Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Yang Harum ke Dunia Buram

Varietas padi Sintanur dilepas di Sulawesi Selatan. Benih unggul itu memasuki dunia pertanian yang buram.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA pertanian kini punya benih unggul padi baru. Namanya Sintanur, yang dikembangkan dari varietas unggul Celebes I tahun 1998. Sintanur belum lama ini dilepas oleh Sentra Produksi Benih Pinrang, Sulawesi Selatan, melalui PT Pertani. Berbeda dengan Celebes I, Sintanur punya kelebihan. Menurut Kepala Sentra Produksi Benih Pinrang, Syamsul Aprian Daru, Sintanur antara lain beraroma harum pandan yang lebih tajam. "Aroma pandannya sangat khas, dan tercium saat baru tumbuh. Harumnya semakin terasa saat menjadi gabah," kata Syamsul. Selain harum, Sintanur juga tahan terhadap serangan hama penggerek batang padi. Ini berarti pemakaian pestisida bisa ditekan. Selain itu, Sintanur mampu bertahan di musim penghujan ataupun kemarau. Hasil produksi Sintanur rata-rata tujuh ton per hektare. Sebagaimana varietas unggul sebelumnya, Sintanur telah lolos serangkaian uji coba di laboratorium dan di lapangan. Uji laboratorium dilakukan di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat, sementara uji lapangan dilaksanakan di lima kabupaten sentra produksi beras di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, dan Pinrang. Dengan demikian, Sintanur diharapkan sukses pula di tingkat petani. Untuk menyosialisasikannya sekaligus menolong petani, benih Sintanur pun dijual murah, Rp 2.750 per kilogram, setara dengan harga benih varietas lain. Sekalipun masih tahap perkenalan, PT Pertani menyiapkan 200 ton benih Sintanur untuk periode musim tanam Oktober 2001. Itu dari segi input benih. Dari sisi output, gabah Sintanur dari petani di Sulawesi Selatan nantinya dihargai Rp 1.050 tiap kilogram. Ini lebih mahal dari gabah varietas padi lainnya, yang dihargai Rp 900 per kilogram. Ketika menjadi beras, Sintanur pun dihargai Rp 3.500 per kilogram, lebih mahal Rp 500 ketimbang harga beras varietas lain. Dengan pelbagai keistimewaan itu, mestinya Sintanur menguntungkan petani. Ternyata, para petani di lima kabupaten tempat pengujian lapangan yang berhasil itu tak otomatis tertarik pada Sintanur. "Petani cenderung wait and see terhadap hasil Sintanur," ujar Syamsul. Boleh jadi sikap hati-hati petani dalam menanam Sintanur cukup menggambarkan potret dunia pertanian Indonesia yang buram, kendati semasa Orde Baru sudah dianggap mampu berswasembada beras. Menurut Prof. Sjamsoe'oed Sadjad, guru besar emeritus di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, sikap petani tak lepas dari akibat sejarah panjang penanganan pertanian di Indonesia. Kebijakan sektor pertanian yang parsial membuat koordinasi sulit dilakukan. Pada mulanya, kata Sjamsoe'oed, petani adalah pelaku bisnis. Namun, mentalitas wirausaha dan insting bisnisnya lambat-laun ditumpulkan melalui serangkaian proyek pemerintah di bidang pertanian. Dari businessman, petani kemudian berubah menjadi pelaku proyek. Alhasil, mereka tak lagi responsif terhadap perubahan positif. Hal itu bisa dibuktikan dengan lebih senangnya petani menunggu ketimbang aktif mencari terobosan baru. Ada lagi faktor kebiasaan yang membuat petani butuh waktu lama untuk mengganti sebuah varietas padi dengan varietas baru, yakni petani merasa sudah cocok dengan varietas yang di-tanamnya. "Ia merasa sudah nyaman dengan varietas tertentu, sudah cocok dengan sifat-sifatnya," tutur Sjamsoe'oed. Itu sebabnya selalu terjadi time lack antara waktu penemuan sebuah varietas unggul yang mampu berproduksi tinggi serta tahan ter-hadap penyakit dan saat aplikasi konkretnya di lahan produksi petani. Tak aneh bila selama 30 tahun ini cuma sekitar 10 varietas unggul padi yang ditanam petani. Padahal, berbagai balai penelitian, perguruan tinggi, dan sentra pemuliaan tanaman senantiasa menemukan dan kemudian melepaskan varietas unggul baru. Sejak 1970, sekurangnya 108 varietas padi unggul telah dikampanyekan pemerintah. Memang ada faktor penentu lain pula, yakni menyusutnya lahan pertanian akibat ekspansi permukiman dan industri, kedisiplinan petani, dan rendahnya pengawasan terhadap kualitas benih. Dari tahun ke tahun, petani menanam benih yang kemurnian genetis dan sifat-sifat unggulnya kian lenyap. Sementara itu, kegiatan penangkaran benih tak bersertifikat, yang dijual murah, juga makin marak sehingga menyebabkan varietas unggul tak populer di mata petani. Ujung-ujungnya, jadilah Indonesia mengimpor beras lagi. Bersamaan dengan itu, banyak varietas unggul yang cuma menjadi koleksi di balai benih dan laboratoriun. Tentu, perkembangan buruk ini tak harus membuat peneliti dan pemulia padi menjadi patah semangat. Agus Hidayat, Syarief Amir (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus