Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara riuh tangis, Murtini menjerit dan memberontak. Empat polisi membekuk tangan dan kaki perempuan 35 tahun itu. Pagi itu, 16 Juni 2014, manakala PT Semen Indonesia menggelar hajatan peletakan batu pertama pembangunan pabrik, polisi menggotong tubuh ibu satu anak tersebut untuk kedua kalinya.
Murtini dan lebih dari 50 perempuan lain nekat menggelesot di tanah kapur. Sebelumnya, mereka menghadang alat berat dan truk jumbo pengangkut material yang akan masuk ke kawasan pabrik.
Mula-mula polisi menggotongnya ke luar pabrik. Tapi warga Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Rembang, itu kembali ke dalam kawasan dan bersimpuh lagi. "Badan saya diangkat, lalu dilempar," Murtini bercerita dalam bahasa Jawa, Senin tiga pekan lalu. Belukar berduri menyambut tubuhnya. Murtini pingsan.
Aparat juga mencampakkan warga Desa Timbrangan lainnya, Parmi, ke semak-semak. "Tubuh mereka lecet-lecet seperti dicakar kucing. Banyak duri menempel," kata dokter Esti Nursofiati, yang membantu merawat para korban. Menurut Esti, mereka yang terluka tak sudi ditolong petugas medis dari kepolisian dan Semen Indonesia.
Hari itu merupakan aksi pertama ibu-ibu Rembang menentang pembangunan pabrik semen. Menurut Joko Prianto, salah satu koordinator penolak pabrik semen, ide itu muncul pada malam sebelumnya, setelah mereka mendengar kabar akan ada acara peletakan batu pertama pembangunan pabrik. "Warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo, Gunem, bersepakat menampilkan para perempuan di barisan terdepan," ujarnya. Mereka ingin menghindari bentrokan dengan personel keamanan.
Dalam aksi tersebut, sejumlah ibu paruh baya nekat membuka baju dan menunjukkan buah dada mereka. "Itu aksi spontan saja," kata Sukinah, seorang ibu pendemo. "Dihadapkan dengan polisi bersenjata, cuma itu senjata kami."
Tapi kericuhan tak terelakkan. Beberapa ibu mengaku dipiting polisi. Alat demonstrasi mereka, seperti spanduk dan peralatan bertani, disita.
Semenjak itu, para ibu menolak meninggalkan area pabrik. Dengan bantuan pemuda dan bapak-bapak, mereka mendirikan tenda terpal biru berangka bambu. Hingga kini, tenda berukuran tak sampai setengah lapangan badminton tersebut tak pernah kosong. Para penentang pabrik semen menetapkan jadwal piket harian. "Kalau ibu-ibu piket, bapak-bapak bertani," ujar Sutaji, warga Desa Tegaldowo.
Menurut Joko, ibu-ibu kadang lebih nekat ketimbang kaum lelaki. Tak gentar berhadapan dengan preman dan petugas keamanan, mereka hadir dalam setiap sidang sengketa melawan Semen Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.
Akhir November tahun lalu, para ibu kembali menghadang truk pengangkut material dan melarang karyawan pabrik masuk ke kawasan. Murtini ikut lagi. Dia kembali berhadapan dengan polisi dan terluka. "Kaki saya diinjak-injak sampai berdarah," katanya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Rembang Ajun Komisaris Eko Adi menuding para ibu memprovokasi polisi dengan tindakan tak etis. Menurut dia, polisi membubarkan unjuk rasa karena mengganggu ketertiban.
Soal tudingan kekerasan polisi terhadap para ibu, Kepala Kepolisian Rembang Ajun Komisaris Besar Winarto mengatakan belum ada bukti. "Kami tak bisa memberikan sanksi tanpa ada bukti pelanggaran," ujarnya.
Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan mereka tak mempersoalkan para pengunjuk rasa yang bertahan di lokasi pabrik. Sedangkan Direktur Utama PT Semen Indonesia Suparni mengklaim, keberadaan pabrik di Rembang justru menyejahterakan penduduk. "Pabrik akan menyerap tenaga kerja dan akan melibatkan mereka," ucapnya.
Toh, bagi para ibu ini, tak ada kata mundur. Mereka akan terus melawan hingga pabrik batal berdiri. "Kalau sampai tanah di sini rusak, bagaimana nasib ladang dan ternak kami?" ujar Murwati, 39 tahun, penduduk Desa Timbrangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo