, T.B. Simatupang, bekas Kepala Staf Angkatan
Perang yang kini giat di kalangan Gereja Kristen, dan Dr. Ibnu
Sutowo, Direktur Utama Pertamina. Sayang suara dari kalangan
perencana ekonomi di Bappenas tak berhasil diperoleh. Redaksi
Prisma rupa-rupanya sia-sia menanti suara itu sampai batas waktu
terbit
BUNG HATTA: "Bagi Kue Dulu, Biarpun Kecil"
"Saya sebenarnya kurang percaya kepada perhitungan GNP,
pendapatan per kapita dan semacamnya. Sebab hitungan itu tidak
cocok dengan kenyataan. Ambillah misalnya tiga orang. Yang
pertama berpendapatan satu juta setahun. Yang kedua tigaratus
ribu. Yang ketiga duaratus ribu. Apa dalam kenyataan bisa
dikatakan pendapatan mereka masing-masing setengah juta ? Dan
tidak. Jadi perhitungan ini tidak tepat sebenarnya. Perhitungan
ini tepat, kalau pendapatan orang sudah merata. Kalau
disparitas pendapatan besar, maka perhitungan per kapita hanya
menyesatkan saja".
"Satu contoh lagi. Pada tahun 1972, Gubernur Bank Dunia Robert
S Mc Namara mengeluarkan suatu brosur tentang pembangunan di
Brazilia, Meksiko dan India. Dari penelitiian di ketiga negara
itu ternyata bahwa perhitungan per kapita dan GNP tidak sesuai
dengan kenyataan. Yang terjadi selama pembangunan negara-negara
tersebut adalah bahwa pendapatan golongan atas terus saja
bertambah. Sedang pendapatan golongan miskin justru semakin
berkurang....".
".... dari contoh-contoh di Brazilia. Meksiko dan India ternyata
hanya sebagian kecil penduduk yang memperoleh bagian kue yang
terus menerus membesar. Sedang mayoritas penduduk selebihnya
justru memperoleh bagian kue yang makin lama makin kecil. Jadi
mulai saja dengan membagi kuenya lebih dulu, biarpun kecil. Ini
tidak berarti membagi kemiskinan sebab pada akhirnya semua kue
itu toh akan membesar juga berkat pembangunan dan kemajuan
ekonomi".
IBNU SUTOWO: "ltu Suatu Utopia"
"Perataan pendapatan masyarakat sebagai suatu sasaran, menurut
hemat saya hanyalah suatu utopi. Suatu angan-angan yang sulit
dicapai. Sebab dalam kenyataannya angan-angan itu tidak dapat
dilaksanakan Dalam sistem apapun yang ada di dunia ini "perataan
pendapatan" secara praktis tak pernah terlaksana. Secara
realistis yang bisa dan harus diusahakan adalah meratakan
manfaat dari suatu potensi yang ada dalam masyarakat"
"Kalau masalahnya mau kita tinja dari segi makro ekonomi, maka
yang pertama harus diusahakan adalah menciptakan "big
aggregate" Artinya, kita harus mengerahkan semua sumber,
kemampuan dan kekuatan kita untuk menghasilkan "maximum
output" buat negara. Untuk menghasilkan "kue nasional yang lebih
besar ini, sebetulnya tak perlu ada kesulitan bagi Indonesia.
Karena semua kondisi dan persyaratan untuk itu cukup
menguntungkan (favourable) buat kita.
"Kalau segi pembagian atau aspek keadilan dari "kue" yang
dihasilkan itu, saya kira tak perlu terlampau dikhawatirkan.
Sebab saya punya keyakinan bahwa rasa keadilan orang Indonesia
itu cukup besar, sudah "built in" dalam jiwa dan pandangan
hidupnya sehari-hari.Umumnya kalau orang Indonesia makin kaya,
makin banyak pula perbuatan sosialnya".
T.B. SIMATUPANG: "Apa Mereka Mau Berbagi?"
"Sebenarnya sejak mengakhiri perjuangan politik melawan Belanda
dulu, kita sudah berketetapan hati untuk membangun sistem
ekonomi kita sendiri. Berdasarkan azas keadilan, azas
kekeluargaan serta gotong-royong yang adil dalam kebudayaan kita
sendiri.... Tetapi yang pasti, kita sendiri pada saat itu
kurang konsekwen. Di satu fihak, kita mempergunakan slogan
sosialisme tetapi di lain fihak dalam kenyataannya kepemimpinan
kita mulai hidup dengan gaya feodal baru".
".... dewasa ini perhatian terhadap masalah-masalah sosial
politik sangat kurang. Semuanya ini dilandasi harapan, bahwa
paling sedikit jika tahap pertama rehabilitasi ekonomi berhasil
kita lampaui maka nantinya dapat dilaksanakan pembangunan jangka
panjang yang mampu membawa kita kepada pelaksanaan cita-cita
keadilan. Pendeknya, strateginya adalah bikin kue dulu, bagi
belakangan. Tapi soalnya mereka yang sudah terlanjur memegang
kue nantinya apa mau berbagi. Apalagi kalau kue itu sudah makin
besar. Mungkin bisa pajak progresif. Tetapi kalau kebetulan
yang menetapkan pajak adalah juga pemegang kue, bagaimana
jadinya?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini