Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Ponor Ada, Ponor Tiada

Ternyata cukup banyak gua, ponor, dan mata air di wilayah izin penambangan PT Semen Indonesia di Rembang. Tak tercantum dalam amdal.

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gua Wiyu (-6.88065, 111.51791)

HINGGA tiga tahun lalu, Sanusi, 45 tahun, masih seorang petani lugu. Setiap pagi dia berangkat ke ladang jagungnya, sore pulang menjadi perajin mebel kayu jati. Bapak lima anak yang tak tamat sekolah dasar itu awalnya tak memahami karst. Dia juga tak pernah ingin tahu kenapa di sekitar rumahnya di Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Rembang, ada banyak mata air.

Ribut-ribut penduduk desa menolak pabrik semen mendorongnya belajar soal karst. "Saya penasaran dan ingin membuktikan sendiri bahwa Watuputih itu memang karst lindung," katanya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, Ahad tiga pekan lalu. Watuputih merupakan nama lokal untuk bukit karst di Pegunungan Kendeng Utara.

Kini Sanusi dikenal sebagai penelusur gua yang ulung. Dia berani menjelajahi gua-gua yang tak pernah tersentuh manusia di sekitar Watuputih bermodalkan tambang dan senter bertenaga aki bekas. Dia mengatakan sudah menelusuri belasan gua di sekitar wilayah konsesi tambang PT Semen Indonesia.

Ahad sore itu, manakala warga Timbrangan bersiap-siap tirakatan menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, Sanusi dan empat kerabatnya membawa Tempo ke Gua Wiyu. "Sekarang giliran saya meyakinkan orang lain bahwa ada sungai bawah tanah dengan mengajak mereka ke sana," ujarnya.

Gua Wiyu terletak di Dusun Tegaldowo, Kecamatan Gunem, pada sisi selatan area tambang batu kapur milik PT Semen Indonesia. Dari Timbrangan, tempat itu bisa dijangkau dalam setengah jam bersepeda motor, melewati jalan berbatu penuh debu kapur. Lembap dan dingin, kondisi gua sedalam sekitar 20 meter itu kontras dengan ladang tandus akibat kemarau panjang di luar.

Gua Wiyu termasuk yang "hilang" dari peta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT Semen Indonesia.

* * * *

DARI Gua Wiyu, Sanusi membawa Tempo ke Gua Gendongan pada titik koordinat "-6.86076, 111.50774" di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem. Gua vertikal sedalam 15 meter dan selebar 25 meter itu juga berada di dalam wilayah izin penambangan.

Di langit-langit gua terdapat banyak stalaktit dengan panjang rata-rata setengah meter. Air menetes dari ujung-ujung stalaktit, membasahi lantai gua yang lembap.

Berada di tengah ladang jagung, gua dengan lubang untuk masuk hanya seukuran tong itu tak mencolok. Mulut gua selalu tertutup batu. Agaknya, pemilik ladang tak ingin ada orang atau hewan terperosok ke dalamnya.

Sanusi juga mengantar Tempo masuk ke liang lain, seperti Gua Rambut di Tegaldowo, yang ada kolam air di ujungnya. Lalu Gua Sumberan di Desa Kajar, Kecamatan Gunem, yang seluruh dasarnya dipenuhi air setinggi betis. "Gua basah adalah gua yang ada airnya dan harus dilindungi, termasuk kawasan sekitarnya," kata Untung Sudadi, pakar ilmu tanah dari Institut Pertanian Bogor, kepada Tempo pekan lalu.

Tim amdal Semen Indonesia menyatakan banyak gua di daerah Watuputih, tapi semuanya diklaim berada di luar kawasan izin usaha penambangan. Karakteristik gua yang mereka catat sering tak akurat. Misalnya penjelasan soal Gua Menggah di Desa Timbrangan. Dokumen amdal menyebutkan kedalaman gua itu 118 meter dan keadaannya kering. Tiga pekan lalu itu, ada genangan air di dasarnya, setinggi dengkul pria dewasa. Kedalaman gua tersebut hanya sekitar 20 meter.

Amdal juga lalai mencatat titik-titik mata air, atau belik dalam bahasa setempat, yang terletak di dalam wilayah konsesi tambang. Belik Sawah 1 dan 2, misalnya. Keduanya berada di Kajar, pada koordinat "-6.87380, 111.47106" dan "-6.87368, 111.47202". Air di Sawah 1 berlimpah. Warga setempat bahkan memasang pompa dan slang di belik itu dan mengalirkan air ke beberapa rumah sekitarnya.

Di Kajar juga ada Belik Kopek di koordinat "-6.86535, 111.47557" dan Belik Jomblangan di koordinat "-6.87369, 111.47207". Kedua belik ini berdekatan dengan Belik Mbah Sumosiyo di Timbrangan dengan koordinat "-6.86528, 111.47364". Ketiga sumber air ini berdekatan dengan pabrik dan berada di dalam area konsesi tambang tanah liat Semen Indonesia. "Air di belik-belik itu tak pernah kering," kata Iskandar, penduduk Desa Timbrangan. Warga sekitar mengandalkan sumber air tersebut untuk irigasi dan minum ternak.

* * * *

Ponor Pasowan (-6.86571, 111.50653)

"KALAU hujan, air yang tertampung di ladang akan mengalir dan menghilang di sini," ujar Ngatiban, warga Desa Tegaldowo. Dia menunjuk serumpun pohon pisang yang menyelip di antara ladang jagung milik warga setempat. Sanusi mengajak Tempo ke Tegaldowo, sebelum menuju Gua Wiyu.

Warga setempat menyebutnya Ponor Pasowan, tempat air hujan menerobos ke dalam bumi menuju sungai bawah tanah. Dilihat dari dekat, celah tersebut mirip corong, berlapis bebatuan kapur bolong yang keras.

Menurut Untung Sudadi, ponor merupakan bagian penting dari karst. Lewat celah-celah itulah air yang jatuh di kawasan karst masuk ke bumi, bergerak lambat hingga cepat lewat pori-pori bebatuan, kapur, dan tanah liat, sebelum mencapai sungai bawah tanah dan keluar melalui mata-mata air. "Air berasal dari spons di atasnya, lalu mengalir keluar," katanya.

Bersama Sanusi, Tempo sempat melihat Ponor Ngendodan dan dua ponor lain yang tak bernama. Celah-celah karst tersebut kini tertutup tanah. Pemilik ladang menguruknya lantaran hendak menanam jagung. Meski begitu, menurut kesaksian warga sekitar, saat hujan, air selalu menghilang di titik-titik tersebut.

Pakar amdal Institut Pertanian Bogor, Soerya Adiwibowo, yang pernah meneliti di sana bersama ahli gua dan karst, mengatakan setidaknya ada 20 ponor pernah mereka temukan di dalam kawasan tambang Semen Indonesia. Beberapa sudah diuruk pemilik ladang, seperti di Tegaldowo. Menurut dia, itu bukan masalah. "Lapisan tanah tipis dan tak menghalangi fungsi ponor," ujarnya.

Tapi, sama seperti gua dan mata air, Ponor Pasowan tak tercatat di dalam amdal Semen Indonesia. Walhasil, berkat laporan amdal tersebut, pada 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo memberi PT Semen Indonesia izin untuk menambang karst di Watuputih, khususnya di wilayah Kecamatan Gunem dan Bulu. Padahal, tak sampai setahun sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru menetapkan Watuputih sebagai daerah cekungan air tanah (CAT) yang harus dijaga kondisinya.

Dalam pertemuan untuk wawancara di Jakarta pekan lalu, Kepala Departemen Legal PT Semen Indonesia Soffan Heri menegaskan isi amdal merupakan temuan tim ahli yang mereka sewa. "Mereka punya sertifikat dan itu adalah studi akademik dan scientific," katanya.

Eko Haryono, ahli karst dari Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menjadi konsultan Tim Pelaksana Studi Amdal PT Semen Indonesia, menolak ditanyai. Tiga kali dia membatalkan janji wawancara.

Adapun Sanusi, seperti warga Gunem lain, bertekad terus berjuang mempertahankan ekosistem CAT Watuputih. "Saya petani dan akan terus bertani," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus