Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIGIT Wiantoro tercengang memandang sekelompok hewan kecil sejenis kalajengking di hadapannya. Ketika itu, Juli 2014, dia tengah meneliti kekayaan fauna di dalam Gua Joglo di kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih. Instingnya mengatakan itu spesies baru.
Peneliti biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu lalu menangkap beberapa ekor sebagai sampel dan membawanya ke Jakarta. Temuan itu dia kaji secara saksama bersama rekan seprofesinya, ahli mamalia, Cahyo Rahmadi. Mereka menyimpulkan, binatang kecil itu memang spesies Stygophrynus atau kalacemeti jenis baru. "Di Jawa saat ini hanya dikenal dua spesies Stygophrynus dan ini yang ketiga," kata Sigit menceritakan momen penting itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Gua Joglo berada di Desa Pesucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gua berbentuk horizontal sepanjang 30 meter itu berada di area CAT Watuputih, tak jauh dari area izin penambangan PT Semen Indonesia.
Saat meneliti fauna di lokasi ini, Sigit juga menyusuri Gua Temu di Desa Bitingan; Gua Jagung, Desa Pesucen; serta Gua Ngecari dan Gua Gamping Putih, Desa Tegaldowo. Kalacemeti dia temukan pula di Gua Jagung, yang berhadapan dengan Gua Joglo, hanya berjarak 10 meter. Ia menduga dulu kedua gua ini merupakan sistem gua yang mengalami runtuhan di bagian atapnya.
"Kalau dilihat dari struktur rambut yang ada di kaki, kalacemeti itu berbeda dengan yang ada di Jawa saat ini," ujar Cahyo, awal Agustus lalu. Perbedaan lain, hewan baru ini memiliki ukuran gigi dan tubuh yang lebih kecil dibanding dua spesies kalacemeti sebelumnya dan badannya berwarna lebih gelap.
Pada 2007, Cahyo juga menemukan kalacemeti dengan ciri persis sama dalam beberapa gua di sisi utara Pegunungan Kendeng yang masuk wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Adapun CAT berada di sisi timur Pegunungan Kendeng. Temuan Sigit dengan demikian mengukuhkan adanya spesies ketiga kalacemeti yang mendiami gua-gua di sepanjang Pegunungan Kendeng. "Tinggal dipublikasikan saja untuk mengukuhkan kalacemeti jenis baru ini," katanya.
Menurut Cahyo, Pegunungan Kendeng sungguh merupakan "harta karun" bagi penelitian fauna. Selain kalacemeti, ditemukan olehnya udang jenis baru di Gua Urang, Desa Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Mata udang tersebut lebih kecil dibanding mata milik berbagai jenis udang yang sudah dikenal. "Tidak tertutup kemungkinan udang ini menghuni pula gua-gua lain di Pegunungan Kendeng, yang rata-rata memiliki aliran air bawah tanah," ujarnya.
Yang penting pula, menurut Cahyo dan Sigit, gua-gua di Pegunungan Kendeng juga menjadi rumah bagi kelelawar endemis Jawa. "Jumlahnya ribuan. Perlu dijaga karena perannya sangat penting bagi ekosistem di kawasan itu," kata Cahyo.
Sigit sendiri menemukan tiga jenis kelelawar pemakan serangga dan buah di area CAT Watuputih, yaitu Miniopterus australis, Rhinolophus pusillus, dan Hipposideros larvatus.
Ketika menyusuri pegunungan karst di Rembang dua pekan lalu, Tempo bertemu dengan sekelompok kelelawar di Gua Wiyu, Desa Tegaldowo. Gua tersebut berada di dalam wilayah izin penambangan PT Semen Indonesia. Dasar gua itu penuh oleh genangan kotoran kelelawar yang masih basah dengan kedalaman mencapai betis orang dewasa.
Kelelawar serupa tampak di Gua Menggah, Rambut, dan Sumberan, yang berada di sekitar area penambangan. Eksploitasi kapur akan merusak gua-gua tersebut serta mengancam keberlangsungan hidup kalajengking, udang, kelelawar, dan berbagai fauna lain di wilayah itu. Padahal, menurut Sigit, kelelawar penting sebagai penyerbuk tanaman, penyebar biji, serta pengendali populasi hama. "Hilangnya kelelawar pasti mengganggu keberlangsungan hidup organisme lain," ujarnya.
Direktur Utama PT Semen Indonesia Suparni mengatakan tak tahu-menahu soal hewan-hewan endemis Pegunungan Kendeng itu. "Kami akan melakukan proses penambangan dan produksi sesuai dengan kaidah-kaidah dan teknik yang sudah diatur. Kalau di situ ada cacing, ulat, dan lain-lain, tidak tahu saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo