Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bung Hatta, Ibnu Dan Kue

Wawancara "dialog" dengan Moh Hatta, Ibnu Sutowo & TB Simatupang mengenai haruskah "kue pembangunan" dibikin besar dulu untuk dibagi rata. Suara perencana ekonomi di bappenas sulit didapat. (nas)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADIL dan makmur. Adil dulu atau makmur dulu? Masalah besar pembangunan ini nampaknya masih tetap jadi perhatian Majalah ilmiah lndonesia yang terkemuka di bidang ekonomi dan sosial, Prisma, dalam nomor bulan ini sebagai thema utamanya menampilkan soal "perataan pendapatan masyarakat". Dalam rubrik baru yang disebut "Dialog jurnal yang kini memasuki tahun ke-V sebagai bulanan itu mewawancarai beberapa tokoh tentang masalah tersebut. Di bawah ini adalah kutipan dari wawancara itu. Khususnya yang bekisar pada masalah haruskah "ku pembangunan" dibikin besar dulu untuk kemudian dibagi atau dibagi rata dulu, biarpun kecil. Dengan kata lain apakah Indonesia harus makmur dulu baru kemudian adil, atau adil dulu untuk kemudian sama-sama makmur. Di antara mereka yang mebgemukakan pendapatnya adalah Dr. Moh Hatta, proklamator, T.B. Simatupang, bekas Kepala Staf Angkatan Perang yang kini giat di kalangan Gereja Kristen, dan Dr. Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina. Sayang suara dari kalangan perencana ekonomi di Bappenas tak berhasil diperoleh. Redaksi Prisma rupa-rupanya sia-sia menanti suara itu sampai batas waktu terbit BUNG HATTA: "Bagi Kue Dulu, Biarpun Kecil" "Saya sebenarnya kurang percaya kepada perhitungan GNP, pendapatan per kapita dan semacamnya. Sebab hitungan itu tidak cocok dengan kenyataan. Ambillah misalnya tiga orang. Yang pertama berpendapatan satu juta setahun. Yang kedua tigaratus ribu. Yang ketiga duaratus ribu. Apa dalam kenyataan bisa dikatakan pendapatan mereka masing-masing setengah juta ? Dan tidak. Jadi perhitungan ini tidak tepat sebenarnya. Perhitungan ini tepat, kalau pendapatan orang sudah merata. Kalau disparitas pendapatan besar, maka perhitungan per kapita hanya menyesatkan saja". "Satu contoh lagi. Pada tahun 1972, Gubernur Bank Dunia Robert S Mc Namara mengeluarkan suatu brosur tentang pembangunan di Brazilia, Meksiko dan India. Dari penelitiian di ketiga negara itu ternyata bahwa perhitungan per kapita dan GNP tidak sesuai dengan kenyataan. Yang terjadi selama pembangunan negara-negara tersebut adalah bahwa pendapatan golongan atas terus saja bertambah. Sedang pendapatan golongan miskin justru semakin berkurang....". ".... dari contoh-contoh di Brazilia. Meksiko dan India ternyata hanya sebagian kecil penduduk yang memperoleh bagian kue yang terus menerus membesar. Sedang mayoritas penduduk selebihnya justru memperoleh bagian kue yang makin lama makin kecil. Jadi mulai saja dengan membagi kuenya lebih dulu, biarpun kecil. Ini tidak berarti membagi kemiskinan sebab pada akhirnya semua kue itu toh akan membesar juga berkat pembangunan dan kemajuan ekonomi". IBNU SUTOWO: "ltu Suatu Utopia" "Perataan pendapatan masyarakat sebagai suatu sasaran, menurut hemat saya hanyalah suatu utopi. Suatu angan-angan yang sulit dicapai. Sebab dalam kenyataannya angan-angan itu tidak dapat dilaksanakan Dalam sistem apapun yang ada di dunia ini "perataan pendapatan" secara praktis tak pernah terlaksana. Secara realistis yang bisa dan harus diusahakan adalah meratakan manfaat dari suatu potensi yang ada dalam masyarakat" "Kalau masalahnya mau kita tinja dari segi makro ekonomi, maka yang pertama harus diusahakan adalah menciptakan "big aggregate" Artinya, kita harus mengerahkan semua sumber, kemampuan dan kekuatan kita untuk menghasilkan "maximum output" buat negara. Untuk menghasilkan "kue nasional yang lebih besar ini, sebetulnya tak perlu ada kesulitan bagi Indonesia. Karena semua kondisi dan persyaratan untuk itu cukup menguntungkan (favourable) buat kita. "Kalau segi pembagian atau aspek keadilan dari "kue" yang dihasilkan itu, saya kira tak perlu terlampau dikhawatirkan. Sebab saya punya keyakinan bahwa rasa keadilan orang Indonesia itu cukup besar, sudah "built in" dalam jiwa dan pandangan hidupnya sehari-hari.Umumnya kalau orang Indonesia makin kaya, makin banyak pula perbuatan sosialnya". T.B. SIMATUPANG: "Apa Mereka Mau Berbagi?" "Sebenarnya sejak mengakhiri perjuangan politik melawan Belanda dulu, kita sudah berketetapan hati untuk membangun sistem ekonomi kita sendiri. Berdasarkan azas keadilan, azas kekeluargaan serta gotong-royong yang adil dalam kebudayaan kita sendiri.... Tetapi yang pasti, kita sendiri pada saat itu kurang konsekwen. Di satu fihak, kita mempergunakan slogan sosialisme tetapi di lain fihak dalam kenyataannya kepemimpinan kita mulai hidup dengan gaya feodal baru". ".... dewasa ini perhatian terhadap masalah-masalah sosial politik sangat kurang. Semuanya ini dilandasi harapan, bahwa paling sedikit jika tahap pertama rehabilitasi ekonomi berhasil kita lampaui maka nantinya dapat dilaksanakan pembangunan jangka panjang yang mampu membawa kita kepada pelaksanaan cita-cita keadilan. Pendeknya, strateginya adalah bikin kue dulu, bagi belakangan. Tapi soalnya mereka yang sudah terlanjur memegang kue nantinya apa mau berbagi. Apalagi kalau kue itu sudah makin besar. Mungkin bisa pajak progresif. Tetapi kalau kebetulan yang menetapkan pajak adalah juga pemegang kue, bagaimana jadinya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus