Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Juni lalu, Anda mengirim surat kepada Presiden Megawati soal penambangan pasir di Riau. Apa isinya? Saya melaporkan perlunya penataan dalam hal ekspor pasir di Kepulauan Riau dan pembentukan Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Laut (AP3L) untuk mengatasi rendahnya harga pasir. Bagaimana tanggapan Presiden? Presiden setuju agar pengelolaan pasir itu ditata. Beliau juga setuju pembentukan AP3L. Namun, asosiasi itu justru disebut-sebut sebagai upaya pemda untuk memonopoli dan menjaga kelangsungan bisnis pasir sejumlah pejabat, termasuk, katanya, keluarga Anda sendiri. Tidak betul itu. Asosiasi dibentuk untuk menata saja. Anggota asosiasi yang semua pengusaha pasir itu tentunya memiliki perizinan sesuai dengan perundangan dan aturan. Lagi pula, bukan merupakan keharusan bagi setiap pengusaha pasir masuk asosiasi ini. Selain itu, keluarga saya tidak ada yang terjun di bisnis pasir. Kalau ada isu yang menyebut bisnis ini punya keluarga Saleh Djasit, jangan percaya. Menurut sejumlah pengusaha pasir, cepat atau lambat AP3L akan menguasai sistem penjualan, yang ujungnya merugikan pengusaha juga. Siapa yang menyebut begitu? Inilah salahnya. Mau ditata, katanya monopoli. Tidak ditata, kami dituding tak mengurusi. Jangan dilihat sisi negatifnya. Yang ditata itu tetap lebih baik. Beberapa pengusaha mengaku sulit mengurus izin kuasa penambangan pasir. Mereka harus menyiapkan sedikitnya Rp 1 miliar, plus setoran siluman agar izin cepat keluar. Komentar Anda? Itu salah. Kami memang sangat selektif. Tentu ada aturan dan prosedur yang jelas untuk mengeluarkan izin kuasa penambangan (KP), khususnya dalam pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan. Soal setoran siluman, itu juga tidak benar. Sekali lagi, tolong dicatat, tidak ada setoran siluman. Semua sesuai dengan aturan yang berlaku. Benarkah penambangan pasir di Riau diwarnai oleh kasus pencurian? Tudingan itu ada benarnya, tapi kita sudah berusaha melakukan penataan. Kami membentuk Satuan Tugas Pasir Laut, bekerja sama dengan pihak terkait seperti Angkatan Laut, Bea Cukai, dan Perhubungan. Bagaimana dengan para nelayan yang mengeluh tambang pasir telah merusak tempat mereka mencari ikan? Itulah perlunya prosedur perizinan yang ketat tadi, khususnya soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Kalau nelayan menolak, otomatis amdalnya cacat. Kami juga sudah memerintahkan agar Dinas Perikanan memantau betul soal yang Anda sebutkan itu. Kami menemukan banyak nelayan beralih profesi menjadi buruh di kota karena lahannya terganggu. Nelayan yang mana? Apakah ada penelitian dan data yang sahih? Kalaupun ada satu-dua, itu berarti kawasan dimaksud memang tidak cocok untuk tambang pasir. Jangan asal menuding. Dari sekitar 400 ribu nelayan di Kepulauan Riau dan sekitarnya, berapa sih yang mengajukan protes tentang penambangan laut? Relatif sangat kecil. Berapa pula yang sudah berubah profesi? Apa iya karena tambang pasir? Jangan langsung berprasangka buruk. Saya tegaskan, saya tidak mau penambangan pasir mengorbankan rakyat. Kalau memang merugikan masyarakat luas, saya akan menyetop penambangan pasir. Bagaimana dengan ancaman kerusakan alam dalam jangka panjang akibat pemberian izin penambangan pasir itu? Itulah perlunya amdal. Kita selektif tentang itu. Bagaimana konsep Anda untuk menanggulangi kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir? Saya tidak ingin mengorbankan lingkungan hanya karena pasir. Itu mustahil saya lakukan. Kita punya kepentingan yang sama tentang lingkungan yang terjaga. Pemda punya komitmen pada kelestarian lingkungan kelautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo