DUA pekan lagi anak-anak sekolah memasuki masa liburan caturwulan. Tak ada salahnya waspada bila Anda berniat berlibur ke Singapura. Dari negeri yang terkenal kebersihannya itu sering terimpor sejenis virus yang kemudian mudah menyebar ke sini. Memang tidak berbahaya, tapi karena yang diserang adalah anak-anak, virus itu sering menakutkan orang tua. Maklumlah, di samping penyebarannya sangat cepat, kondisi anak-anak yang terserang virus yang dikenal masyarakat sebagai virus singapura itu membuat para orang tua merasa iba dan cemas. Anak-anak tak hanya mengalami berbagai gejala flu seperti demam, tapi juga sariawan di mulut—yang membuat anak ogah makan dan minum bahkan sampai perlu diinfus—serta bintik-bintik merah dan seperti melepuh di telapak tangan dan kaki.
Kalau virus telanjur terimpor, beginilah jadinya. Sebulan yang lalu, seorang ibu sempat melarang anaknya masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak Kicau Pembangunan Jaya, Bintaro, Jakarta Selatan. Ibu muda itu begitu khawatir, putrinya yang baru berusia empat tahun tertular teman sekelasnya, sehingga ia menelepon kepala sekolah, minta sekolah diliburkan dulu.
Kerisauan ibu itu memang beralasan. Awalnya, saat libur panjang Juli lalu, ada beberapa murid TK Kicau yang berlibur ke Singapura. Sebulan kemudian, seorang murid, kita sebut saja bernama Andy, terkena demam dan sari-awan yang rata memenuhi bibirnya. Kulit tangan dan kaki anak ini juga tampak seperti melepuh. Setelah diperiksa dokter, diketahui bahwa Andy terkena penyakit hand, foot, and mouth disease (HFMD), yang disebarkan enterovirus 71, yang sering disebut awam sebagai virus singapura. Oleh dokter, Andy diminta beristirahat di rumah, tidak bermain, dan tidak bersekolah, sampai sembuh total.
Tapi perjalanan sang virus belum berhenti. Tak jelas bagaimana persisnya jalur penularan, dua minggu kemudian penyakit HFMD menyebar pada 13 murid TK Kicau. Tentu saja para orang tua murid jadi khawatir dan menuntut pihak sekolah untuk aktif memutus rantai penularan penyakit.
Kegegeran semacam itu—dalam skala yang lebih besar—juga pernah terjadi di Singapura. Di negeri tersebut, Oktober 2000, wabah penyakit tangan, kuku, dan mulut memang sampai mengakibatkan kematian empat balita. Penyakit yang waktu itu menyerang 1.150 balita Singapura ini menular melalui pertukaran makanan, keringat, dan air liur anak-anak. Walhasil, selama dua pekan, pemerintah Singapura memutuskan menutup sekolah, kolam renang, tempat penitipan anak, sampai taman bermain tempat anak-anak berinteraksi.
Nah, berdasar pengalaman Singapura, wajar bila para orang tua dilanda kecemasan akan penyakit HFMD yang mungkin mengintip anak-anaknya. Maka, demi keselamatan anak didik, pengelola TK Kicau meliburkan murid pada 14-22 September. "Sementara murid libur, kami tidak berdiam diri," kata Iwan, Kepala Sekolah TK Kicau. Iwan mengajak karyawan dan guru melakukan pembersihan total. Kelas, taman bermain, dan alat-alat permainan semua dibersihkan dengan desinfektan pembasmi kuman.
Iwan pun kemudian mengatur pertemuan para orang tua dengan dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Internasional Bintaro. Melalui pertemuan ini, dokter menjelaskan bahwa sebetulnya HFMD bukanlah penyakit ber-bahaya dan tak perlu ditanggapi dengan ke-panikan. Anak-anak penderita HFMD bisa sembuh dengan sendirinya asalkan istirahat dan mendapat gizi yang cukup. Kepanikan pun mereda, dan Senin, 24 September, kegiatan sekolah dimulai kembali. Namun, karyawan dan guru TK Kicau tetap teliti memeriksa anak-anak. "Murid yang memiliki bintik di mulut, tangan, dan kaki, kami minta pulang dan berobat ke dokter," kata Iwan.
Peristiwa yang menimpa TK Kicau bukanlah kejadian satu-satunya. Beberapa sekolah di Jakarta dikabarkan meliburkan murid sebagai langkah menghentikan jalur HFMD. Di SD Pembangunan Jaya Bintaro, misalnya, terdapat empat murid yang terserang penyakit tangan, kuku, dan mulut. Guna memutus rantai penularan, Jumat 21 September lalu, murid SD Jaya diliburkan sehari, sementara pengelola sekolah melakukan program sterilisasi massal.
Merebaknya penyakit HFMD itu diakui Tini Suryanti, Kepala Sub-Dinas Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Menurut Tini, banyak kalangan yang meminta pemerintah ekstra-aktif mencegat penyebaran HFMD. Maklum saja, pada Januari-Agustus 2001, ada 54 anak di seluruh Jakarta yang terkena penyakit tangan, kuku, dan mulut ini. Cuma 54? Tunggu dulu, itu adalah angka resmi versi Dinas Kesehatan. Kenyataannya, "Jumlah penderita pasti lebih besar karena banyak dokter dan rumah sakit yang tidak melaporkan kasus HFMD," kata Tini.
Pernyataan Tini dibenarkan oleh Jose Batubara, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sepanjang tahun 2001, Jose telah menangani sekitar 200 anak yang terserang HFMD. Jose juga membenarkan, banyak dokter dan rumah sakit tidak melaporkan kasus HFMD ke Dinas Kesehatan. "Karena ini bukan penyakit istimewa. Kadarnya tak lebih dari pilek atau flu biasa," katanya.
Sebagaimana penyakit flu, hingga saat ini HFMD juga belum bisa dilawan dengan obat yang tepat. Namun, tak perlu khawatir, HFMD tergolong penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya (self-limiting disease). Sebabnya, enterovirus 71 yang memicu HFMD bersifat seperti virus influenza, yang bisa dilawan oleh sistem pertahanan tubuh yang bagus. Jadi, selain pasokan makanan bergizi, pasien HFMD biasanya diberi obat penurun demam dan pengikis sariawan. Begitu gejala permukaan hilang, tubuh si anak diharapkan lebih kuat untuk membunuh enterovirus.
Kewaspadaan yang ekstra harus dipasang bila sariawan pada si anak begitu parah hingga tak sanggup makan secara normal. Pada kondisi ini, apa boleh buat, pasien perlu dirawat di rumah sakit untuk mendapat cairan infus. HFMD juga layak diwaspadai jika menyerang anak yang kebetulan sudah mengidap penyakit serius yang lain. Empat balita yang meninggal di Singapura, misalnya, diduga kuat telah menderita penyakit serius yang kemudian diperparah oleh serangan enterovirus.
Sementara itu, Umar Fahmi Achmadi, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, menegaskan bahwa penduduk di luar Jakarta juga layak waspada. Maklumlah, tingginya mobilitas warga memungkinkan virus melancong ke segala penjuru.
Di Indonesia, penyakit HFMD pertama kali dilaporkan terjadi di Batam, Riau, September tahun lalu. Masih pada bulan September 2000, lima kasus HFMD terjadi di Pondokindah, Jakarta. Berikutnya, April tahun ini di Bojo-negoro, Jawa Timur, ada 14 anak yang dilaporkan terserang penyakit tangan, kuku, dan mulut. Sebulan kemudian, Mei 2001 di Solo, Jawa Tengah, tercatat 57 kasus anak yang mengidap penyakit serupa.
Nah, apakah Depkes bakal melakukan tindakan progresif menangkal HFMD? Misalnya, dengan mengarantina anak-anak yang terkena HFMD yang memasuki bandara atau pelabuhan di Indonesia? Menurut Umar, tindakan semacam itu belum perlu dilakukan karena tingkat kejadian HFMD di Indonesia masih rendah dan terkendali. Jadi, para orang tua tak perlu panik. "Yang penting, bentengi anak Anda dengan gizi yang cukup," katanya.
Mardiyah Chamim dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini