Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. "Saya lari ke atas," kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. "Anak buah saya berkumpul di lantai tiga."
Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semarang, Parung, Ciputat, dan Pamulang.
Wafat pada akhir 2008, Baharudin meninggalkan banyak warisan buat keluarganya, antara lain aset delapan koperasi berbadan hukum, yang cabangnya tersebar di sejumlah kota. Pengadilan Agama Jakarta Timur pun menetapkan istri dan empat anak Baharudin sebagai ahli waris. Konflik keluarga berawal ketika Masthahari, adik Baharudin, menuntut hak waris.
Masthahari menyewa jasa pengamanan dari Umar Kei, 33 tahun, pemuda dari Kei, Maluku. Tak mau kalah, Burhanuddin meminta pengawalan Alfredo Monteiro dan Logo Vallenberg dari kelompok Timor. Di lapangan, merekalah yang berhadapan.
Serangan itu datang pagi-pagi. Lima orang datang ke kantor Koperasi Bosar Jaya. "Kami dari Koperasi Mekar Jaya ingin mengambil alih kantor," kata Jamal, seorang penyerang. Tak lama kemudian datang Umar Kei, yang meminta Logo dan kelompoknya meninggalkan kantor. Ditolak, Umar memanggil anak buahnya yang datang dengan enam mobil. Menurut Logo, mereka bersenjata golok dan pedang samurai. Umar memerintahkan anak buahnya menyerang.
Para penyerang menyabet Logo. "Anak buah saya tak bersenjata," kata Logo. Bentrokan tak berlanjut karena petugas kompleks pertokoan itu telah datang. Belakangan Logo tahu, Umar bekerja dengan bendera Lembaga Bantuan Hukum Laskar Merah Putih. "Mereka mengatasnamakan koperasi simpan-pinjam Mekar Jaya," katanya.
Kepada Tempo, Umar mengatakan, dia datang untuk mengajak berunding. Ia meminta Logo dan teman-temannya meninggalkan kantor karena sengketa keluarga itu ditangani pengadilan. Sebelum menghadapi Logo, Umar mengatakan bahwa gengnya sudah lebih dulu berhadapan dengan anggota Brimob, kelompok Banten, Forum Betawi Rempug, dan kelompok Ongen Sangaji yang disewa Burhanuddin Harahap. "Mereka mundur menghadapi kelompok saya," katanya.
Sengketa waris pun menjadi pertikaian berdarah.
KELOMPOK Umar Kei dan kelompok Alfredo-Logo terhubung dalam usaha jasa pengamanan. Di ceruk "bisnis kekerasan" ini, ada pemain lain semacam Kembang Latar pimpinan Bahyudin, Petir di bawah komando Alo Maumere, Forum Betawi Rempug yang dipimpin Lutfi Hakim, Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten pimpinan Dudung Sugriwa, dan Pemuda Pancasila.
"Subsektor" bisnis ini merentang dari penagihan utang, jasa penjagaan lahan sengketa, pengelolaan jasa parkir, sampai pengamanan tempat hiburan dan perkantoran di Ibu Kota. Usaha pengamanan kantor antara lain dipilih Abraham Lunggana alias Lulung, 50 tahun. Mendirikan perusahaan PT Putraja Perkasa pada awal 2000, ia masuk jasa pengelolaan parkir dan pengamanan. Putraja memiliki anak perusahaan, PT Sacom. Abraham mengklaim mempekerjakan sekitar 4.000 orang. "Dulu sempat lebih besar dari itu," kata dia.
Anak buah Lulung menangani pengamanan Blok F, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat para pedagang kelontong. Ia mengambil alih "kekuasaan" yang sebelumnya dipegang oleh seorang jawara bernama Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, 62 tahun. Ucu dulu menyingkirkan penguasa sebelumnya, Rosario Marshal alias Hercules, seorang pemuda asal Timor Timur. Perusahaan Lulung juga mengelola perparkiran di sejumlah kantor, termasuk Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan (lihat "Pemburu Utang, Penjaga Parkir").
Persaingan antarkelompok sering sangat keras dan bisa diakhiri dengan pertumpahan darah. Akhir September lalu, dua kelompok berhadapan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan Ampera. Mereka menghadiri sidang bentrok berdarah, yang melibatkan sejumlah pemuda Kei dengan penjaga keamanan Blowfish Kitchen and Bar, Gedung Menara Mulia, Jakarta Selatan. (lihat "Dari Blowfish ke Ampera").
Menurut Agrafinus Rumatora, 42 tahun, dari kelompok Kei, penjaga keamanan Blowfish dipegang kelompok Flores Ende pimpinan Thalib Makarim. Perkelahian pada April lalu itu menewaskan dua pemuda Kei, yakni Yoppie Ingrat Tubun dan M. Soleh. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan terdakwa pelaku pembunuhan dua orang itu. Ternyata sidang ini menyulut pertikaian lebih besar. Tiga orang dari kelompok Kei tewas, puluhan lainnya luka-luka. Seorang sopir bus pengangkut kelompok ini menjadi korban.
Daud Kei, Wakil Ketua Angkatan Muda Kei (AMKei), menganggap pertikaian dua kelompok itu lebih besar. Daud, 38 tahun, tangan kanan John Kei, ketua organisasi itu, mengatakan, "Ini bukan antara Kei dan Flores, tapi antara Maluku dan Flores Ende. Jangan salah tulis," katanya.
Setelah bentrokan di Ampera, Alfredo Monteiro dan Logo diperiksa polisi. Alfredo mengatakan bahwa polisi menduga ia dan Logo berkaitan dengan Thalib Makarim. Logo memang pernah bekerja untuk Thalib. "Cuma dua bulan," katanya. Polisi lalu menangkap enam tersangka, semuanya dari kelompok Flores Ende. "Bagaimana mungkin tidak ada tersangka satu pun dari mereka (kelompok Kei)?" kata Zakaria "Sabon" Kleden, 66 tahun, tokoh yang sangat dihormati di kalangan kelompok etnis.
PERALIHAN penguasa bisnis jagoan di Ibu Kota bukanlah suksesi yang mulus. Pada 1990-an, area ini dikuasai Hercules. Ia semula pemuda Timor yang direkrut Komando Pasukan Khusus, atau Kopassus, pada saat proses integrasi wilayah itu ke Indonesia. Terluka dalam kecelakaan helikopter, ia dibawa Gatot Purwanto, perwira pasukan yang dipecat dengan pangkat kolonel setelah insiden Santa Cruz, ke Jakarta.
Hercules menetap di Jakarta, dan segera merajai dunia para jagoan. Ia menguasai Tanah Abang. Namanya pun selalu dekat dengan kekerasan. Kekuasaan tak abadi. Pada 1996, ia tak mampu mempertahankan kekuasaannya di pasar terbesar se-Asia Tenggara itu. Kelompoknya dikalahkan dalam pertikaian dengan kelompok Betawi pimpinan Bang Ucu Kambing, kini 64 tahun.
Sejak itu ia tak lagi berkuasa. Tapi namanya telanjur menjadi ikon. Seorang perwira polisi mengatakan, setiap pergantian kepala kepolisian, Hercules selalu dijadikan "sasaran utama pemberantasan preman".
Pada masa kejayaan Hercules, ada Yorrys Raweyai. Pada awal 1980-an, ia bekerja menjadi penagih utang. Kekuatan pemuda asal Papua ini ditopang Pemuda Pancasila, organisasi yang mayoritas anggotanya anak-anak tentara. Dia menjadi ketua umum organisasi itu pada 2000 dan melompatkan kariernya di politik. Dia kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar.
Pemuda Pancasila juga menjual jasa pengamanan lahan, penagihan, dan penjaga keamanan. Ordernya diterima dari perusahaan resmi yang memiliki jaringan dengan Pemuda Pancasila. "Habis, mau kerja apa, mereka tidak punya ijazah," Yorrys menunjuk anggota kelompoknya. Soal cap preman, dia berkomentar enteng, "Saya anggap koreksi saja."
Pada generasi yang sama, Lulung, bekas preman Tanah Abang, kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Partai Persatuan Pembangunan. Usahanya dimulai dari pengumpul sampah kardus bekas hingga barang bekas. "Karier"-nya mencorong ketika kemudian bermain dalam usaha pengamanan Tanah Abang.
Untuk melestarikan kekuatan, Lulung memilih jalur resmi. Ia mendirikan PT Putraja Perkasa, lalu PT Tujuh Fajar Gemilang, dan PT Satu Komando Nusantara. Perusahaan ini disesuaikan dengan "kompetensi inti" Lulung: jasa keamanan, perparkiran, penagihan utang. "Kami masuk lewat tender resmi," ujarnya.
Pada 1996, ketika Hercules berhadapan dengan Bang Ucu, Lulung memilih "berkolaborasi" dengan kelompok Timor. Alhasil, ia dikejar-kejar teman-temannya di Betawi. Bang Ucu menyelamatkannya. Itu sebabnya, kini Lulung rajin menyetor dana ke Ucu.
Dari Nusa Tenggara Timur ada nama Zakaria "Sabon" Kleden. Mendarat di Betawi pada 1961, Zaka—begitu dia disapa—mengatakan menjadi preman pertama asal daerahnya. "Dulu istilahnya geng. Ada geng Berland, Santana, dan Legos," tuturnya kepada Tempo.
Riwayat Zaka tak kalah berdarah. Ia mengaku sempat memutilasi korbannya. Ia juga mengatakan telah menembak mati beberapa orang. "Saya membela harga diri saya," ujarnya. Tapi ia mengatakan tak pernah dinyatakan bersalah. "Saya sering ditahan, tapi tidak pernah dihukum penjara," kata pria yang sangat dihormati kelompok preman terutama dari daerah Nusa Tenggara Timur itu. Tiga tahun lalu, Zaka menjalankan bisnis sekuriti, PT Sagas Putra Bangsa.
Dari eranya, Zaka menyebutkan nama ketua geng seperti Chris Berland, Ongky Pieter, Patrick Mustamu dari Ambon, Matt Sanger dari Manado, Jonni Sembiring dari Sumatera, Pak Ukar dan Rozali dari Banten, Effendi Talo dari Makassar. "Komunikasi di antara kami baik, maka jarang bentrok berdarah," tuturnya.
Pada awal 2000, muncul Basri Sangaji. Tapi dia terbunuh dalam penyerangan berdarah di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. "Bisnis"-nya diteruskan anggota keluarga Sangaji: Jamal dan Ongen. Ongen kini mantap dengan karier politiknya, menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Hanura Jakarta. "Target saya ketua Dewan Pimpinan Pusat," ujarnya.
Menjelang 1980-an kelompok-kelompok preman etnis juga membentuk organisasi massa. Dimulai dari Prems—kependekan dari Preman Sadar—pimpinan Edo Mempor. Tetap saja, bisnis mereka penagihan, perpakiran, dan jaga tanah sengketa. "Ini awal mulanya preman berbalut ormas," kata seorang mantan serdadu yang kini jadi preman.
Kelompok itu berdiri hingga kini. Ada Angkatan Muda Kei, Kembang Latar, Petir, Forum Betawi Rempug, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten, juga Angkatan Muda Kei.
SETELAH bentrok berdarah di Ampera, nama Thalib Makarim muncul ke permukaan. Para pesaingnya menyebut dia menyediakan pengamanan klub hiburan malam, seperti Blowfish, DragonFly, X2, dan Vertigo. Thalib resminya seorang pengacara. Dia pernah mendampingi artis kakak-adik Zaskia Adya Mecca dan Tasya Nur Medina, yang diculik oleh Novan Andre Paul Neloe. Ia juga menjadi anggota tim pengacara pengusaha Tomy Winata, ketika menggugat majalah Tempo pada 2005.
Thalib tercatat bekerja untuk kantor pengacara Victor B. Laiskodat & Associates di Melawai, Jakarta Selatan. Tapi, ketika Tempo mendatangi kantor ini, ia tak lagi bekerja di sana. "Lima tahun lalu sudah keluar," kata Mie Gebu, staf kantor ini. Beberapa orang yang berjanji bisa menghubungkan dia dengan Tempo juga gagal menemukannya. Ia juga tak pernah memenuhi panggilan polisi, yang menangani kasus Ampera.
Sumber Tempo di kalangan preman menyebutkan, Thalib merupakan pengganti Basri Sangaji. Ia menguasai tempat-tempat hiburan elite di Jakarta Selatan. "Termasuk lingkungan pasar Blok M-Melawai," katanya.
Adapun kelompok John Kei, menurut salah satu pentolannya, Agrafinus, berfokus pada jasa penagihan dan pengacara. Kelompok ini tidak masuk ke bisnis pengamanan tempat hiburan, perparkiran, ataupun pembebasan tanah. "Level kami bukan kelas recehan seperti itu," katanya. Sebab itulah, Daud Kei membantah tuduhan pertikaian di Blowfish dan Ampera dilatari perebutan lahan bisnis. "Kami etnis Maluku tidak ada bisnis penjagaan tempat hiburan," dia menegaskan.
Namun, menurut seorang preman senior, pertikaian antarkelompok separah itu umumnya karena berebut suplai atau meminta jatah. Sebab, perputaran uang di tempat-tempat dugem (dunia gemerlap) itu luar biasa besar. "Bayangin aja, dari suplai tisu, snack, minuman, sampai narkoba ada," tuturnya.
Berbeda dengan John Kei, Umar Kei meluaskan bisnisnya ke pembebasan tanah, termasuk penjagaannya. Di lahan ini juga bermain Forum Betawi Rempug dan Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten. Adapun perparkiran umumnya dipegang ormas lokal Betawi atau Banten, contohnya Haji Lulung.
Dari semua bisnis yang dilakoni kelompok etnis itu, sumber Tempo menuturkan, penghasilan terbesar ada di proyek pembebasan tanah. "Nilainya setara dengan uang jajan setahun," katanya. Mereka biasa menyebut penghasilan ini sebagai "jatah preman", yang dipelesetkan menjadi "jatah reman". Di tingkat kedua, penjagaan tempat hiburan malam. Kali ini jatahnya dipakai untuk "uang jajan sebulan". Sedangkan bisnis perpakiran menghasilkan jatah reman berupa "uang jajan harian".
Tak mengherankan bila dunia para jagoan ini sering diwarnai pertikaian, bahkan sampai berdarah-darah.
Sejarah Preman Jakarta
29 September 2010
Bentrokan antara kelompok Maluku (Kei) dan Flores (Thalib Makarim) ketika sidang kasus Blowfish di Jalan Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Korban tewas dari kelompok Maluku: Frederik Philo Let Let, 29 tahun, Agustinus Tomas (49), dan seorang sopir Kopaja Syaifudin (48).
31 Juli 2010
Bentrokan Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Komunikasi Masyarakat Membangun Lapisan Terbawah (Kembang Latar) di Rempoa, Ciputat.
30 Mei 2010
Bentrokan antara massa Forkabi dan warga Madura di Duri Kosambi, Cengkareng. Ketua Forkabi Cipondoh Endid Mawardi tewas dibacok.
12 April 2010
Koordinator keamanan Koperasi Bosar Jaya, Logo Vallenberg, dikeroyok kelompok Umar Kei. Penyebabnya sengketa warisan antarkeluarga pemilik koperasi.
4 April 2010
Bentrokan di Klub Blowfish, Wisma Mulia, Jakarta, menewaskan dua orang dari kelompok Kei, M. Sholeh dan Yoppie Ingrat Tubun. Klub Blowfish dijaga kelompok Flores Ende pimpinan Thalib Makarim.
14 Desember 2009
Mantan karyawan PT Maritim Timur Jaya, Susandi alias Aan, dipukul dan ditendang di bagian kepala dan dada oleh Viktor Laiskodat, pemimpin Artha Graha Group.
11 Agustus 2008
John Kei, pemuda Ambon, ditangkap Densus Antiteror 88 Kepolisian Daerah Maluku di Desa Ohoijang, Kota Tual. Dia diduga kuat terlibat penganiayaan terhadap dua warga Tual, Charles Refra dan Remi Refra, yang menyebabkan jari kedua pemuda itu putus.
1 Juni 2008
Bentrokan Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Markas Besar Kepolisian RI menetapkan lima anggota FPI sebagai tersangka dalam pengeroyokan dan pemukulan terhadap anggota Aliansi.
27 April 2006
Ratusan anggota FBR mendatangi rumah artis Inul Daratista, menuntut Inul meminta maaf atas tindakannya menggelar demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi di Hotel Indonesia.
3 Februari 2006
Massa FPI mengamuk di depan kantor Kedutaan Besar Denmark, Menara Rajawali, terkait dengan pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di koran Denmark, Jyllands-Posten.
19 Desember 2005
Hercules bersama 17 anak buahnya menyerang kantor Indopos, Jakarta Barat, karena keberatan atas artikel berjudul “Reformasi Preman Tanah Abang, Hercules Kini Jadi Santun”. Dia divonis hukuman penjara 2 bulan.
18 Juni 2005
Kelompok Maluku mengamuk dan merusak kantor pemasaran Perumahan Taman Permata Buana, Jakarta Barat. Mereka mengaku mewakili Aminah binti Ilyas, pemilik tanah yang sedang bersengketa dengan pengembang.
8 Juni 2005
Keributan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei saat sidang kasus pemukulan di Diskotek Stadium, Jakarta Barat. Kakak kandung John Kei, Walterus Refra Kei alias Semmy Kei, terbunuh di lahan parkir Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tindakan ini merupakan balas dendam atas pembunuhan Basri Sangaji dan bentrokan di Diskotek Stadium.
29 Mei 2005
Persatuan Pendekar Banten bentrok dengan Forkabi. Jahuri, 44 tahun, warga Cilampang, Banten, tewas, ditemukan di Gedung Serbaguna Perumahan Permata Buana. Bentrokan dipicu sengketa tanah.
1 Maret 2005
Ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, dan celurit berhadapan di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketika sidang pembunuhan Basri Sangaji.
16 Februari 2005
Bentrokan antara petugas Tramtib DKI dan kelompok Hercules yang menjaga lahan kosong di Jalan H.R. Rasuna Said Blok 10-I Kaveling 5-7, Jakarta Selatan. Adik Hercules, Albert Nego Kaseh alias John Albert, mati tertembak senjata Kasi Operasi Satpol Pamong Praja DKI Jakarta, Chrisman Siregar.
12 Oktober 2004
Basri Sangaji tewas diserang sepuluh preman dari kelompok John Kei di kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan.
2 Maret 2004
Bentrokan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei di Diskotek Stadium di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat. Saat itu kelompok Basri menjaga diskotek dan diserang puluhan orang Kei. Dua penjaga keamanan dari kelompok Basri tewas.
7 Mei 2003
Bentrokan kubu Hercules dan Basri Sangaji di Kemang, Jakarta Selatan. Pertikaian menyebabkan Samsi Tuasah tewas akibat luka tembak di paha dan dada.
8 Maret 2003
David A. Miauw dan rekan, anak buah Tomy Winata, menyerang dan melakukan pemukulan terhadap tiga wartawan majalah Tempo. Tomy berkeberatan atas artikel Tempo edisi Senin, 3 Maret 2003, berjudul ”Ada Tomy di Tenabang?” Kasus ini dibawa ke pengadilan.
28 Maret 2002
Tujuh anggota FBR menganiaya anggota Urban Poor Consortium pimpinan Wardah Hafidz di kantor Komnas HAM, Menteng.
12 Desember 1998 dan 15 Januari 1999
Kerusuhan antara kelompok Ambon muslim dan Kristen dipicu peristiwa Ketapang. Kerusuhan Ambon ditengarai akibat provokasi beberapa kelompok preman.
22-23 November 1998
Kerusuhan antara Ambon muslim dan Kristen di daerah Ketapang, Jakarta Pusat. Baku hantam dipicu terbunuhnya empat pemuda muslim pada kerusuhan Semanggi, menjelang Sidang Istimewa MPR.
29 Mei 1997
Dedy Hamdun, preman asal Ambon beragama Islam, diculik lalu hilang hingga kini. Suami artis Eva Arnaz ini bekerja membebaskan tanah bagi bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar bekas presiden Soeharto. Sebelum hilang, Dedy aktif mendukung Partai Persatuan Pembangunan.
1996
Perang antara kelompok Betawi dan Timor pimpinan Hercules. Kelompok Timor hengkang dari Tanah Abang.
Laskar Jalanan
29 Juli 2001
FBR didirikan oleh KH Fadloli el-Muhir (almarhum) dengan jumlah pengikut saat pendirian 400 ribu orang.
18 April 2001
Forkabi dideklarasikan di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat.
10 Oktober 2000
Kelompok Laskar Merah Putih pimpinan Eddy Hartawan (almarhum). Kelompok pemuda ini pernah menjadi tenaga pengawal mendampingi Manohara Odelia Pinot.
Mei 2000
Angkatan Muda Kei (AmKei) didirikan oleh keluarga Kei dengan ketua John Refra atau John Kei. Organisasi terbentuk pascakerusuhan Tual, Maluku, pada Maret 1999. Kelompok ini mengklaim memiliki 12 ribu pengikut.
17 Agustus 1998
FPI didirikan oleh Muhammad Rizieq bin Husein Syihab di Jalan Petamburan III Nomor 83, Jakarta Pusat. Beberapa jenderal TNI dan Polri mendukung pendirian FPI, di antaranya mantan Kepala Polda Metro Jaya Komisaris Jenderal Nugroho Jayusman.
1998
Warga Betawi Tanah Abang mendirikan Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang dan memilih jawara Tanah Abang, Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, sebagai ketua umum hingga sekarang.
Masa Orde Baru:
Tumbuh organisasi pemuda, seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia, Yayasan Bina Kemanusiaan, dan belakangan organisasi Kembang Latar. Selain berbendera organisasi kepemudaan, ada kelompok informal yang sangat populer, seperti Siliwangi, Berland, Santana, dan Legos. Kelompok ini menjalankan usaha keamanan tempat hiburan serta sengketa lahan dan tempat parkir wilayah Jakarta Selatan.
Petrus
Pemerintah Orde Baru menekan kelompok preman dengan operasi rahasia "penembakan misterius" atau petrus. Investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat korban tewas petrus pada 1983 sekitar 532 orang, dan sepanjang 1984 dan 1985 sebanyak 181 orang.
Tim Investigasi Preman Jakarta Penanggung Jawab: Budi Setyarso Kepala Proyek: Anne L. Handayani Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso Penulis dan Penyumbang Bahan: Anne L. Handayani, Budi Riza, Muchamad Nafi, Yuliawati Riset dan Fotografer: Bismo Agung, Novi Kartika Redaktur Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Desain: Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo