Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dari Blowfish ke Ampera

Kelompok Kei dan Flores Ende terlibat bentrok berdarah. Berebut lahan bisnis di wilayah gelap.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHIDUPAN malam menggelegak ketika penduduk kota mulai terlelap. Musik berdentam di Blowfish Kitchen and Bar, City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta Selatan. Sabtu malam akhir Oktober lalu, para clubber datang dengan kostum khusus. Ini pesta malam Halloween. Semua berlomba menjadi sosok yang seram-seram.

Pengunjung dipungut Rp 100 ribu per orang, hadiahnya segelas minuman. Sedangkan anggota klub cukup menunjukkan kartu. Hingga pukul setengah tiga dinihari, ribuan remaja menyesaki klub malam itu. "Biasanya hanya separuhnya," kata seorang petugas keamanan di sana.

Muda-mudi berjingkrakan, sebagian perempuan menari gila—mengentakkan tubuhnya yang berbusana minim. Pakaiannya penuh belahan di sana-sini. Tak sedikit yang berdisko di sofa. Semua bangku dan kursi terisi. Jam terus berputar dan pengunjung makin membeludak.

Satu-dua mulai tumbang. Dengan terhuyung, beberapa perempuan dipapah pasangannya. Pada malam yang semakin panas, tak jarang muncul pertengkaran. Petugas segera turun tangan, tak mau keributan kecil berbuntut panjang. Seorang petugas keamanan mengatakan penjagaan diperketat untuk mencegah kekerasan seperti yang meletup pada awal April lalu.

Kisahnya bermula pada Jumat malam, 2 April silam. Ketika itu seorang pengunjung bernama Albert Altanya datang ke bar. Sumber Tempo mengatakan Albert belum memesan meja dan bersitegang dengan petugas keamanan. Entah siapa yang memulai, ia kena pukul penjaga. Manajer Operasional Blowfish, Agung Budi Santosa, mengatakan hanya anggota yang boleh masuk. "Sepertinya ada salah paham," katanya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertengahan bulan lalu.

Esoknya, Agrafinus Rumatora alias Nus Kei ditelepon rekannya, Matius Roy Willa, agar datang ke Blowfish. Keduanya mengenal Albert Altanya. Nus, Matius, dan Albert—ketiganya anggota kelompok Ambon dari Kei—segera meluncur bersama belasan orang lain. Setelah memesan meja, mereka pun segera minum. Sekitar pukul 22.00, Fredi, petugas keamanan, meminta Nus menemui manajer bar. Nus menolak. Menjelang tengah malam, Fredi mengulang permintaannya.

Nus menuruti permintaan itu. Ia ternyata ditemui Roy, kepala keamanan Blowfish, yang didampingi lima anggotanya. Albert, yang terlibat keributan malam sebelumnya, datang. "Teman Roy langsung menghajarnya," kata Nus. Teman-teman Roy di dekat pintu ikut pula menyerang. Tapi Clement, salah satu tokoh Flores, membantah akhir cerita ini. Menurut dia, justru Roy yang menyelamatkan Nus dari baku hantam tadi. Melalui pintu belakang, Nus dibawa keluar bersama pengunjung lain.

Para penjaga Blowfish sudah mengantisipasi keadaan setelah bentrokan Jumat malam itu. Muhammad Sarip alias Mat, petugas keamanan, menghubungi Kanor Lolo, pemuda asal Flores Ende. Ketika menerima telepon, Kanor sedang berada di rumah kontrakannya di sekitar Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kepada polisi, Kanor mengatakan bahwa dia diminta Mat datang ke Blowfish. Mat merasa terancam setelah peristiwa Jumat malam. Naik taksi, Kanor berangkat bersama rekannya, Bernadus Malelak, David Too, dan Rando Rili.

Sampai di Blowfish sekitar pukul 23.30, mereka diminta Mat berjaga di lobi. Sejam kemudian, Kanor melihat cekcok Roy, Nus, dan Albert. Tiba-tiba lampu mati dan perkelahian meledak. Empat orang ini masuk melalui pintu keluar. "Saya mengambil besi pembatas jalur dan memukul Yoppie Ingrat Tuban tiga kali," kata Kanor kepada polisi pada 21 Juli 2010. Yoppie adalah anggota rombongan kelompok Kei.

Dalam pemeriksaan polisi, Bernadus mengatakan, dalam situasi gelap, dia mengambil besi. Ia memukul orang yang hendak menyerangnya. Ia lalu menggunakan parang yang tergeletak di lantai untuk membacok lawan. M. Soleh dari kelompok Kei tewas dalam perkelahian itu. Yoppie, yang mengalami banyak luka bacok, dilarikan ke Rumah Sakit Medistra. Dua pekan kemudian dia pun tewas.

Seorang tetua Flores yang menguasai wilayah selatan Jakarta menyatakan, kedua kelompok berebut bisnis pemasok keperluan pub atau restoran, antara lain minuman keras. Sumber Tempo di kepolisian mengatakan, kelompok-kelompok ini juga bersaing memasarkan narkotik. "Ngapain bunuh-bunuhan kalau cuma berebut bisnis pengamanan," katanya. Menurut seorang perwira polisi, pusat perebutan pengaruh itu melibatkan Thalib Makarim dan John "Kei" Refra. Thalib adalah tokoh muda Flores yang sedang naik daun. Ia menguasai banyak tempat hiburan, termasuk Blowfish, Puro, dan DragonFly.

Sedangkan John, yang dianggap salah satu pemimpin Kei, bergerak di wilayah yang sama. Dia juga ingin menguasai jasa pengamanan. Agar berhasil, John berusaha masuk lingkaran dalam seorang pengusaha yang dikenal dekat dengan dunia gelap. Di sini Thalib kabarnya berada di atas angin, karena lebih dulu masuk ring dalam pengusaha yang sama.

Nus mengatakan, banyak penjaga keamanan Blowfish dari Flores Ende. Pemimpinnya Thalib. Namun dia membantah bila dikatakan bahwa pertengkaran itu dilakukan demi merebut bisnis orang. Adik John, Tito Refra, pun menyangkal. "Kita paling pantang jadi satpam, gengsi kita tinggi," katanya. Ia mengatakan, teman-temannya merasa terinjak harga dirinya dengan peristiwa di Blowfish. Thalib dan John tak bersedia bersuara. Surat dan telepon permintaan wawancara Tempo tak mereka tanggapi.

Setelah keributan berdarah itu, empat orang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka adalah Kanor Lolo, Bernadus Malelak, David Too, dan Rando Rili. Kelompok Kei, termasuk Tito, selalu mendatangi persidangan mereka.

Dalam sidang pada pertengahan September 2010, anggota kelompok Kei memukul Kanor Lolo dan Bernadus Malelak. Menurut Nus, kawan-kawannya tidak puas karena terdakwa bukan orang yang membunuh Soleh dan Yoppie Ingrat. "Mereka dikorbanin untuk jadi tersangka," kata Nus.

Sepekan kemudian, teman-teman Kanor dan Bernadus menuntut balas. Menumpang bus mini, puluhan lelaki Flores turun ke pengadilan. Mereka menenteng golok, pedang, dan senjata lain. Bentrok antara mereka dan kelompok Kei pecah di terik matahari. Sekitar 300 polisi yang berjaga tak banyak berbuat.

Dalam perkelahian sekitar satu jam ini, terdengar letusan senjata api. Satu tembakan mengenai dada Tito Kei. Kelompok Kei membalas serangan. Korban berjatuhan. Agustinus Tomas dan Frederik Pilo Let Let dari kelompok Maluku tewas.

Ditemui pada pertengahan bulan lalu, Tito membanggakan luka tembak di dada kirinya. Ia mengatakan terhindar dari maut berkat ajimat yang ia miliki. Katanya, "Peluru hanya tiga milimeter dari jantung saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus